Sunday, June 17, 2007

IPDN dan runtuhnya nilai-nilai Ilahiyah di masyarakat

Posted: 9 April 2007

Assalaamu 'alaikum,

Andaikan seseorang dididik dalam lingkungan kekerasan dan penindasan selama 3 tahun, menurut anda pilihan manakah yang paling logis terhadap orang tersebut di masa mendatang:

1. kekerasan tersebut mempengaruhi dirinya dan akan diterapkannya kembali di waktu dan hal lain
2. dia akan berpikir sebaliknya untuk bertekad menghapus kekerasan agar tak berulang pada juniornya
3. tidak berpengaruh sama sekali, dan akan hilang pengaruhnya dengan sendiri.

Adalah hal yang miris, mengenaskan dan membingungkan saat menyaksikan tayangan demi tayangan di layar kaca mengenai kekerasan di kampus IPDN. Di kampus yang sejatinya mendidik para calon camat dan lurah, ternyata berlaku hukum rimba. Dalam tayangan tersebut, sang junior dibariskan satu per satu dan dihajar di ulu hatinya, sampai terjaruh sembari mengerang kesakitan. Di tayangan lain, tendangan sang senior, tepat menghujam ulu hati sang junior yang langsung terjerembab.

Menurut kesaksian para mantan praja (mahasiswa) yang kabur karena tak tahan dengan siksaan, penindasan seperti ini adalah hal yang lumrah, terutama buat anak baru. Salah benar, selalu kena gampar. Senyum pun langsung dipukul. Pendeknya terjadi kesewenang-wenangan tanpa dasar. Sang senior begitu berkuasa sehingga boleh berlaku seenak udelnya. Terbayang kah anda andaikan sikap seperti ini akhirnya diimplementasikan oleh para lulusannya, kelak di masyarakat nanti?

Faktanya, sejak tahun 1990, tercatat ada 35 siswa yang meninggal dunia, walau yang sampai ke kuping masyarakat hanya 10 orang. Sebagian meninggal dengan dada retak. Bagaimana gak retak, kalau setiap hari dipukuli dadanya dengan kekuatan penuh tanpa sarung tangan. Yang bikin geli sekaligus muak, para petinggi kampus ini berlomba-lomba untuk menafikan kejadian yang memalukan itu.

Bahkan dalam kasus terakhir kematian seorang praja, minggu lalu, sang rektor berkilah bahwa kematian itu karena penyakit lever yang diderita oleh sang praja.
Kemudian diralatnya lagi, katanya ada tindakan kekerasan, sembari secara tak langsung menolak tanggung jawab pada diri dan petinggi lainnya dengan alasan, semuanya dilakukan para praja senior tanpa sepengetahuan para petinggi dan berlaku di luar jam pendidikan.

Suatu pernyataan yang, IMHO, berbau konyol. Masyarakat kini tak bisa dibohongi lagi dengan data dan fakta yang ada apalagi dengan berbagai tayangan yang telah menyebar di masyarakat. Sekalipun itu di luar jam pendidikan tanpa sepengetahuan sang petinggi, bukankah itu berarti bahwa ada sesuatu yang salah dalam sistem pendidikan dan kurikulum mereka, sehingga tidak berhasil membina suatu kepribadian yang mampu berpikir logis dan jauh dari hal kekerasan? Bukankah itu juga berarti kegagalan terbentuknya pribadi yang tidak sewenang-wenang, dan semau gue?

Bukan apa-apa brur, jebolan IPDN nantinya akan menjadi lurah dan camat alias pemimpin masyarakat yang langsung menyentuh akar rumput. Kalau model pendidikannya memang seperti ini, jangan kaget kalau di masyarakat nantinya banyak ditemui para lurah dan camat yang bermental bejat dan senang bertindak sewenang-wenang. Ini kan hasil dari pendidikan dan pembentukan kepribadian semasa mereka menuntut ilmu dulu. Itu kan cuma akibat logis yang dituai dari sesuatu yang salah yang telah berlangsung bertahun-tahun di sistem pendidikan mereka.

Gak usah berbicara jauh-jauh mengenai obsesi pemberantasan KKN di masyarakat, dengan ujung tombak para lurah dan camat. Tidnakan kekerasan dan sewenang-wenang juga menandakan bahwa mereka sangat jauh dari nilai-nilai ruhiyah yang religius. Bahasa kekerasan adalah bukan bahasa Tuhan. Kalau emreka masih melakukan kekerasan, boleh jadi dan boleh dibilang mereka jauh dari nilai-nilai religius. Kalau sudah demikian apa yang bisa diharapkan dari mereka sebagai ujung tombak pemberantasan KKN, sedangkan fakta berbicara mereka (mungkin) jauh dari Tuhan? (semoga gak semuanya).

Menyedihkan sekaligus mengenaskan, namun itulah fakta yang terjadi di antara kita. Kalau mau jujur, kita bisa mengembangkannya pada model perploncoan di kampus-kampus, yang moga-moga kini sudah jauh berkurang. Dalihnya adalah untuk membentuk rasa solidaritas di antara sesama mahasiswa baru. Namun faktanya, sang senior sewenang-wenang, dan "ngaploki" para junior-nya. Ini berlangsung di mana-mana. Boleh jadi ini dasar dari fakta bahwa KKN tak pernah tuntas di negeri kita? Why? Karena dasarnya dari dulu sudah begitu.

Orang yang KKN adalah orang yang sewenang-wenang, ngerampok uang rakyat tanpa peduli apa akibatnya buat bangsa dan negara, juga rakyatnya sendiri. Sikap itu sudah ada sejak mereka dididik dulu. Dan, sekali lagi, bahasa kekerasan adalah bukan bahasa Tuhan. Itu tandanya mereka jauh dari nilai-nilai Ilahi. makanya ketika tua pun, mereka gak takut untuk menentang Sang Khalik sembari terus ngembat uang rakyat. Klop banget deh.

Lantas apa solusinya? Solusi singkat di IPDN, ya jelas dibenahi sistem pendidikannya, walau ada yang ekstrem untuk membubarkannya. Namun lebih dari itu, haruslah ada pula solusi kepada masyarakat kita. Bukankah kian hari kita kian bosan menyaksikan adegan kekerasan di antara kita sendiri? Salah dikit, lantas tersinggung, akhirnya jadi ramai. Antar kampung berantem, anak sekolah tawuran, antar elit politik gontok-gontokan.

Semua bahasa kekerasan bukan bahasa Tuhan, dan itu menandakan kita jauh dari Tuhan. Akhirnya KKN, another side dari minimnya nilai Ilahiyah, selain kekerasan itu, akhirnya berlangsung pula. Memperbaiki mental dan moral masyarakat, itulah kuncinya. Namun bagaimana caranya, itulah yang jadi teka-teki tersulit untuk dipecahkan. Karena atas nama Tuhan dan kebenaran pun kita tak bisa memaksakan pihak lain untuk menelan secara bulat-bulat nilai-nilai yang kita anggap benar tersebut.

Bagaimana baiknya? Silahkan kita pikir bersama. Masalah IPDN bukan sebatas masalah di kampus Jatinangor saja. Namun lebih dari itu, sesungguhnya cerminan kecil dari realita yang sebenarnya hidup di masyarakat kita. Realita buruk, yang memang sudah seharusnya mendapat penanganan yang sungguh-sungguh dan sangat serius kalau memang kita ingin bangsa kita menjadi lebih baik di kemudian hari.

Weell, walau boleh jadi mengaitkan IPDN dengan masyarakat adalah suatu hal yang hiperbolis dan bombastis, namun maraknya tingkat kekerasan di kalangan masyarakat bisa menjadi bukti sekaligus tanda tanya tentang akar permasalahan sesungguhnya akan fakta bahwa kita ini tengah dilanda sakit kejiwaan. Dan yang jelas, semua sakit, temasuk sakit kejiwaan, harus diobati, apa pun caranya, dan apa pun konsekuensinya.

Wassalaam,

Papa Fariz
FS account: boedoetsg@yahoo.com

No comments: