Saturday, October 27, 2007

Solusi anti byarr pett yang mbulett

Posted: 8 Agustus 2007

Assalaamu 'alaikum,

Byarrr, pettt, begitu kadang terjadi di Jakarta, hingga menyebabkan para penduduknya sebel berat. Pernah waktu itu, di kampung sebelah, gardu PLN ramai-ramai diserbu, gara-gara warga bete abis, lagi enak-enaknya menikmati tayangan seru final PD 2006, PLN gak kenal kasihan, dengan kejam memadamkan listrik warga kampung sebelah. Byarrr peett acap terjadi, dan PLN selalu berkilah bahwa pasokan listrik kita memang gak cukup, sembari meminta keikhlasan para warga. Sejatinya pasokan listrik ideal untuk Jamali (Jawa-Madura-Bali) adalah 60-70k MegaWatt. Namun saat ini baru terealisasi hanya 30k MW. Jadi wajarlah kalo kita semua harus siap-siap menerima pemadaman bergilir.

Membangun infrastruktur listrik memang gak murah. Biayanya bisa mencapai trilyunan rupiah per Pembangkit Listrik. Dari sekian banyak alternatif, yang tersisa dan paling mungkin, hanyalah ada 3. Yaitu, PLT Batu Bara, PLT Panas Bumi dan PLT Nuklir. PLT Batu Bara bermasalah karena punya efek sampingannya yang tak kalah menyeramkan, yakni asap emisi dari batu bara akan mengotori atmosfir kita. Lagipula batu bara itu harus diangkut dari luar Jawa, yang biayanya transportasinya gak murah, dan penambangannya pun banyak yang merusak lingkungan. Kalau PLT Panas Bumi, daya yang dihasilkannya memang kecil sekali, sehingga sedikit saja pihak yang berinisiatif untuk mengolahnya. Yang tersisa adalah PLT Nuklir.

Namun, apakah sudah saatnya PLTN dibangun di nusantara? Inilah yang kini memacu debat berkepanjangan di bumi nusantara. Pihak yang menolak beralibi baha orang kita ini masih konyol, doyannya korup, gak disiplin. Ngurus sampah aja gak becus, apalagi ngurus nuklir. Radiasi nuklir memang mengerikan, maka apakah kita akan sanggup menangani andaikan terjadi sesuatu? Apakah kita sudah punya SDM yang mumpuni akan hal itu? Yang setuju berdalih, PLTN adalah futuristik. Suka atau tidak, kita harus beralih ke sana. PLTN ini adalah sumber listrik yang paling murah, dan lagi bisa di daur ulang.

Lihatlah cadangan bahan bakar fosil yang ada di dunia. Minyak bumi cuma tersisa untuk 43 tahun (1316 trilyun barrel), sedangkan batu bara masih cukup untuk 231 tahun (1316 trilyun ton), tapi gas hanya cukup untuk 62 tahun saja (144 trilyun m3). Memang saat ini 63% pasokan listrik dunia masih berasal dari bahan bakar fosil. Uranium, sebagai bahan baku PLTN masih memiliki cadangan untuk 72 tahun (4,36 juta ton), namun limbahnya bisa di daur ulang sebanyak 30 %. Apalagi masih ada cadangan kadar rendah Uranium di lautan sebanyak 4 milyar ton.

Saya jadi teringat kembali kenangan 12 tahun lalu, saat berkunjung ke salah satu PLTN di wilayah Kagoshima, Jepang, dalam rangka study tour. Jepang memang kini memiliki 54 PLTN di seluruh wilayahnya. Pasokan listrik mereka paling sedikit 30% berasal dari PLTN. Prancis lebih ekstrem lagi, pasokan listriknya 80% dari PLTN. Menilik dari penjelasan staf di sana, PLTN memang didesain seaman mungkin. Batan kita sendiri mendesain, sekurangnya tembok pengaman ada 5 lapis, sehingga amat sulit radiasi untuk bocor keluar. PLTN di Jepang juga didesain secara otomatis untuk langsung berhenti begitu terjadi gempa bumi atau kebakaran.

Pada prinsipnya, PLTN sama dengan sumber listrik lainnya. Prinsip dari semua sumber listrik adalah memanaskan air, hingga menjadi uap, dan aliran uap ini akan menggerakkan turbin. Energi gerak turbin tersebut akan dikonversi menjadi energi listrik yang siap dipasok kemana-mana. Pada PLT Uap, bahan bakunya adalah minyak, gas atau batu bara untuk mendidihkan air. Pada panas bumi, panas bumi lah yang dipakai untuk memanaskan air. Kalau untuk PLT air laut, gerak pasang surut air laut, mendorong angin yang memutar turbin. Sedangkan kincir raksasa langsung mengkonversi tenaga gerak menjadi energi listrik. Semua prinsipnya adalah sama, tenaga gerak menjadi energi listrik.

Untuk PLTN, panas yang dihasilkan oleh reaksi fisi, yakni panas hasil pembelahan inti logam berat Uranium-235 (biasanya). Panas yang dihasilkan sedemikian besar (Einstein kan bilang E = mc2), hingga mampu memanaskan elemen pendingin, yang nantinya akan memanaskan air di sekitarnya, yang juga berfungsi sebagai penyerap panas. Dengan pengaturan tekanan, air akan berubah menjadi uap yang akan menggerakkan turbin. Tenaga gerak turbin inilah yang nantinya diubah jadi listrik. Lebih jelasnya bisa dicek di: http://en.wikipedia.org/wiki/Nuclear. Di Jepang limbah nuklir disimpan rapi dalam tong-tong untuk kemudian ditanam dalam-dalam di perut bumi di lokasi tertentu. Kini total ada 443 PLTN di dunia.

Bedanya PLTN dengan bom atom atau bom nuklir adalah, dalam PLTN, reaksi berantai dari fisi inti atom berat, dikontrol, sehingga energinya bisa dimanfaatkan. Sedangkan dalam bom nuklir, reaksinya sengaja dibuat tidak dikontrol, sehingga begitu rekasi dipicu, panas dan ledakannya menjadi sangat-sangat mengerikan. Tak pelak lagi, nuklir memang futuristik, dan harus ke sana ke depannya. Karena memang ini satu-satunya sumber energi yang luar biasa dan tak akan habis di masa depan. Kini, reaksi nuklir jenis lain, yakni, reaksi fusi (penggabungan atom hidrogen) sedang dikembangkan, karena lebih aman dan energi yang dihasilkan lebih besar lagi. Matahari sendiri merupakan hasil reaksi fusi nuklir, dimana panas yang dihasilkan sampai jutaan derajat. Dan matahari itu ciptaan Allah SWT, dan inilah bukti bahwa sebagai makhluk kita memang tak akan mampu menyaingi sang Pencipta.

Balik lagi ke domestik, PLTN memang futuristik dan mungkin sudah keharusan di masa depan untuk menguasainya. Namun apakah saat ini timing yang tepat buat kita untuk ke sana? Sudahkah kita siap dengan biaya 5 trilyun/PLTN, juga dengan SDM, maintenance dll? Namun andaikan kita gak mencoba dari sekarang, apakah nantinya akan menyia-nyiakan potensi kita sendiri yang mungkin sanggup menguasai teknologi nuklir? Akhir tahun lalu, saya berjumpa dengan seorang klien, yang menjadi MD di salah satu sub-con di Batam. Tak dinyana, beliau adalah lulusan Teknik Nuklir UGM.

Konon katanya, jurusan Teknik Nuklir sengaja diadakan sebagai persiapan pembangunan PLTN Muria. Namun sempat berantakan apalagi ada kekisruhan politik, sehingga alumnusnya yang memang genius, bertebaran mencari beragam pekerjaan, termasuk beliau, yang meniti dari bawah sebagai seorang engineer biasa di pabrik. Bahkan tukang es krim di Cimahi pun, yang mantan karyawan PT DI, ternyata lulusan teknik nuklir juga. Sayang seribu sayang, walau kini akhirnya pemerintah di tengah pro dan kontra mencanangkan pembangunan PLTN Muria pada tahun 2010 dan ditargetkan untuk selesai di tahun 2016.

Kalau kita masih pro kontra mengenai PLTN, Iran malah ingin menguasai dan membuatnya, namun lucunya malah gak boleh oleh AS dan konco-konconya. Sangatlah tepat argumen presiden mereka bahwa apabila nuklir memang bermanfaat, mengapa Iran tidak boleh memilikinya? Namun apabila memang nuklir adalah sesuatu yang jahat, kenapa bangsa barat dan Israel malah memilikinya? Suatu hal yang sangat merendahkan sekali, ketika AS melarang Iran memilikinya sekalipun untuk PLTN, dengan alasan kuatir dijadikan bom nuklir. Itu saja dengan menghina bahwa Iran adalah bangsa yang jahat, at least berpotensi jahat dan tidak beradab karena ingin memakai nuklir sebagai senjata pengancam negeri lain. Sedangkan AS adalah bangsa beradab, karena sekalipun punya senjata berbahaya, mereka mampu mengendalikan diri. Suatu penghinaan yang ridiculous.

Singapore, negeri mini yang gak terlibat dalam heboh nuklir-nukliran dan PLTN, bagaimana menyiasati pasokan energinya? Hmm, taukah anda ternyata Singapore banyak bergantung pada pasokan gas dari Natuna. Pernah suatu ketika di bulan Oktober 2002, setengah Singapore mengalami black out. Penyebabnya ternyata macetnya valve pada pipa pemasok gas dari Natuna. Kerugian dari 2 jam black out ini adalah bahkan mungkin sampai trilyunan perak. Dan taukah anda, dari wawancara dengan Pak Amien Rais di sebuah radio, konon katanya gas kita dijual dengan sistem kontrak dengan harga yang murah sekali. Bukan dengan tanker lagi dijual, melainkan langsung melalui pipa gas, jadi orang sini kayak tinggal buka keran saja.
Yang lebih mengejutkan lagi, konon katanya kita cuma menikmati royalti dari jumlah gas Natuna yang dikelola oleh Exxon Mobil. Sialnya, meteran gas itu adanya di Singapore (CMIIW) dan bukan di kita. So, jumlah pastinya berapa yang dipasok, ya kita gak tau secara transparan. cuma royalti aja yang kita terima. Gilee brurr. Yang kasian juga orang-orang Natuna. Ada klien saya di Batam yang berasal dari Pulau Tujuh di Natuna. Penduduk di sana miskin-miskin, sehingga mau tak mau, dia pun harus terpaksa merantau. Entah kemana uang yang didapat dari jumlah gas yang sangat besar di sana. Dan nyatanya memang daerah sana gak dibangun sehingga rakyatnya harus hidup di bawah garis kemiskinan.

Hmm, menyiasati listrik memang gak mudah. Mau ambil PTN juga menuai pro dan kontra. Lantas bagaimana baiknya? Kalau gak ada solusinya, gak asyiklah, karena bakal byarr pettt melulu. PLN pun listriknya dicolongin melulu. Namun oknum PLN pun banyak yang nakal, justru membantu pencolongan itu. Yang lebih nyebelin, gak jarang mereka nembak pemakaian dan biaya listrik sekian dan sekian. PLN yang masih merugi pun, manajemennya seneng bagi-bagi bonus gede, sehingga dulu dimasalahkan, masak perusahaan merugi malah bagi-bagi bonus.

Kalau mau gak bermasalah, maka harus dibangun fasilitas listrik yang bagus. Namun untuk ke sana butuh dana besar. Sayangnya dananya banyak yang dikorup. Termasuk dalam membangun PLTU Paiton sekali pun, budget-nya di mark up. Subsidi selamanya memang gak bagus, karena akan terus membuat rakyat seperti menyusu, dan itu juga gak baik buat anggaran negara. Namun masalahnya kalo pakai harga normal, rakyat gak mampu buat bayar listrik. Disubsidi aja masih megap-megap. Mau bangun PLTN, keraguan akan sikap, sifat dan budaya serta SDM kita yang memuncak. Tapi kalo bukan PLTN, listrik yang baru pun akan mahal harganya, dan itu artinya justru negara harus memperbesar subsidinya lagi. Wahh mbuleet dong jadinya.

Suka atau gak, mau atau tidak, entah kapan, kita memang harus beralih ke energi nuklir. Namun apakah kini waktunya sudah tepat dan kita sudah siap segala-galanya? Ini yang harus dikonfirmasi terlebih dahulu, karena kita selalu punya kebiasaan kejadian dulu, baru rame-rame diributkan, dan dicari kambing hitamnya. Kita gak terbiasa memikirkan preventif. Ini udah cerita basi di nusantara. Tapi masalahnya kali ini barangnya gak main-main, yakni nuklir. Memang sih paranoia akan nuklir gak beralasan, dan meragukan kemampuan negeri sendiri juga tak ada gunanya dan sama saja dengan mengerdilkan bangsa sendiri, dan itu gak akan memajukan bangsa kita. So??? Mbulet, tapi nuklir memang futuristik dan menantang untuk ditaklukkan.

Wassalaam,

Papa Fariz
Web Blog: http://papafariz.blogspot.com
FS Account: boedoetsg@hotmail.com

No comments: