Posted: 1 Maret 2007
Assalaamu 'alaikum,
Saya semalam baca edisi Gatra terbaru. Di situ dimuat tentang Mas Nurul, peneliti muda yang belajar S-2 dan S-3 di Kagoshima University (kayaknya kenal deh sama Mas Nurul). Beliau menorehkan prestasi yang luar biasa di Jepang. Beliau lah yang berhasil menemukan cara pemisahan timbal dari kuningan.
Timbal dilarang karena hazardous material, dan berdasarkan aturan RoHS (lingkungan) di Eropa, hanya diperbolehkan sampai level 1000 ppm saja di dunia elektronik. Dan tau kah anda, timbal dipakai sebagai campuran kuningan untuk pipa air. Kalau timbal tidak bisa dipisahkan dari Kuningan, tidak ada jalan lain, maka seluruh pipa air di Jepang harus diganti dengan material baru yang bebas timbal.
Bisa dibayangkan berapa besarnya biaya yang harus dikeluarkan. Ternyata Mas Nurul berhasil menemukan formula pemisahnya (antara lain dengan pemakaian NaF 5%) secara kebetulan. Timbal yang dipisahkan lebih dari 95% dari kuningan. Eureka! Namanya pun melambung di Jepang, dan beliau kini telah memiliki 20 jurnal ilmiah plus 14 paten (kalau gak salah).
Mas Nurul selepas S-2 dan S-3, sengaja menjadi peneliti tamu selama beberapa tahun, sehingga total di Jepang, beliau menjadi 14 tahun. Ternyata beliau sadar, sebelum balik ke Indonesia, bahwa gajinya di Indonesia mungkin akan terasa berat alias ngepas, dan bakal menggerus tabungannya selama di Jepang. Ternyata keberhasilannya menjadi penemu, dan tentunya dengan hak patennya, tabungannya menjadi tak terkuras alias malah banyak yang masuk. Rejeki Mas Nurul nih.
So, memang ada faktor "kelihaian" dari yang bersangkutan, sama seperti yang dilakukan Yohannes Surya dkk. Menjual nama dulu, barulah pulang. Sayangnya gak semua orangbisa berbuat begitu. Alhasil yang pulang dengan cuma gelar S-3 tanpa "cemilan lainnya" harus rela jadi peneliti "ngepas". Dan jumlah mereka itu justru lebih banyak. Jadi yahh, silahkan jalan-jalan ke Serpong tuk ngeliat perumahan kecil para peneliti kita. Kasian deh mereka.
Gak usah heran makanya BUANYAAKBANGET rekan dan senior dari teman saya ini, yang bukan mengikuti jejak Yohannes Surya yang genius itu, melainkan malah cabut ke instansi swasta baik bekerja jauh di bidangnya maupun cuma jadi interpreter. Itu kan sama juga dengan "ingkar janji". Namun alasan mereka manusiawi sekali, alias gaji yang gak memadai, fasilitas yang kurang serta program yang gak jelas. Walau teman saya ini menyiratkan "kekecewaan" pula,katanya, kalau dibilang gak ada dana proyek, gak juga. Pemerintah kini sedikit lebih baik, dan di lembaga penelitiannya masih ada dana untuk meneliti tahun ini sebanyak 500 juta rupiah.
Sembari bingung dia bilang,yang pada mabur itu malah banyak orang yang alim-alim, yang berjanggut, maupun bercelana sebetis (maaf nih). Trus dimana idealisme dan loyalitas. Walau begitu dia coba "gak ingkar janji". Tapi gimana yah, gak tega aja melihat kondisi peneliti kok kayak gitu, dan kurang dihargai.
Beberapa waktu lalu, teman saya yang S-3 lulusan Jepang, saat mampir di sini buka kartu. Gaji pokoknya cuma 1,6 juta saja. Syukur ditambah tunjanganpenelitian dll, totalnya take home pay, kotornya adalah 4 juta-an. Dia udah bersyukur. Walau motor aja masih kredit, dengan rumah yang mini. So masalahnya dimana? Apakah di sistemnya, ataukah di pribadi orang ybs juga ada ataukah di mana? Namun rasanya kurang adil, seandainya para peneliti kita cuma dihargai senilai Es Bonbon.
Salahkah mereka andaikan mereka itu hengkang mencari kesejahteraan sebagai tuntutan manusiawinya? Alangkah bagusnya yang sekelas Mas Nurul, Yohannes Surya dll. Namun justru jumlah mereka gak banyak. Karena kemampuan dan kelihaian orang gak sama. Ya begitulah, banyak yang belum sampai ke level atas. Namun mereka kan terus usaha dan usaha. Gimana mau tahan dengan usaha kalau apresiasinya gak memadai?
Jadi bingung, anak kita nanti mending dididik jadi peneliti atau artis sinetron atau ke finansial aja yah?:) Gak tega dong, kalo dia jadi peneliti, walau pinter tapi gak masuk kelas internasional, terus hidupnya ngepas karena gak ada reward yang memadai. Peneliti juga manusia, yang butuh kehidupan yang layak.
BTW Mas Yohannes Surya, masih bagus, berprestasi di luar, terus balik ke Indonesia, dan mengaplikasikan ilmunya. Itu bisa dibilang membangun bangsa. Namun bagaimana dengan yang memang ingin terus di luar, yang sebenarnya tujuan utamanya hanya untuk fulus semata?
Inikah yang disebut membangun bangsa? Ahh yang bener aja. Pekerja Filipina yang mengirimkan uang, lebih pantas disebut membangun bangsa. Namun kalo semata cari uang, itu kan juga gak salah. Wong di era globalisasi itu, yang namanya membangun bangsa kan hanyalah sebuah PILIHAN, dan bukan kewajiban. Hari gini kok masih mikir membangunbangsa sihh? Au ahh elap, gak tau ini ironi apa satire atau sarkasme sih?
Wassalaam,
Papa Fariz
FS account: boedoetsg@yahoo.com
----- Original Message -----
Dalam dua minggu ini dari ada dua kabar gembira dari saintis Indonesia:1. Dosen dan peneliti ITB, Fenny Martha Dwivany menerima penghargaan internasional atas penelitiannya tentang biologi molekuler (US$ 40 ribu dari UNESCO-L'Oreal Fellowships).2. ITB - Ria L. Moedomo, Ph.D. student (Bandung, Indonesia). The application provides a system to assist in processing and analyzing the poultry sales and distribution process to track and combat against Avian Influenza (Bird Flu). QUALCOMM's funding USD 100,000.Sebelum dan setelah mereka, apa masih ada yg idealis ... ?
Tentu masih akan banyak lagi bertebaran nama2 lain. Baik itu sekelas Johanes Surya si mpu TOFI (doi ini jadi selebriti dan Profesor justru krn tangan dinginnya membawa nama harum Indonesia di kancah internasional), dan peneliti2 lain baik dari institusi macam LIPI/BPPT/univ/swasta yg saya kenal via milis juga. Mereka peneliti yg punya price tag internasional :-)Kuncinya mereka punya kemampuan yg punya nilai jual di luar negeri. Kenapa luar negeri, krn Indonesia masih kurang fulus utk menghargai hasil karya mereka :-)
Memang iklim Indonesia masih lebih cocok utk pengusaha dan karyawan sukses. Pengusaha yg merangkak dari bawah banyak yg sukses dan menyandang predikat milyarder. Karyawan sukses pun banyak yg sudah bertengger di level direksi di usia muda meski berbekal ijazah ptn/pts lokal. Yang penting halal kan :-)
Nah khusus kawan Papa Fariz ini sptnya perlu bersemedi dulu di LN utk bbrp tahun, mengasah keahlian, membina relasi, dan membuat ketergantungan orang2 di LN bertambah besar pada dirinya. Sehingga di saat doi balik ke Indonesia bargaining power nya amat besar - kemanapun ia pergi pasti dicari orang (institusi/perusahaan) dan dimodali utk berkarya dimana saja.Mungkin ini kuncinya.
Peneliti sekelas Johanes Surya berani pulang (dan beruntung dapat memikat Mochtar Riadi) setelah magang bbrp tahun di States selepas menerima PhD. Layaknya demikian pula dengan junior TOFI/IMO/TOKI lainnya. Peneliti sekaliber Nelson Tansu, Oki Gunawan, Yogi Erlangga dll (di google aja yach) pasti punya sesuatu yg membuat perusahaan2 di LN akan mengejar (dan memodali) mereka kemanapun.
So .. jangan khawatir sambil berkarya idealis di bumi pertiwi, dana riset masuk dari sponsor luar negeri.Di luar negeri pun utk menang research grant bukan hal yg mudah krn persaingan yg ketat. Dan utk bekerja di universitas yg punya riset2 unggulan pun tidaklah mudah :-)
No comments:
Post a Comment