Sunday, June 10, 2007

Ketika nurani dimangsa fulus

Posted: 13 Februari 2007

Assalaamu 'alaikum,

Semalam di pulau yang berjarak sejam perjalanan Ferry dari negeri liliput ini, saya menyaksikan acara dialog di alah satu TV swasta, dengan judul "Serangan Balik DPRD". Yang dibicarakan apalagi kalau bukan perihal Revisi PP no. 37.

Seperti kita ketahui, sejak akhir pekan lalu, dengan berbondong- bondong, para anggota DPRD dari seluruh Indonesia mendatangi ibukota untuk menuntut Pemerintah memberlakukan kembali PP yang menuai protes dari masyarakat, dan menurut kajian para pakar dari berbagai universitas telah melanggar 5 UU, yang merupakan peraturan dengan tingkat lebih tinggi dari PP, serta mengusik rasa kepantasan, di mana di kala negeri dilanda bencana dan masyarakat banyak yang jauh miskin, mengapa para wakil rakyat malah ketiban rejeki yang membuat perut mereka tambah membuncit padahal kinerja dan prestasi mereka terus dipertanyakan rakyat.

Saya hanya bisa mengelus dada dan menggelengkan kepala. Masih untung gak ada batu di sebelah saya. Masih untung TV-nya punya hotel. Kalau gak, bisa-bisa saya sambit TV ini. Jengkel dan geram melihat kengototan perwakilan anggota DPRD ini untuk memperjuangkan rapelan yang memang tak perlu ada ini. Meski menuai protes rakyat yang diwakilinya sana-sini, mereka tetap BUDEG, dan yang terpenting syahwat mereka dan kepentingan bisa terpenuhi, tanpa peduli apa masalah yang sesungguhnya. Akankah mereka mati-matian andaikan yang dipermasalahkan itu bukan fulus untuk kepentingan mereka, melainkan kepentingan rakyat yang kadang tidak menebalkan kantong mereka? Saya sangsi untuk bisa menjawab iya.

Haruskah saya terus-menerus husnudzhan khususnya terhadap mereka, sedangkan makin hari kita menyaksikan dan mendengarkan fakta aneh bin ajaib dari kelakuan dan kinerja mereka?
Taukah anda, berapa anggaran yang diperlukan untuk memenuhi PP no. 37 ini? Anggaran itu per tahunnya total hampir mencapai 1,5 trilyun rupiah. Namanya pun keren, tunjangan komunikasi intensif dan dana operasional.

Lucunya, ada daerah yang minus dengan APBD pas-pasan, namun para anggota DPRD nya tetap BINDENG dengan gak peduli dan memperjuangkan daerah itu pun harus mengimplementasikan dana-dana aneh tesebut dengan mengambil batasan maksimum. Batasan maksimum? Suatu hal yang benar-benar ridicuolus, kenapa batas maksimum yang mereka pilih? Itulah karena menyangkut dana untuk mereka. Biasanya untukmenghasilkan suatu Perda, butuh waktu berbulan-bulan untuk membahasnya. Perlu studi banding sana-sini dengan pembahasan yang mendalam.

Tapi mengapa Perda untuk PP no. 37 ini dengan serta merta disetujui dalam waktu yang singkat? Yang sangat lucu lagi, gak sedikit yang menolak untuk mengembalikan rapelan untuk PP yang berlaku surut ini karena awalnya akan dihitung dari bulan Januari 2006. Memang aneh bin ajaib mereka ini. Sungguh memuakkan dan menjengkelkan.

Rasanya belum lepas dari ingatan kita pada hingar bingar Pemilu 2004 lalu, bagaimana banyak orang yang memaksakan diri untuk menjadi calon jadi anggota legislatif baik di pusat maupun daerah. Dana yang harus digelontorkan agar menjadi calon jadi dan untuk berkampanye adalah milyaran rupiah, bahkan tak segan pula banyak yang meminjam uang sebagai investasi awal untuk menjadi anggota legislatif. Apakah keinginan mereka untuk menjadi anggota legislatif itu murni semata untuk memperjuangkan kepentingan rakyat sekaligus memperbaiki nasib bangsa ini agar kehidupannya berjalan lebih baik?

NOL besar jawabnya. Tentunya andaikan mereka sudah duduk di sana, pastilah yang terpikir bagi mereka bagaimana mereka bisa balik modal dulu. Bagaimana modal awal mereka bisa kembali kepada mereka, in whatever cost alias bagaimana pun caranya.Tentunya mereka sebelumnya telah memperhitungkan berapa yang bakal mereka dapat dari kedudukannya sebagai anggota legislatif, baik entah dari gaji pokok, tunjangan, komisi-komisi, proyek-proyek, kemudahan berbisnis dll. Mereka sudah memperkirakan kapan bakal mendapatkan break event point-nya.

