Received: 15 April 2007
assalamu'alaikum,
sebelumnya mohon maaf kpd para imasers, krn posting ini mungkin terlalu serius. soalnya byk orang sdg kecanduan tukulisme. nah, saya mau merespon kegelisahan papanya fariz soal pemboman yg terjadi di negeri muslim, tp dgn kisah yg berbeda. kali ini dari pengakuan terbaru hambali, warga cianjur (ada anggota imas yg satu asal gak?), yg kini ditahan di guantanamo.
buat saya, pengakuan dia tak terkait dgn alqaedah dan sdh keluar dr JI sejak 2000, serta tak terlibat dgn rencana pemboman di singapor dan malam natal kelabu 2000, amat-sangat mengejutkan. krn itu menjungkirbalikkan asumsi yg dipaksakan amrik selama ini dgn narasi besar GWOT -- global war on terrorism.
saya berharap pemerintah indo merumuskan kembali kebijakan antiterorisme yg ditempuh selama ini -- kebetulan saya menulis tesis ttg indonesian counter-terrorism policy in the era of democratic transition. di situ, terlihat berbagai kejanggalan dan komplikasi. contoh paling mudah, mengapa densus 88 begitu over-acting menangkapi para kroco (ingat, kasus penyergapan di sleman/surabaya/wonosobo), sementara dalang utamanya lolos terus?
itu kan seperti cerita detektif romantika dulu atau polisi bollywood yg acap dikibuli para preman. mengapa pula kepala BIN tiba-2 mengusulkan lagi (utk ke sekian kali lho!) akan merekrut agen intel dari kalangan santri, apa pemerintah sdh memandang pesantren sebagai ancaman nasional? ini gimana sih logika pemerintah kita, apa mau meneror warganya sendiri.
kita sdh berbusa-2 berdiskusi di milis ini, betapa korupsi menjadi penyakit kronis. mulai dari dana BLBI yang tak bisa dikembalikan ke kas negara hingga dana apbn/apbd yg nganggur di pos SBI. kita juga berdiskusi ttg dekadensi moral para elite politik/ekonomi, manajemen bencana yg acakadut, dan 1001 persoalan lainnya. tugas pemerintah mestinya membuat framework yg jelas, "ancaman nasional" kita saat ini kayak apa, kalau bisa malah sampai 10-20 tahun ke depan. dari situ seluruh energi nasional bisa dikerahkan, jangan malah mengacak-2 potensi masyarakat yg sedang tumbuh.
cuma persoalannya, bagi kalangan aktivis Muslim, juga perlu introspekasi: apa format gerakan dan metoda perjuangannya sudah kompatibel dgn era transisi menuju demokrasi? aspirasi menegakkan syariah, mewujudkan masyarakt madani, memulihkan jati diri sebagai bangsa muslim terbesar di dunis, dlsb perlu ditempatkan dlm kerangka hidup bersama. sebab kita tak tinggal di pulau terpencil atau hutan rimba. pendeknya, semua pihak perlu serius menyelesaikan masalah sampai ke akarnya, bukan malah memancing masalah baru, kayak aksi densus 88 (ini kok spt merk jamu cap 16 ya?). btw, densus 88 saat ini menjadi suatu unit negara yg kebanjiran dana hibah dari pelbagai negri, ini mirip dgn kopassus di era orde baru yg kemudian mendorong terjadi abuse of power.
wassalam,
sapto
http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=289912&kat_id=16
Dekonstruksi JI dan Alqaidah
Sapto Waluyo Direktur Centre for Indonesian Reform, Mahasiswa Pascasarjana di S Rajaratnam School of International Studies, Singapura.
Wacana terorisme global mendapat goncangan hebat dengan pengakuan terkini Hambali dari penjara Guantanamo, Kuba. Pemuda asal Cianjur, Jawa Barat, itu menyatakan ia memang anggota Jamaah Islamiyah (JI), tapi sudah keluar pada tahun 2000 dan sama sekali tak ada kaitan dengan jaringan Alqaidah. Kesaksian itu diungkapkannya (4/4) di hadapan panel hakim militer yang dibentuk Departemen Pertahanan AS untuk menentukan statusnya sebagai enemy combatant atau bukan dalam pengadilan militer yang akan digelar.
Hambali yang diperiksa bersama 13 tahanan Guantanamo lain termasuk daftar paling berharga untuk mengungkapkan fakta di balik aksi teror global. Tentu sangat mengejutkan, saat ia menyangkal terlibat dalam rencana pengeboman kedubes asing di Singapura tahun 2000 dan pengeboman berantai di malam Natal di Indonesia. Anggapan yang berkembang selama ini, bahwa Hambali adalah komandan operasional atau pemasok dana bagi rangkaian teror di Tanah Air, telah terbantahkan.
Panel itu merupakan ujian bagi pemerintahan George W Bush yang kini berada dalam tekanan mayoritas Partai Demokrat di Kongres AS. Banyak pengakuan kontroversial muncul dalam pemeriksaan itu, termasuk dari Khalid Sheikh Muhammad yang menyatakan diri sebagai otak dari serangan 11 September 2001 atas gedung WTC dan markas Pentagon. Khalid dipandang bermulut besar oleh Komisi 9/11 yang pernah dibentuk Kongres, dan kini secara bombastik mengakui bertanggung jawab sebagai perencana dan pemasok dana bagi 30 operasi teror di seluruh dunia sejak dekade lalu.
Ada perbedaan nuansa dalam pengakuan Hambali dan Khalid, dan tentu saja dari para tahanan Guantanamo lainnya, sesuai dengan posisi mereka masing-masing. Khalid dikenal cukup dekat dengan Usamah bin Ladin, dan bahkan diberi tugas oleh Ayman Az Zawahiri sebagai penghubung Alqaidah dengan media massa internasional. Sementara Hambali, seperti pengakuannya sendiri, tak pernah bertemu sama sekali dengan Usamah dan Az Zawahiri. Perannya hanya bersifat lokal (Indonesia), atau sebatas regional (Asia Tenggara), karena ia pernah menetap di Malaysia dan tertangkap agen CIA di Thailand (2003).
Cara mengemas Dengan pengakuan Hambali, maka banyak hal yang perlu dipikirkan kembali oleh pemerintah Indonesia, khususnya aparat keamanan yang menangani kebijakan antiterorisme. Beberapa waktu lalu terjadi penangkapan sejumlah aktivis Islam di Yogyakarta dan Surabaya oleh Detasemen Khusus 88, dan ditemukan tumpukan senjata serta bahan eksplosif di daerah Sukoharjo. Mabes Polri menyatakan bahwa para tersangka itu adalah anggota JI yang telah membentuk struktur baru bernama Sariyah/Qoryah Askari --sebuah istilah amat aneh terdengar bagi mereka yang mengenal sejarah pergerakan Islam. Yang lebih mengagetkan, kapolri menilai bahwa kekuatan bom yang dimiliki kelompok anak muda itu lebih dahsyat dari Bom Bali I.
Masyarakat kembali dicekam ketakutan, apalagi tindakan aparat Densus 88 sering over acting. Aparat melakukan penggeledahan terhadap rumah keluarga korban tanpa prosedur yang jelas, bahkan penyergapan dilakukan dengan gaya koboi, seperti tersiar luas liputan media atas razia sebelumnya di Wonosobo. Kesan kuat yang ingin ditampilkan dari tindakan ofensif itu ialah kelompok teroris masih eksis dan sangat berbahaya, walau Azhari bin Husin telah tewas.
Kesan menyeramkan itu kadang dikemas dengan penjelasan semiteoretik, seperti dilakukan Sidney Jones, Direktur International Crisis Group (ICG), yang pernah mengungkapkan munculnya kelompok Thaifah Muqatilah (pasukan berani mati), setelah meletusnya Bom Bali II. Sidney berargumen pendapatnya didukung hasil investigasi lapangan. Tapi, masyarakat menyaksikan dengan kritis betapa penjelasan aparat atau argumentasi pengamat seringkali hanya justifikasi setelah tindakan keras diambil, atau rasionalisasi atas kegagalan mencegah terjadinya aksi kekerasan.
Sekarang dengan terungkapnya pengakuan Hambali, apa yang akan dilakukan aparat keamanan dan bagaimana proses investigasi lanjutan yang mungkin dilakukan ICG? Tak mudah untuk menjelaskannya, sebagaimana tak pernah ada penjelasan yang masuk akal tentang faksionalisasi di tubuh JI, hubungan organisasional, atau proses metamorfosis dari Thaifah Muqatilah hingga Sariyah Askari. Masyarakat mungkin mudah lupa, sehingga tak begitu memperhatikan pernyataan yang simpang siur seputar gejala terorisme. Tapi, kredibilitas pemerintah akan dipertaruhkan, jika tak mampu memecahkan akar masalah terorisme, dan hanya berlindung pada tindakan reaktif serta retorika kosong.
Setelah mengamati proses penanganan masalah terorisme sejak meletusnya Bom Bali I (Oktober 2002), penulis melihat terjadi ambuigitas antara pengelolaan informasi inteleijen, penegakan hukum atas pelaku teror, dan upaya pencegahan atas kemungkinan munculnya aksi teror. Bahkan, dalam rentang masa yang lebih luas, sepanjang proses transisi (1998-2007), terlihat gejala ketidakmampuan pemerintah merumuskan ancaman nasional yang komprehensif, di mana terorisme hanya salah satu aspek dari sekian masalah yang melingkungi Indonesia. Salah satu masalah penting yang perlu dituntaskan ialah eksistensi JI yang jadi pusat kontroversi.
Pemerintah Indonesia tidak pernah menetapkan definisi ancaman teror secara gamblang, yang berkembang hanya spekulasi intelijen, dan akhirnya masyarakat menjadi korban dari glorifikasi JI sebagai organisasi teroris regional yang merupakan kelanjutan dari jaringan Alqaidah. Di samping akar konflik multidimensional yang bersumber dari pergulatan sejarah serta kelemahan kepemimpinan nasional, maka tekanan asing membuat Indonesia tak berkutik, ketika PBB mencantumkan JI dalam daftar organisasi terlarang.
Karena Indonesia terikat regulasi internasional, maka menjadi tugas kritikal pemerintah untuk mengusut, siapa pimpinan JI sebenarnya dan siapa pula anggota jaringannya? Dalam konteks ini, aparat kepolisian berperan untuk menyodorkan bukti-bukti lapangan. Ironisnya, aparat polisi bak asyik dengan permainannya sendiri dan mencoba mengkaitkan kelompok teror klandestin dengan organisasi formal yang ada.
Meninjau kembali Pengakuan terbuka Hambali membuka pintu bagi pemerintah untuk meninjau secara mendasar kebijakan antiterorisme selama ini, yang melibatkan seluruh aspek penting. Semua itu bermula dari dekontsruksi atas eksistensi JI dan Alqaidah yang selama ini didominasi kepentingan AS dan negara sekutunya.
Jangan sampai pengakuan Hambali yang amat berharga itu hanya memancing perdebatan tak perlu. Improvisasi terkini kepala BIN untuk merekrut agen intelijen dari kalangan santri perlu diwaspadai. Apa benar pemerintah memandang pesantren sebagai sumber ancaman nasional? Pemerintah harus bersikap jujur dan bertanggung jawab atas setiap tindakan yang akan diambil.
Sementara itu, kelompok aktivis Muslim juga perlu introspeksi, apakah format gerakan dan metode perjuangan yang ditempuh selama ini sejalan dengan aspirasi publik? Hubungan umat Islam dengan pemerintahan nasional juga perlu ditempatkan secara proporsional.
Ikhtisar
- Di depan panel Departemen Pertahanan AS, Hambali mengaku sudah keluar dari Jamaah Islamiyah sejak tahun 2000. - Pengakuan ini semestinya bisa dijadikan pintu masuk untuk membeberkan anatomi terorisme yang sebenarnya. - Selama ini, masyarakat hanya disuguhi justifikasi-justifikasi yang menyeramkan tentang terorisme. - Pemerintah harus jujur dalam bertindak menangani isu terorisme.
( )
No comments:
Post a Comment