Posted: 17 November 2005
Assalaamu 'alaikum,
Saat melihat tayangan VCD wawancara para pelaku bom bunuh diri yang ditayangkan oleh
liputan 6 SCTV pagi tadi (dalam acara silaturrahmi Wapres dengan para kyai Jawa Timur),
rasanya MMI (Majelis Mujahidin Indonesia) sekalipun mungkin akan sulit memungkiri bahwa
khususnya last bombing di pulau Dewata dilakukan oleh mereka yang berkeyakinan bahwa
bom bunuh diri itu adalah jihad buat mereka.
Ada pelaku yang dengan santainya berpesan kepada keluarganya agar hutang-hutangnya
dilunasi. Ada yang dengan mantap berpesan kepada istrinya, manakala istrinya melihat
rekaman ini, dia sudah berada di Jannah. Dan beberapa pesan lain senada. Dan akhirnya
ditutup dengan peringatan kepada negeri-negeri kafir oleh orang bertopeng beraksen Melayu.
Memang tak bisa dipungkiri memang ada kelompok yang menafsirkan jihad dengan pemahamannya
sendiri dan mereka berkeyakinan bahwa hal itu adalah benar dan sebenar-benarnya.
Bom bunuh diri diyakininya sebagai jihad yang merupakan jalan pintas menuju ke surga.
Semudah itukah jalan menuju surga, dengan meledakkan diri sekaligus melupakan himpitan-
himpitan kesulitan hidup yang mereka alami? Padahal jalan ke surga itu penuh liku dan duri,
yang digambarkan apabila orang melihat jalan ke sana, dia tak akan mau menempuhnya.
Saya jadi teringat pesan salah seorang ustad yang juga teman saya sendiri. Katanya, bagaimana
umat Islam mau maju kalau perekonomian dan kejahteraannya masih tertinggal? Di hadits sendiri
dinyatakan kefakiran menyebabkan kekufuran. Ke-papa-an membuat orang cenderung
berpikir pendek dan putus asa, serta tiada peduli lagi dengan nilai-nilai agama. Dari kondisi inilah
Karl Max mampu melahirkan ajaran Marxisme-nya, yang mengganggap agama sebagai candu.
Dengan ke-papa-annya itulah seseorang kadang sampai tega mengorbankan akidahnya, dengan
contoh nyata buat saya seorang tukang sayur yang pernah berjualan ke rumah Ibu saya di Jakarta,
yang sampai hati membawa keluarganya menukar religi-nya karena alasan ekonomi semata.
Kalau melihat rumah dan kondisi orang-orang yang disinyalir sebagai kelompok pengebom,
sejujurnya boleh disebut orang yang tak berada, yang mungkin hidupnya pas-pasan saja.
Then, adakah hubungannya dengan ke-papa-an yang dialaminya, hingga dia lebih memilih jalan
pintas, sebagai wild card ke surga sekaligus melepas kesulitan hidupnya di dunia?
Apakah ada benang merah antara ke-papa-an dengan kemudahan seseorang di-brain washing,
karena kondisi psikologisnya yang lebih mudah putus asa? Semua itu hanyalah asumsi saja
yang pasti beragam ditanggapi nantinya.
Well, nenek moyang kita bilang, tidak ada asap tanpa api. Kenapa sebagian orang sampai nekat
berbuat seperti itu pada "musuh-musuh"-nya? Tak sedikit yang berpendapat, bahwa semua itu
dilatarbelakangi oleh rasa ketidak-adilan di marcapada ini. Mengapa orang meributkan korban
bom bunuh diri yang mungkin berjumlah puluhan saja, tapi membiarkan pembantaian ribuan jiwa
di Palestina, Bosnia, Irak, Afghanistan dll? Apakah bedanya manusia di Irak dengan manusia di AS?
Apakah manusia di Irak tidak cukup berharga, hingga kalaupun mati beribu-ribu jiwa, tidak pantas
dihargai, sedangkan nyawa sebulir raga berpigmen putih lebih berharga daripada berjuta nyawa mereka?
Maaf, ini bukan pembenaran tindakan bom tersebut, namun sebagian dari asumsi yang mereka-reka
api dibalik badai asap pengeboman yang ada. Bagaimanapun juga kekerasan tidak dapat dibenarkan
kecuali dalam keadaan perang yang sesungguhnya. Ada pula yang menggulirkan wacana konspirasi
internasional, yang memang pada akhirnya akan berujung pada perang peradaban. Di mana ada yang
mengambil jalan pintas, dengan keyakinannya mengorbankan perang peradaban secara prematur.
Adakah benang merah antara ke-papa-an dengan kondisi, maaf, radikalisasi di sebagian orang?
Adakah benang merah antara ke-papa-an dengan keputus-asaan seseorang?
Mungkin tidak se-simple dan semudah itu untuk disimpulkan.
Entahlah, yang jelas ada baiknya kita bisa mengangkat harkat martabat umat dengan menghilangkan
ke-papa-an tersebut, tentunya dengan menggerakkan roda perekonomian umat.
Maaf, apabila ada yang tidak sependapat dengan tulisan di atas.
Wassalaam,
Papa Fariz
No comments:
Post a Comment