Hey bung, ini bukan bisnis, ini bekerja untuk rakyat, rasanya nurani saya ingin teriak demikian. Itulah bedanya negeri kita dengan negara maju. Di negara maju, seseorang biasanya kaya dulu baru jadi anggota wakil rakyat. Jadi kedudukan wakil rakyat itu bukan menjadi ladang untuk mengeruk uang, Di kita, belum kaya, tapi kepengen kaya melalui embel-embel status wakil rakyat. Sudah rahasia umum, preman pun bisa jadi anggota legislatif. Bukan berarti preman gak boleh jadi wakil rakyat. Namun disayangkan kelakuan dan pemikiran semasa preman terus dibawa, hingga ya tau sendiri hasilnya.

Di Singapore sekali pun, orang yang hendak mencalonkan diri menjadi MP (Member of Parliaments), harus menyerahkan "uang pendaftaran" sebesar SGD 30 ribu (setara dengan 170 juta rupiah). Kalah atau menang, uang itu akan menguap (CMIIW). Ini diberlakukan agar pihak penyelenggara yakin bahwa sang calon memiliki kemampuan finansial yang cukup. Dengan demikian maka kemungkinan penyalahgunaan jabatan untuk memperkaya diri, bisa lebih diperkecil.

Beberapa bulan lalu, saat bertandang ke pulau yang berjarak 14 km dari negeri liliput ini, saya bertemu pula dengan teman lama yang menjadi seorang production manager di suatu perusahaan. Dia bercerita bagaimana panas hatinya saat sedang bertandang ke Yogya, seorang travel agency mengeluhkan kelakuan minus wakil rakyat yang sedang studi banding ke daerah tersebut. Mereka memaksa minta hotel mahal dengan discount yang gede. Kemudian tiap orang minta di-booking-in 2 cewek sekaligus dan harus ada malam itu. Bayangin, yang datang ada 20 orang, dan itu berarti malam itu sang agen harus mencari 40 kupu-kupu malam. Sialnya, para anggota pilih-pilih, maunya penjaja syahwat yang putih, cantik dan bersih. Oalaaa, bukan main pontang-pantingnya mereka. Andaikan tidak dipenuhi, bukankah ke depannya, bisnis perusahaannya akan berada dalam "bahaya"?

Teman yang satu ini pun sempat jengkel lagi, manakala kawan lamanya yang menjadi pejabat eksekutif datang ke Batam, membawa para anggota legislatif, dan meminta dia ikut melayani dengan mengantar sana-sini. Dia pun sebel berat, ketika makan-makan bareng, ketika para anggota dewan yang terhormat itu ogah bayar bill makan, minimal untuk bagiannya sendiri. Gaya mereka di hotel pun memuakkan. Banyak yang bercelana pendek, bertelepon sambil terkekeh-kekeh dan mengisap rokok tidak pada tempatnya, bagaikan dunia ini milik mereka sendiri. Saudara seorang kawan yang bekerja sebagai konstruktor, selalu mengeluh. Kenapa? Karena setiap ada kunjungan para anggota dewan, ya mereka harus "ngamplopi", dimana tentunya tiap amplop gak sedikit jumlahnya. Yahh daripada nanti bisnis dan proyeknya terganggu, apa boleh buat, mau gimana lagi?

Saya pun pernah bertemu dengan seorang dosen yang menjadi kawan dekat pak walikota di kota satelit Jakarta. Pak Wali yang baru terpilih melalui proses pengadilan yang panjang dan melelahkan memang kepusingan. Maksudnya hendak membuat kotanya lebih baik, dan menertibkan "kebijakan aneh" sebelumnya. Namun selalu dia dihadang dengan beragam hal sepele, sampai yang terakhir soal pergantian seorang Sekda, yang sebenarnya kewenangannya. Bukan apa-apa, Sekda itu kan posisi strategis yang menentukan kemana cash flow berlangsung. Andaikan sekda diganti, kemudian cash flow berubah atau ditertibkan, darimana lagi "side income" itu akan datang?

Wajar saja, mereka merasa gak senang apabila kenyamanan mereka terusik pada akhirnya. Selanjutnya dalam kasus kenaikan kesejahteraan anggota dewan secara legal, yakni melalui gaji pokok dan tunjangan, mereka selalu meng-klaim wajar karena mereka perlu nyetor ke partai yang membesarkannya? Hmm nyetor partai? Itu kan urusan mereka, kenapa Pemerintah yang harus tanggung renteng membayari mereka?

Kalau kita bekerja di suatu perusahaan swasta, maka kita akan terkait prinsip take and give, di mana payment kita akan disesuaikan dengan beban, tanggung jawab dan performa kita yang sewaktu-waktu di evaluasi. Pihak manajemen pun tak segan untuk mempersilahkan kita pamitan kepada rekan lainnya, andaikan kinerja dan prestasi kita tak sesuai dengan harapan perusahaan.Bagaimana dengan wakil rakyat yang nota bene digaji dari uang pajak rakyat, di mana sesungguhnya majikan mereka adalah rakyat, yang juga telah memilih mereka? Adakah mereka akan dan patut dievaluasi? Lantas bagaimana caranya? Jangan berharap banyak bahwa mereka mau dievaluasi, sedangkan mereka sudah budeg dan tak punya hati nurani.

Fenomena perselingkuhan anggota dewan dengan seorang artis dangdut beberapa waktu yang lalu pun, ditenggarai hanyalah puncak gunung es dari kelakuan miring para anggota dewan. Yang bersangkutan cuma ketiban sial karena ketauan, sedangkan yang lainnya kini lebih memilih tiarap untuk urusan esek-esek. Bukan apa-apa brur, kita jengkel melihat gitu, karena gaji mereka dari pajak kita. Masak sih pajak kita dipakai buat memuaskan syahwat mereka, sedangkan di sudut-sudut jalan DKI, banyak anak kecil yang gak sempat belajar, namun harus banting tulang mencari uang, baik dengan menjadi pengemen, penjaja koran, maupun menjadi pengemis dll.

Hati saya menangis melihat kondisi mereka, namun saya lebih menangis lagi saat tau saya memang gak punya otoritas yang dapat membantu mereka mengatasi kesulitan hidup. Bukan salah bunda mengandung, kalau mereka menjadi seperti ini. Ironis sekali, di saat mereka berjuang susah payah untuk bisa ketemu nasi sehari sekali, namun para wakilnya berjuang bersusah payah pula untuk tetap bisa menggendutkan perutnya.

Hmm, terlalu banyak rasanya nada-nada miring untuk dilukiskan di sini. Saya pun enggan menuai protes dari beberapa pihak yang menganggap saya cuma bisanya menulis hal-hal miring tentang kondisi bangsa. Dalam hati saya cuma berharap kepada segelintir kawan baik saya tersebut, bukan semata saya mau menjelek-jelekkan bangsa sendiri. Namun saya sangat cinta bangsa ini sehingga tak tega dan tak rela andaikan bangsa kita yang sebenarnya gemah ripah loh jinawi harus hidup bagaikan anak ayam mati di sarang gabah.

Siapa yang bisa membantu perbaikan nasib anak bangsa, kalau bukan para pejabat legislatif dan eksekutif, yang memiliki otoritas langsung, walau tetap tak lepas dari dukungan rakyat untuk memperbaiki kondisi itu?

Sesuatu itu selalu memiliki dua sisi, yakni sisi baik dan sisi buruk, demikian pesan seorang sobat di negeri Singa. Semoga ada pihak lain yang sanggup menuliskan kebaikan para anggota legislatif kita, dan mungkin juga kebaikan dari pihak eksekutif. Fakta ini bukan berarti membuat kita lantas menggeneralisir bahwa semua anggota dewan adalah buruk dalam attitude dan kinerjanya. Dan tidak juga untuk membuat stigma mereka menjadi lebih buruk serta menghilangkan kepercayaan rakyat terhadap mereka.

Percayalah, kalau ada yang YIN (buruk), tentulah ada yang YANG (baik). Semoga di suatu masa nanti jumlah yang YANG akan lebih banyak serta kinerjanya dapat menutupi kinerja para YIN. Yakinlah itu, dan toh kewajiban kita hanyalah berusaha dan berusaha. Berusaha agar para wakil kita cenderung menjadi YANG.

Siapa lagi yang bisa memperbaiki nasib bangsa kalau bukan kita sendiri? Siapa lagi yang bisa diharapkan kalau bukan para wakil rakyat dan Pemerintahnya sebagai pemegang otoritas langsung? Namun yakinkah kita perbaikan itu akan tercapai dengan attitude, kinerja dan prestasi seperti ini, ditambah dengan sarat kepentingan dan muatan politis sana-sini?

Rasanya hati nurani kita akan menjawab tidak. Lantas bagaimana solusi akhir agar perbaikan dapat dilakukan? Entahlah, untuk hal ini agaknya saya pribadi khususnya, hanya sanggup bertanya kepada rumput yang bergoyang. Sembari melihat awan dan berkata kepadanya agar waktu untuk perbaikan itu tak harus menunggu bintang jatuh dari langit.

Maaf andaikan ada kata-kata atau isi yang kurang berkenan dalam tulisan ini.

Wassalaam,

Papa Fariz
FS account: boedoetsg@yahoo.com

No comments: