Sunday, June 10, 2007

Jangan (lagi) "saudara kandung" kita hilang

Posted: 28 Februari 2007

Assalaamu 'alaikum,

Membaca memoar seseorang memang menarik. Apalagi bila yang bersangkutan adalah orang ternama dan memiliki banyak pengalaman, Tentunya banyak hikmah dan pelajaran yang bisa diambil dari kisahnya. Demikian pula dengan memoar seorang mantan Menlu, yang juga salah satu diplomat terbaik yang pernah kita miliki. Memoar singkat Pak Ali Alatas, alias Bung Alex, demikian biasa dipanggil, dimuat di salah satu majalah ibukota minggu lalu. Bagian yang paling menarik tentunya tentang kisah lepasnya Timtim dari genggaman kita, dimana Bang Alex pun memaparkan kesaksiannya dalam pengadilan yang berkaitan dengan Timtim beberapa waktu yang lalu.

Saat itu Indonesia dilanda kondisi buah simalakama. Di dalam negeri sedang susah, karena baru saja dilanda prahara ekonomi. Pihak luar, terutama Portugis, dan dari dalam, yakni Fretilin, terus merongrong masalah Timtim. Opsi utama yang ada pada saat itu adalah memberikan otonomi khusus kepada Timtim. Sampai akhirnya datanglah beberapa pucuk surat dari si bule timur jauh, Australia, yang meminta Indonesia melakukan referendum untuk masalah Timtim.

Surat ini "secara tidak langsung" menekan dan memberi beban psikologis kepada Pemerintah. Memang susahnya, di dalam kondisi tidak stabil, sampai saat ini kit "kadang kebingungan" saat ditekan dengan surat luar. Lihat bagaimana lemahnya posisi tawar kita saat Pak SBY dikirimi surat dari negeri liliput perihal Haze, dan bulan lalu perihal pasir laut. Goyah lagi, goyah lagi. Bimbang lagi, imbang lagi, begitulah pada akhirnya kalo pendirian kita kurang kuat.

Balik ke masalah Timtim, Pak Alex dipanggil oleh presiden kala itu BJ Habibie untuk dimintai pendapatnya. Tentunya pandangan Pak Alex, adalah otonomi khusus selama 5-10 tahun, dan setelah itu baru dipertimbangkan referendum. Logis juga. Barangkali dalam 5-10 tahun itu, kondisi akan berubah memihak kita, dan opsi referendum dapat dinafikan. Namun apa komentar Pak Habibie? 10 tahun terlalu lama menurut Beliau.

Masalah Timtim ini memang ibarat kerikil dalam sepatu dan selalu menjadi ganjalan dalam kiprah kita di dunia internasional. Kita pun diembargo secara militer oleh AS, terkait dengan kasus Timtim. Referendum itulah kecenderungannya. Hingga akhirnya melalui sidang kabinet, diputuskan Referendum di Timtim. Tentunya gak sedikit pihak yang kecewa dengan keputusan ini.

Nasi telah menjadi bubur. Hasil referendum yang diikuti dengan Timtim Lautan Api menunjukkan bahwa 77% mendukung Timtim merdeka. Memang kondisi simalakama, namun ini blunder besar buat Pak BJH yang dicibir sebagian orang, "sok menunjukkan sikap demokratis". Jangankan Timtim, kalau referendum diadakan di 4 daerah kaya di Indonesia, yakni Aceh, Kaltim, Riau dan Papua, hampir pasti rakyatnya akan minta merdeka. Bahkan kalau pun diadakan di Jakarta, boleh jadi pilihan merdeka yang akan dipilih. Jadi banyak yang menilai bahwa pilihan referendum adalah prematur.

Lain halnya kalau ternyata Pemerintah pusat berhasil memakmurkan rakyat. Sebagai contoh referendum di Bermuda, Bahama dan Quebec (Kanada). Pihak yang minta merdeka malah kalah, karena mereka merasa lebih nyaman di atur British dan Kanada. So gak sama keadaanya. Boleh jadi memang lain pemikiran BJH yang sejatinya ilmuwan dan bukan politikus.

Australia sendiri, sebenarnya memang dari dulu menginginkan Timtim di bawah mereka ataupun merdeka. Ini secara tak langsung dikemukakan sejam masa PM Gough Whitlam di era 70-an dulu. Sayang di tahun 75, mereka keduluan oleh Indonesia melalui operasi Seroja. Dengan berpisahnya Timtim, kini mereka mereguk untung, terutama dari pernjanjian eksplorasi minyak di Timor Gap. Timor Leste yang kecil, baru dan lemah, lebih mudah "digarap" daripada Indonesia. John Howard memang politisi ulung yang pragmatis.

Dalam hal ini:
1. Tepatkah tindakan BJH untuk lebih memilih opsi referendum bagi rakyat Timor Leste?
2. Apakah pilihan untuk referendum tersebut kini malah memberikan hasil efektif dan menguntungkan kita?
3. Ataukah EGP saja, karena ada atau tidak Timtim, toh gak ngaruh buat bangsa kita.

Tentang Timor Leste, saya jadi ingat perbincangan dengan seorang sopir taksi di sini. Sang sopir dulunya adalah seorang karyawan yang sering bolak-balik ke Jakarta dan juga pengusaha. Dia memiliki kenalan orang Timtim. Ditawarkannya uang ke orang ini untuk mengelola kebun di daerah asalnya, yang saat itu baru merdeka. Dia sempat datang ke sana untuk menilik perkebunan. Hasil kebun itu nantinya buat dimakan sendiri oleh kenalannya itu, dan bisa pula dijual ke pasar untuk nafkah sang kenalan.

Waktu berselang, sampai dia tanya perkembangan kebun itu. Apa jawab sang kenalan? "Uangnya udah habis kepake ini itu", tukas orang Timles (Timor Leste) itu. "Trus untuk pengganti hasil kebun, anda makan dari mana", tanyanya. Jawab orang Timles, "Ambil aja dari kebun tetangga". Tanya sang driver lagi, "Lho bukannya saya ngasih duit ke kamu buat kamu kerjakan kebun dan hasilnya untuk kamu". Dengan enaknya si Timles menjawab, "Percuma Pak berkebun juga. Toh hasilnya nanti juga dicolong sama tetangga". Halah, Gotchaaa... Malas kah? Manja kah? Sehingga gak mau usaha keras kah?

Bener pa gak saya kurang tau, saya pernah denger desas-desus, kalau TimLes dulu sangat dimanja di masa Soeharto. Dana yang diguyur besar sekali, namun sayangnya orang-orangnya tidak dididik bekerja keras, hanya jalan-jalannya saja yang diaspal dll. Akibatnya orangnya malas-malas, konon begitu, dan cenderung berpikir jalan pintas. Jangan heran, kalau pada akhirnya masalah internal mereka gak pernah selesai, dan terus saja bertikai satu sama lain.

Malas, enggan kerja keras, sedikit banyak adalah buah dari suatu KEMANJAAN yang berlebihan. Tentunya kita semua juga sepakat, memanjakan anak secara berlebihan adalah suatu yang sangat tidak dianjurkan.

Kasus lepasnya Timtim via Referendum, sekaligus kemalasan buah kemanjaan paling tidak bisa menjadi satu pelajaran buat kita. Berbicara tentang kemanjaan, rasanya "prihatin" sekali dengan kebijakan Pemerintah kita untuk mengeluarkan BLT 100 ribu per bulan, operasi beras pasar dll. Bukan apa-apa, itu kan juga mendidik kita menjadi manja, padahal seharusnya dipesankan bahwa uang adalah didapat karena bekerja. Selain berbau "politik uang", kebijakan seperti ini memang telah terbukti diselewengkan dan dalam pelaksanaanya juga sering kali diakali.

Alangkah baiknya reward tersebut dikembalikan ke rakyat bukan dalam bentuk uang tunai, melainkan dalam bentuk "sarana dan fasilitas" lainnya. Semisal pendidikan murah, biaya kesehatan yang murah, pembangunan infrastruktur, serta pembukaan lapangan kerja, dimana rakyat bisa bekerja, dan dapat uang yang menjadi nafkahnya pula. Sayang kan rasanya uang trilyunan rupiah itu cuma dibuat sebagai ajang "tebar pesona" semata. Coba digiatkan kerajinan rakyat, misalnya dll, yang memancing kreativitas kita, tentunya akan lebih baik.

Tapi baiknya no further comments-lah. Kita di luar sistem, hingga mudah sekali meng-kritik. Namun ketika di dalam sistem, boleh jadi kita akan terbengong-bengong dan bingung gimana mengatasi problema di negeri kita yang sedemikian njlimet bagaikan benang kusut. Whatever lah, yang jelaslah kritik membangun itu tetap perlu.

Timor Leste yang hilang, tak akan pernah balik kembali. Dan mungkin sudah takdirnya begitu. Asal jangan lagi ada daerah kita yang hilang lainnya. Hanya saja di salah satu buku yang pernah saya baca, di situ ada kutipan hasil kajian strategis di bawah mantan Menhan AS, William Cohen. Kajian ini berjudul "Asia tahun 2025 dan Pengaruhnya Terhadap Keamanan Nasional Amerika di Abad ke-21". Kajian dilakukan oleh 15 orang pakar, yang melibatkan para peneliti, spesialis dan politisi senior. Tim ini juga dibantu para tenaga ahli dari pemerintahan maupun swasta.

Hasil kajian dengan tegas memprediksi bahwa pada tahun 2025, 2 negara Muslim terbesar di dunia akan lenyap dari peta bumi. Keduanya adalah Pakistan dan Indonesia. Pakistan lenyap karena fasilitas nuklirnya diperebutkan oleh India dan Iran (terbukti kan, Iran lagi mengembangkan nuklir sekarang!).

Sedang kita? Konon kita akan lenyap karena terjadinya krisis yang bukannya mengecil, namun kian tahun malah makin membesar. Dan negeri kita akan tercabik-caik oleh pertikaian dan peperangan antar daerah. Akankah kajian ini nantinya menjadi kenyataan? HOPEFULLY TIDAK. Siapa lagi yang harus membuktikan bahwa kajian itu NYELENEH dan bullshit belaka, kalau bukan bangsa kita sendiri? Siapa lagi yang harus memperjuangkan keutuhan nusantara kalau bukan diri kita jua? Kadang terbesit rasa sedih juga kalau melihat realita yang ada, bahwa nusantara selalu didera bencana dan tak putusnya saling beragumen maupun bertikai untuk masalah yang kecil sekali pun.

Kesolidan tim adalah hal mutlak agar kita bisa maju ke depan. Semoga ini tidak berkembang menjadi sampai ke hasil kajian "tim gila" dari AS itu. Toh masih ada Yang Maha Kuasa, yang paling kuasa menentukan segalanya. Namun sebagai hamba-Nya, tugas kita lah untuk berupaya agar keinginan gemah ripah loh jinawi terwujud, dan bukannya akhirnya tercerai berai.

Timtim adalah "saudara tiri" (karena beda penjajahnya), mungkin dengan berat hati, bolehlah hilang, apalagi semuanya sudah telanjur. Namun jangan sampai "saudara kandung lainnya" hilang juga dan bertikai satu sama lain di dalam satu "keluarga". Itu pun kalau kita masih merasa kita satu keluarga yang punya rasa saling memiliki.

Wallahu 'alam bisawab.

Wassalaam,

Papa Fariz
FS account: boedoetsg@yahoo.com

1 comment:

Anonymous said...

Rumornya benar toh soal TimTim yang pemalas. Ada beberapa daerah di Indonesia Timur yang mempunyai tipikal pemalas tapi sayangnya mereka tidak dimanjakan seperti di Timtim.

Kemudian bukannya sudah beberapa tahun ini sudah saling berperang, saling diadu antara agama. Terus oknum maluku berkoar-koar di dunia maya minta merdeka. Papua pun begitu ...

Dan betul tulisan Bapak bahwa dihati paling terdalam memang ada beberapa provinsi Indonesia bagian Barat menunjukkan gejala-gejalan walaupun tidak terlihat. Jika pemerintah pusat tidak bisa merubah kebijakan, kesungguhannya dan asyik didunianya sendiri bye-byelah ..