Saturday, June 9, 2007

Karena suka-suka ataukah karena miskin dan bodoh?

Posted: 11 November 2005

Assalaamu 'alaikum,

Alangkah terperanjatnya saya saat menyaksikan tayangan SIGI di SCTV pada hari Minggu lalu, 12 November 2005 pukul 12.30 WIB.
Di situ dengan gamblang dan detail ditayangkan bagaimana para Nelayan di Teluk Jakarta dengan santainya dan tanpa rasa berdosa
menambahkan bahan-bahan beracun dan berbahaya ke ikan-ikan dan hewan laut segar, hasil tangkapan mereka, sebelum hasil
laut tersebut dilempar ke pasaran.

Formalin, yang banyak dipakai sebagai pengawet mayat, dipakai oleh mereka untuk cosmetic issue, sehingga ikan tangkapan
tanpa lebih segar (kalau ada yang punya referensi detail tentang formalin, mohon di forward). Formalin juga dipakai untuk
mencegah terlalu banyak penguapan dari ikan yang dikeringkan sebagai ikan asin (menjaga berat ikan asin).
Then, pewarna tekstil, dengan santainya dicampurkan pula pada kerang-kerang laut, agar keliatan lebih merah dan segar.
Nampak jelas bahan pewarna ini melekat dan tertinggal di bak kayu tempat kerang-kerang tersebut ditampung.
Ada lagi zat lain yang ditabur di atas ikan-ikan sebelum dipak dan dibubuhi es, agar keliatan tetap segar.

Luar biasa, benar-benar menakjubkan sekaligus mencengangkan. Saya sampai speechless melihatnya, sudah gila dan gak punya otak kah,
ataukah memang keadaan yang menuntut mereka melaksanakan hal-hal gila ini???

Sang nelayan berdalih, penghasilan mereka gak cukup. Saat ini saja mereka seperti hidup segan mati tak mau, karena keuntungan yang
sangat tipis. Karena itulah mereka memakai zat-zat aditif yang berbahaya. Kalau dipaksakan pakai zat aditif yang baik, harganya
mahal dan boleh jadi mereka malah akan nombok. Saya gak tau pasti erapa harga ikan-ikan dan hewan laut di pasar konsumen sana.
Kalau mereka mengeluh penghasilan kecil, sedangkan harga ikan di tangan konsumen sangat tinggi, lantas siapa yang mengeruk keuntungan
begitu besar dari hal ini?

Ada juga yang beralasan tidak tau akan bahaya zat-zat aditif tersebut. Tidak tau? Hmm kurangnya penyuluhan, rendahnya pendidikan
atau karena apa sampai bisa jadi begini. Ataukah mereka yang pura-pura tidak tau dan tidak mau tau meskipun sudah diberi tau.
Apakah ketidaktauan bisa dijadikan excuse untuk hal ini? Sudah bukan jadi rahasia umum lagi, suka atau tidak suka, bangsa kita
terkenal dengan sifat SUKA-SUKA-nya. Apa-apa semau gue. Peraturan yang ada terus dilanggar sambil beralasan peraturan ada untuk
dilanggar. Jangan kaget semuanya serba semrawut. Lalu lintas semrawut, sampah dimana-mana, korupsi tidak ada habis-habisnya,
birokrasi berbelit-belit. Korupsi mau diberantas, namun ada pihak yang menawarkan jalan cepat, dan di sisi lain ada pihak yang mau
cepat-cepat tanpa perlu susah payah. Gak tau, apakah ini sudah tabiat dasar bangsa kita? Tapi Malaysia yang Melayu juga, kok gak
separah itu yahh?

Boleh jadi ada yang berpendapat, level pendidikan menentukan perilaku seseorang. Makin tinggi level pendidikannya, tentu dia akan
sadar untuk berperilaku lebih santun dan lebih pakai otak. So...bolehkah disebut level pendidikan kita masih rendah, sehingga masih
SUKA-SUKA, gak peduli dengan kepentingan umum, dan terkenal suka berangasan? Ndak tau, no comment, nanti saya diprotes lagi.
Tapi saya pernah menegur seorang teman dekat saya saat dia hendak buang sampah sembarangan. Saya cuma bilang, kalau sampeyan
yang sarjana aja mikirnya pendek dan seenak udelnya, ya ndak heran kalo yang pendidikannya lebih rendah dari sarjana lebih kacau lagi.
Makanya negara tambah semrawut dan masalah gak ada habis-habisnya dan tiada putus.

Entahlah, saya masih bingung, bagaimana mungkin zat pemicu kanker dan berbahaya seperti adrenalin, boraks, pewarna tekstil dan lain-lain
dengan innocent-nya dimasukkan ke dalam makanan yang dikonsumsi orang banyak. Apakah gak ada pengawasan dari pihak berwenang,
ataukah pihak yang berwenang hanya close aye, tak berani menerapkan sangsi atas peraturan yang pernah dibuatnya.

Ataukah semua ini berujung kepada masalah AYAM dan TELUR? Kemiskinan membuat mereka bertindak SUKA-SUKA, demi untuk
survive. Bisa makan 3x sehari aja sudah susah, kenapa harus susah-susah mikir tentang Formalin dll, persetan amat yahh. Mereka terlalu
miskin dan Pemerintah belum mampu memberikan cukup kesejahteraan, so akhirnya jadi telur dan ayam, kemiskinan membuat mereka
bodoh dan bodoh membuat mereka miskin, mana yang lebih dulu?

Barangkali ada teman yang concern mengenai makanan yang sehat, halaln dan thoyyiban? Ataukah kita cuek aja dengan kondisi ini,
yang penting kenyang, gak papa makanan rasa-rasa knalpot sedikit. Entahlah, saya cuma mikir dan bingung begitu "gilanya" hal ini
bisa terjadi dengan santainya. Yah memang lebih baik close eyes saja kalau makan di sana. Yang penting perut kenyang, hati senang,
peduli masalah hygienis/sanitasi makanan tersebut. Bukankah, jangan-jangan, hal yang berbahaya itu justru yang membuat makanan
tersebut jadi enak? Eh, eh just kidding, my brurs and sisters. Maaf gak bisa ngasih solusi, tapi semoga kita bisa aware dengan hal ini.
Barangkali akar dari masalah ini karena SUKA-SUKA ataukah karena MISKIN dan BODOH, dan dari situ kita bisa beranjak
untuk mengatasi miskin dan bodoh ataupun mendisiplinkan diri kita.

Wassalaam,

Papa Fariz
yanglagihappyngajarinfarizngapalinkata-katadanbenda-benda

No comments: