Sunday, October 28, 2007

Lampu merah tapi jalan kosong, menyebrangkah anda?

Posted: 19 September 2007

Assalaamu 'alaikum,
Ketika anda mau menyebrang jalan, sementara lampu penyebrangan untuk pejalan kaki masih menunjukkan warna merah, sedangkan jalan di depan anda adalah kosong melompong, apakah yang anda lakukan? Menyebrang bak "slonong boy" meski lampu maih merah, tapi yang penting selamat, ataukah tetap patuh dan setia menunggu sampai lampu berwarna hijau, meski kesannya jadi kayak orang "oon"? Yang mana kira-kira yang kita lakukan?

Kalau kita tanyakan hal itu kepada orang Singapore, dan juga orang negeri tropis lainnya, seperti orang kita sendiri, maupun Malaysia, umumnya jawabannya adalah "menyeberang lahh". Ini kejadian saban sore yang saya alami di Upper Paya Lebar Road. Wew, kalo jalan kosong melompong, meski lampu masih merah, rame-rame pada nyebrang. Di Jakarta, malah kadang lebih ekstrem lagi. Meski ada jembatan penyebrangan, mereka pada milih nyebrang di bawah kolong. Alasannya, males jalan kejauhan apalagi harus naik-naik jembatan. Capekk Deeh. Sempet dulu di jalan protokol diperlakukan hukuman push up oleh polisi kepada para pedestrian yang bandel. Tapi tetep aja, dah dasarnya gitu dan pada gak kapok-kapok. Ada polisi pada patuh, gak diawas, emang gue pikirin, jadi pada suka-suka lagi.

Tapi seandainya pertanyaan di atas kita tanyakan kepada orang Jepang, besar kemungkinan jawabannya adalah mereka akan menunggu sampai lampu hijau, dan barulah menyebrang. Orang Eropa besar kemungkinan akan senada jawabannya dengan orang Jepang. Saya pernah tanyakan ke beberapa teman. Ada yang jawab, cuek aja dan menyebrang. Apa alasannya? Dalihnya kita harus berpikir fleksibel, dan selalu cermat melihat situasi dan kondisi. Kalau ada peluang, mengapa tidak disambar. Toh inti dari berlalu lintas itu adalah kita semua selamat. Nah kalo kita sudah pastikan bakal selamat dengan tindakan kita, karena jalan kosong melompong, mengapa kita tidak menyebrang saja? Aturan lampu merah itukan hanyalah fasilitas untuk menyokong inti aturan yang berupa keselamatan itu.

Tapi ada juga yang menjawab, tetap harus menunggu. Alasannya, peraturan adalah peraturan dan harus tetap ditegakkan kapan dan dimana saja. Hidup itu ada rule nya dan kita harus disiplin serta konsisten menerapkannya, apa pun kondisinya. Menyebrang jalan seenaknya tanpa mengindahkan peraturan adalah wujud ketidakdisplinan dan tindakan semau gue. Ini buruk efeknya apabila kita terbiasa dan diimplementasikan secara meluas dalam beragam bidang kehidupan. Untuk urusan yang kecil saja kita tak mampu apalagi yang gede. Peduli amat dengan keliatan "bego", yang namanya peraturan adalah peraturan yang harus tetap ditaati.

Menyebrang jalan adalah hal kecil, namun dari situ kita bisa ngerti sedikit tentang kebiasaan dan sifat dasar beragam manusia. Orang negeri tropis memang dimanja alam. Tongkat kayu dan batu pun jadi tanaman, begitu kata lagunya Koes Ploes. Karenanya umumnya mereka bekerja lebih santai dan rileks serta berpikir lebih fleksibel. Apalagi di ranah kita, yang ikatan budaya dan kekeluargaannya kuat. Gak kerja pun, masih bisa hidup karena banyak sanak family yang masih peduli dan mau bantu-bantu. Santai dan rileks, namun sayangnya di negeri kita kadang jadi kebablasan menjadi suka-suka dan mau enaknya sendiri.

Sedangkan orang negeri Empat Musim, mereka dididik keras oleh alam. Prof Toynbee bilang, ini yang masih saya ingat dari pelajaran Geografi SMP dulu, makin berat tantangan alam, makin keras perjuangan untuk survive. Karenanya orang negeri Empat Musim adalah pekerja keras, dan tidak terbiasa berleha-leha. Alam telah mendidik mereka untuk berpikir bagaimana tetap bisa survive. Musim dingin begitu dingin, mereka harus bikin jaket, persiapkan heater, siapkan kendaraan anti salju dll. Karenanya mereka terbiasa berpikir dan bekerja keras. Jepang yang banyak mengalami gempa bumi, sudah sejak dulu maju di bidang ilmu konstruksi tahan gempa, karena mereka terpaksa dan dituntut oleh alam untuk survive. Kalau sudah dalam keadaan terpaksa, memang power lebih bakal keluar.

Alam memang tanpa kita sadari telah turut membentuk kepribadian dasar suatu bangsa. Masalah kecil dan sepele di antara kita sebenarnya merupakan petunjuk sifat dasar suku/ras/bangsa tersebut. Mana yang salah dan mana yang benar? Dua-duanya benar semua, tergantung bagaimana hal itu ditempatkan. Kedua-duanya merupakan sifat dasar masing-masing, jadi gak ada yang salah. Senjata gak ada yang salah, dan masing- masing senjata punya kelebihan dan keunggulannya. Yang salah itu adalah the man behind the gun. Apakah dia mau memanfaatkan untuk tujuan baik ataukah mau untuk tujuan jahat.

Hmmm, at last, saya pernah tinggal di dua negeri, Jepun dan Singapore. Kedua-duanya sama-sama bersih dan teratur. Namun ada perbedaan mendasar yang saya lihat. Orang Jepang, kalau pergi ke luar negeri umumnya tetap gak berubah, alias tetap teratur dan taat peraturan. Tapi orang Singapore baru nyebrang 14 km saja ke Batam, sudah bertingkah sengak dan suka-suka. Buang sampah sembarangan lah, merokok dimana-mana lah, seenak udelnya lah dll. Kenapa bisa begitu? Ya jawabnya ada di sifat dasar itu. Dan juga yang satu tertib karena apa dan yang satu lagi tertib karena apa. Karena Indonesia "serumpun" dengan Singapore, pilihan yang tepat adalah bukan gaya Jepang, melainkan gaya Singapore, alias peraturan dibuat keras dengan penegakan atas pelanggaran yang konsisten.

Ini intinya, dan sialnya kita punya banyak peraturan tapi penegakkannya mencla-mencle. Akhirnya mbulet, tetap aja semua pada suka-suka. Yang namanya peraturan di Indonesia itu punya 3 sifat dasar: 1. Penerapan awalnya heboh banget tapi bersifat hangat-hangat chicken shit, kalo gak bisa dibilang bersifat bak halilintar, menggelegar sesaat namun lenyap tak berbekas tanpa kesan dan kesan. 2. Peraturan selalu bisa dinego dalam penerapannya. Ini yang payah memang penegak hukumnya yang gak tegas serta juga para pelanggarnya yang mau enak dan cari jalan pintas. 3. Peraturan selalu ada celahnya yang bisa dikadali. Gak tau ini karena peraturan itu yang gak sempurna dibuat, ataukah sengaha dibuat demikian, ataukah orang kita yang terlalu pintar mencari celah.

Peraturan udah bagus dan banyak, meski kadang dalih pembuatan peraturan itu ajaib. Tengok saja tentang peraturan Tibum di DKI Jakarta yang bakal mendenda pemberi pengemis, sampai 20 juta rupiah. Di situlah dilematisnya. Kalau gak ditertibkan pada ngeyel dan suka-suka. Maunya ditertibkan tapi kok gak menyentuh akar masalah mereka dan memberi solusi kepada mereka, yakni pekerjaan dan penghidupan yang layak. Lihat saja nanti seberapa konsisten aturan yang telah diketok palunya bakal ditegakkan.

Pengalaman saat ini menunjukkan peraturan pelarangan DVD bajakan adalah cuma di atas kertas, dan peraturan larangan merokok juga macan ompong. Dan banyak lagi aturan lainnya yang jadi percuma meski dibuat dengan anggaran yang tak kecil. Penegak hukumnya gak tegas dan orang kitanya pada suka-suka. So what to do?Balik lagi ke masalah nyebrang jalan, apakah anda bakal menyebrang ataukah tetap menunggu, seandainya lampu masih berwarna merah namun jalan di depan kosong melompong? Apa alasan pilihan anda itu?

Wassalaam,

Papa Fariz
Web Blog: http://papafariz.blogspot.com
FS Account: boedoetsg@yahoo.com

No comments: