Saturday, June 16, 2007

Cuma kelas bulu, then how?

Posted: 6 Maret 2007

Di kampung sebelah, boro-boro mikir ngurus anak, mikir besok makan apa gak aja udah susah. Pas pulang, sesekali jalan ke kampung sebelah sekalian nyariin tukang betulin genteng bocor dll, saya suka mampir ketemu kawan lama ataupun tetangga lama. Kadang juga nongkrong areng sama tukang ojek dan di warung rokok, sekalian pengen tau aktual kondisi mereka serta bagaimna pemikiran mereka.

Kasian aja gitu. Anaknya pada dilepas, terserah mau bagaimana. Mau ngedidik di rumah, juga di rumah sempit gak ada apa-apa. Mau dididik ngaji, banyak yang gak peduli, soalnya orang tua mereka kebanyakan Islam abangan, yang terlahir sebagai Muslim, tanpa pernah tau kenapa harus jadi Muslim (maaf, gitu kali kasarnya).

Namun, di kompleks deket rumah, yang ekonominya agak lumayan, dan ortunya berpendidikan lebih bagus, mereka terlihat lebih bisa meng-handle anak-anaknya. Maklumlah kalo ekonomi sudah secure, mau gaya jungkir bali, mau gaya kodok nangkring di pohon, udah gak masalah.

Apa kesimpulannya? Kesimpulan ini pernah saya sampaikan juga ke Mas ustadz. Perda ini memang bagus, tapi sekali lagi gak bisa dipaksakan begitu saja kalau akar permasalahan belum diselesaikan, yakni masalah ekonomi dan pendidikan. Kalau orang yang kuat iman, miskin-miskin sedikit bolehlah mereka bisa tahan, dan tetap bisa mersakan ketenangan jiwa.
Namun buat kebanyakan orang yang ilmu agamanya MASIH KELAS BULU, urusan perut adalah hal yang lebih utama. Bukankah Rasulullah pernah bersabda bahwa Kefakiran mengundang kukufuran? Dari hal manusiawi inilah, kita bisa tau bagaimana berkembangnya ajaran Marxisme, dan bagaimana meruyaknya kristenisasi yang memanfaatkan celah kemiskinan.

Bicara perbaikan moral tanpa ada upaya perbaikan ekonomi pada akhirnya akan jadi pepesan kosong. Karena gak semua orang berada di kelas berat, alias bisa tahan godaan ekonomi dengan imannya. Namun realitanya, dan sayangnya justru banyak yang cuma jadi kelas bulu. Kalau sudah gini, jangan harap ngomong masalah agama mau di dengar.

Mau bukti lebih konkret? Datanglah ke Galur, di Cempaka Putih. Bukan apa-apa, itu daerah kumuh memang daerah, maaf, "berjuta masalah". Mau cari perampok, pencoleng, narkoba dll, lengkap stoknya. Mendisplinkan anak dengan melarang nonton? Halah, TV aja gak punya apa yang mau ditonton. Buat makan aja susah, kok dah mikir yang tinggi-tinggi sih? Hati nurani mereka masih bisa membedakan mana yang baik dan gak. Tapi kenapa mereka melanggar hukum-hukum Allah dan manusia? Tak lain semata karena kondisi kehidupan mereka yang memaksa begitu, sedangkan mereka cuma kelas bulu. Siapa sih yang pengen terlahir sebagai penjahat, perampok dll?

Soo, jangan lagi bicara muluk-muluk perbaikan akhlak dan moral, kalau ekonomi umat gak diupayakan untuk dibangun atau umat ditingkatkan kesejahteraannya. Gak usah lah kita terlalu meng-awang-awang di angkasa, sementara kita melupakan realita permasalahan yang sesungguhnya.

Wassalaam,

Papa Fariz
FS account: boedoetsg@yahoo.com

No comments: