Sunday, October 28, 2007

Jangan lagi lalat ijo boleh berkuasa

Posted: 2 Oktober 2007

Assalaamu 'alaikum,

14 tahun lalu, saat sempat mengeyam bangku kuliah selama setahun di kawasan Depok, saya punya teman kuliah yang lucu dan unik. Namanya Maung, dia unik karena satu-satunya pelajar asing di situ. Jarang-jarang ada pelajar asing di kampus kami. Muslim Myanmar ini pendiam tapi "lucu" apalagi kalo ngomong bahasa Jakarte. Yaaa, saya dan geng dulu seneng "ngeledekin" dia, dalam artian nemenin sekaligus ngasih support. Tentunya ada perasaan salut dengan kegigihan pria satu ini yang kami panggil Macan (bahasa Sunda-nya, Maung = macan) ini, walau kadang dulu kami jahil suka ngajarin bahasa okem yang "ngga'-ngga'".

Ingat Myanmar, ingat Maung. Ingat Maung ingat Myanmar. Entah kemana kini dia berada, apakah masih di Jakarta dan kerja di situ ataukah sudah balik kampung. Kalau sudah balik kampung, gimana yah nasibnya kini? Bukan apa-apa, akhir-akhir ini berita tentang Myanmar begitu menyita perhatian dunia. Ribuan bhiksu Budha Mahayana, yang tak tahan dengan kebobrokan rezim junta militer, dengan dipicu oleh kenaikan BBM sebesar 500%, mencoba menyuarakan aspirasi rakyat akan kebebasan dan demokrasi. Tapi apa nyana, yang namanya militer itu gak dimana-mana memang gak kenal kasian dan gak punya otak. Dibabatnya para demonstran sipil berikut kaum brahmana di negeri seribu pagoda itu. http://www.youtube.com/watch?v=ir1FQh6rShI Seorang jurnalis dari negeri Sakura pun harus menjadi korban dan peristiwa peregangan nyawanya sempat direkam oleh kamera video. http://www.youtube.com/watch?v=BUUQi1ooEAs

Dunia marah dan meradang, namun junta yang berkuasa sejak tahun 1962 tetap tidak peduli. Cina yang sobat dekat sang junta, sangat enggan dimintai tolong. Bukan apa-apa, karena pada ujung-ujungnya krisis di Myanmar juga berkaitan dengan kepentingan global. Cina lebih menyukai status quo dengan junta militer berada di puncaknya, karena Cina saat ini mengelola hampir semua tambang di negeri yang kaya gas alam itu. Andaikan junta bubar dan demokrasi yang masuk, boleh jadi kontrak Cina akan dikocok ulang dan para investor dari negeri matahari senja sana yang akan masuk menggantikan mereka.

Kasian negara berkembang, mungkin sudah nasib mereka, dalam situasi begini pun pada akhirnya akan jadi mainan negeri kuat juga. Siapa bilang dunia ini beradab? Di dunia fana tetaplah berlaku hukum rimba, dimana yang kuat dia lah yang dominan. Semua yang keliatan adil hanyalah kamufalase belaka, dan keadilan yang sesungguhnya baru akan ada di alam akhirat nanti. Contoh lainnya, ketika Hamas memenangkan Pemilu jurdil di Palestina yang demokratis, lantas mengapa pemerintahannya tidak diakui padahal Pemilu adalah buah demokrasi yang dikenalkan oleh negeri belahan barat sana? Karenanya Indonesia pun harus menjadi bangsa yang kuat dan kaya agar tidak terus dipermainkan oleh orang lain.

Situasi di Myanmar sebenarnya hampir mirip dengan apa yang kita alami 40 tahun lalu dan 10 tahun lalu. Bedanya, Allah masih sayang dengan bangsa kita, sehingga kebenaran dan kebebasan lah yang tegak di bumi pertiwi. Ini karunia Allah yang paling dahsyat dan tak tergantikan oleh apa pun serta sangat tak ternilai, meski kini nusantara masih compang-camping. Kita sudah punya modal dasar dengan kebebasan, tinggal gimana saja kita melangkah ke depannya. Seperti Myanmar, bangsa kita pernah dikuasai oleh junta militer, walau bedanya di nusantara, sang junta lebih senang berpakaian sipil. Mau pakaian sipil atau militer, tetap saja otaknya otak militer yang gak punya rasa kasian dan kejam.

Apa yang kita alami dulu memang "tak kalah menyeramkan". Di Jakarta, yang namanya protes dan demo, hampir gak ada. Mau demo silahkan, paling-paling besok pemimpin sudah hilang lenyap ditelan bumi. Ceramah pun gak bisa sembarangan. Kalau isinya amar ma'ruf (menyeru kepada kebajikan), di welcome banget. Tapi jangan sesekali menyampaikan nahi munkar (mencegah dari kejahatan), karena bisa-bisa langsung disuruh turun dari mimbar. Sudah jadi rahasia umum setiap teks ceramah diperiksa dulu oleh pihak terkait, dan dalam ceramah selalu disusupi intel-intel.

Menjelang Pemilu, tak kalah mencekam. Berkumpul lebih dari 5 orang sangat diharamkan. Gak usah bingung kenapa dulu gak pernah ada pertandingan voli pas deket-deket Pemilu. Wong satu tim voli itu udah 6 orang, jadi mana bisa kumpul jadi satu tim, karena jumlahnya lebih dari 5 orang. Teman saya yang aktif di organisasi keagamaan di sekolah juga terpaksa "meliburkan" pengajiannya karena aturan aneh dan konyol ini. Masa itu, jangankan yang namanya bikin kerusuhan, suara jarum jatuh pun dah bisa kedengaran oleh intel, karena mereka memang ada dimana-mana dan kita gak tau siapa dia dan boleh jadi justru orang dekat kita sendiri bekerja untuk junta militer saat ini. Saat kuliah di negeri utara dulu, sesama pelajar asing dari nusantara, sangat hati-hati berbicara dan takut menyinggung masalah politik. Kuatirnya, ada teman yang jadi intel, dan saat kita pulang, habislah karir kita dan kehidupan kita karena laporan bajigur intel itu tentang penentangan kita.

Masa-masa itu anda mau jadi gubernur? Syaratnya gak susah, jadilah petinggi militer. Memang menggelikan, bagaimana mungkin, kursi-kursi gubernur dan kementrian didominasi oleh militer dan para purnawirawannya. Jangan tanya mengenai kapabilitas mereka di situ, wong pendidikan mereka cuma sekelas akademi, dan paling mentok cuma sekolah tinggi. Pemikiran militer memang gak sama dengan sipil. Walau begitu mereka merupakan suatu organisasi yang paling teratur dengan tingkat kedisiplinan dan loyalitas yang maha tinggi. Konon katanya, untuk bisa mencapai hal seperti itu, otak para anggotanya harus dicuci bersih dulu. Kata kabar burung, Akabri kita dididik di gunung Tidar sana, di dekat Gunung Kidul. Ada yang trainingnya dilepas di hutan dan gunung, cuma berbekal beberapa korek dan pisau untuk survive. Pikiran mereka sampai blurrr sehingga pada puncaknya, disuruh ngitung pun udah gak bisa lagi. Di situlah mulai dicecoki dengan doktrin-doktrin sampah versi mereka.

Jangan harap mau sukses dan besar di nusantara kalo gak dekat dengan militer. Militer selain ada manfaatnya buat "bela negara" kalo diserang bangsa lain, ternyata juga bisa dimanfaatin sebagai centeng. Gak usah heran kalo Polisi dan Militer berantem melulu. Para tikus-tikus kecil itu biasanya pada ngerebutin lahan jadi centeng di diskotik, klab malam dll. Kasian militer tingkat kopral yang gajinya ngepas, tinggal di rumah seperti gubuk dan kalo sudah pensiun harus digusur oleh institusinya. Tingkat kopral cuma ngandelin gaji yang ngepas abis. Tapi kalo perang disuruh paling depan, dan kalo mati dia yang harus duluan. Beda dengan polisi yang masih bisa nyabet sana-sini. Wajarlah kalo militer marah karena cemilan mereka jadi centeng mau diembat oleh polisi yang rakus itu.

Di militer yang kaya memang perwiranya saja. Seorang teman saya, bukan main girangnya ketika ayahnya naik pangkat dari kolonel menjadi jenderal. Bukan apa-apa, itu artinya kastanya akan beda, dan sudah tentu fulus akan mengalir deras. Nama babenya terdaftar sebagai komisaris di beberapa perusahaan. Kerjakah sang babe? Gak lah, tapi cuma namanya aja yang nampang, gak kerja pun duit bisa dapat. Pas ngadain nikahan atau acara lain, gak pusing lagi, karena rekanan babenya yang jenderal, sudah pasti bakal urun saweran. Apakah nyumbang ke jenderal bisa dibilang sedekah yang ikhlas? Hmm, kalo mau sedekah ya ke fakir miskin, dan bukannya ke orang kuat yang punya otoritas dan sarat kepentingan.

Sudah jadi rahasia umum, yang selalu dibantah oleh pihak terkait, bahwa banyak cukong harus nyetor ke lalat ijo agar bisnisnya aman. Militer memang gak beda dengan preman. Mereka itu loyal kalo dikasih duit. Bedanya, preman gak punya senjata, itu aja. Jadi jangan coba kutak-katik bisnis yang pengusahanya punya link khusus ke militer. Bisa habis kita digetok nantinya. Seorang cukong di Indonesia yang kini kekayaannya bukan main, kata kabar burung dijuluki ATM-nya militer. Kalo militer kecil ada yang butuh duit, tinggal datang, pasti dikasih. Tapi ya itu, para cukong memang licik dan udah ngitung untung ruginya. Lalat ijo inilah yang memagari bisnisnya bahkan pernah memaksa rakyat digusur dari suatu wilayah yang mau dibangun sebagai sentra bisnis oleh sang cukong. Sapa sih yang gak ngeri dipanggil satu-satu sama lalat ijo dan disuruh setuju dengan penggusuran mereka.

Saat saya bertandang ke Serpong akhir tahun lalu, teman saya yang bekerja di LAPAN Serpong bercerita bahwa tetangganya ada yang ngungsi dan kabur dari kampungnya sendiri. Mereka itulah tokoh masyarakat yang dituduh dibalik demo menentang militer dalam sengketa tanah di sana. Malam-malam, tetangga persis sebelah rumahnya dikepung oleh pasukan bersenjata lengkap. Teman saya yang ilmuwan bingun dan keluar rumah, tapi malah disuruh masuk dengan kasar. Tetangganya itu pun diculik dan besoknya pulang dengan wajah gak berbentuk, sampai akhirnya lebih memilih untuk "menghilang".

Yang namanya militer memang bertindak atas nama instruksi. Apa pun jadinya, kalau itu adalah instruksi dari atasan, ngebunuh pun gak masalah. Melihat tindak tanduk mereka, patutlah disangsikan bahwa mereka mengenal apa yang namanya Tuhan. Lihatlah cara penanganan mereka terhadap para pemrotes, gak cuma di Myanmar, tapi juga di negeri kita dan belahan dunia lainnya. Entahlah apakah yang namanya militer itu diajarkan yang namanya humanisme. Tapi yang pasti, kata teman saya yang pernah kuliah bareng anggota militer, otak para perwira yang dikirim belajar di universitas memang bagus, tapi wawasannya sempit dan memalukan.

Kalo menilik perilaku mereka di kehidupan sehari-hari, sudah terlalu banyak cerita tentang arogansi mereka. Saya sendiri jengkel habis lihat mobil berplat militer dengan seenaknya nyerobot jalur busway tapi didiamkan oleh polisi. Giliran kita yang sipil, langsung ditilang. Bapak yang mengantar saya pun, pernah disuruh turun dari mobil, dan mau ditembak oleh orang yang pakai jaket militer, karena dia ngerasa gak dikasih jalan pas lagi macet di Jakarta. Untungnya Bapak itu saya tahan dan gak bolehin turun mobil. Biar saja orang itu malu dulu diliatin orang banyak. Paling gak otaknya jalan dulu, dan gak main hakim sendiri tanpa ngeliat masalah yang sebenarnya. Di email-email juga sudah sering, orang-orang cepak seneng gamparin rakyat kecil tak bersenjata. Suatu bentuk arogansi yang memuakkan.

Andai negara dipegang militer, memang rusak pada akhirnya. Myanmar yang dulunya termasuk dihormati di dunia, bahkan Sekjen PBB yang ketiga, yakni U Thant (1961-1971) adalah orang mereka, bisa begitu tenggelam semenjak dikuasai militer pada tahun 1962. Indonesia memang keliatan pembangunannya jalan, tapi ternyata utangnya gede dan dikorupsi habis-habisan. Deal untuk pengolahan tambang pun selalu dibodongin, pengelolaan ini itu banyak yang gak becus, dan itu bukan apa-apa, karena jabatan terkait tidak diisi oleh orang yang kapabel, melainkan oleh mereka yang punya embel-embel militer.

Jangan pernah sekali lagi memberikan kekuasaan kepada militer, kecuali kita sudah memastikan bahwa kekuatan mereka sudah kita pasung. Memang gak semua militer jelek, yang bagus pun banyak. Bahkan Presiden kita pun dari militer, karena memang setelah "dijajah" militer 30 tahun, sipil belum lagi mumpuni untuk menangani negara. Kedisiplinan dan ketegasan militer lah yang justru diperlukan untuk mengatur negara yang serba bebas. Kondisi quo seperti sekarang sudah lumayan. Militernya sudah terpasung dan terus diawasi, meskipun boleh saja mereka jadi pucuk pimpinan tertinggi.

Gak ada maksud pribadi di sini untuk menjelekkan militer. Toh mereka juga bagian dari bangsa kita yang bermanfaat untuk membela negara dari serangan musuh. Toh kita masih lebih percaya untuk dipimpin militer, meski kita harus mengawasai mereka lebih sering. Namun yang hendak diingatkan di sini, janganlah sekali-kali militer diberikan kekuasan penuh memerintah seperti layaknya nasib kita dulu, nasib orang Myanmar atau nasib rakyat Thailand dll. Bersyukurlah bahwa Allah Maha Baik, sehingga ketika terjadi chaos di tahun 1998, militer tidak melakukan kudeta militer, dan sang Panglimanya legowo untuk tidak mengambil alih pemerintahan. Salut dengan ucapan beliau yang menolak kudeta militer dengan alasan itu akan tercata di sejarah dan bakal terjadi berulang lagi di kemudian hari. Apa jadinya yahh andaikan saat ini Pemerintah kita adalah militer. Gak tau deh, bisa-bisa nulis begini saja dicekal pulang ke tanah air.

Whatever lah, yang pasti bersyukurlah kita karena cengkeraman militer sedikit banyak sudah berkurang dari kehidupan sehari-hari kita. Ini nikmat yang paling dahsyat yang sangat harus kita syukuri dan tak ternilai harganya. Jangan lagi, sekali lagi, memberi chance kepada militer murni untuk menguasai negeri kita tanpa dipasung kaki dan tangannya. Semoga yang merasa militer juga sadar diri akan arogansi mereka yang suka main kepruk kepada orang sipil. Apa yang terjadi di Myanmar saat ini bisa menjadi pelajaran bagaimana hancurnya suatu bangsa di bawah kekuasaan militer. Cukup sudah 30 tahun kita di bawah mereka, dan itu gak boleh ada lagi dalam kamus kehidupan kita sebagai bangsa Indonesia.

Maaf kalau tidak berkenan.

Wassalaam,

Papa Fariz
Web Blog: http://papafariz.blogspot.com
FS Account: boedoetsg@yahoo.com

1 comment:

Anonymous said...

alo papa Fariz, saya juga punya temen kantor namanya juga maung. maung yang sama ga ma temennya papa Fariz? Namanya Maung Maung Latt asal dari Myanmar juga. Orangnya kocak, sekarang dia kerja di Bartec Asia, Singapore.