Saturday, June 9, 2007

Jangkar harapan yang tak kunjung dilahirkan

Posted: 29 Juni 2006

Assalaamu 'alaikum,

Minggu lalu saat main ke rumah Ibu yang cuma berjarak sepelemparan batu, saya menyempatkan diri untuk membaca lembaran-lembaran harian Republika yang memang dilanggani oleh keluarga Ibu saya.
Sedih dan miris juga melihat kondisinya, sampai tanpa dinyana saya berkata kepada seorang abang ipar,"Bang, Republika kasihan sekali yah.
Lihat saja iklan yang ada di harian ini sangat-sangat sedikit sekali".
Padahal seperti kita ketahui, edisi cetak dari koran maupun majalah terutama hidup dari pemasukanadvertisement.
Dari pemasukan sektor inilah mereka dapat mempercantik penampilan, meningkatkan kualitas tulisan dan meperluas liputan-liputannya.

Republika cuma punya jumlah halaman tak mencapai 40 halaman, termasuk lembar suplemennya.
Iklannya cuma sedikit sekali.
Bandingkan dengan Kompas yang tampil warna-warni, dengan jumlah halaman mencapai lebih dari 60 halaman, padahal harganya sebanding dengan Republika, yakni 2900 perak.
Bahkan Kompas memiliki sisipan rutin klasika yang berisi iklan baris beberapa halaman.
Dari situ jelas sekali ketimpangan revenue antara Kompas dan Republika.
So, saya pribadi, amat sangat bisa memaklumi andaikan ada ketimpangan dalam perbandingan di antara kedua harian ini.

Koran lain, seperti Media Indonesia, not too bad, mereka juga lumayan iklannya dan punya sisipan iklan baris beberapa halaman juga.
Walau memang, koran-koran di tanah air, memang gak bisa dibandingkan dengan kondisi koran di jiran,The Strait Times, yang kadang jumlah halamannya melebihi 200 halaman, dan harganya cuma 80 cent SGDalias cuma 4500 perak!!!
Bahkan tabloid Today di negeri jiran nan mini ini dibagikan gratis setiap harinya,dan mereka tetap bisa survive, karena pemasukan iklan yang lumayan banyak.
Upaya penggratisan memang salah satu daya tarik dari mereka, dan lagi, siapa sih yang gak mau dapat gratisan?

Dalam hati saya cuma termenung, Republika merupakan harian Islam yang dibidani oleh ICMI, yang berisipara cendekiawan Muslim, dan sempat meroket namanya di awal tahun 90-an.
Namun, ICMI, yang awalnya diketuai oleh BJ Habibie, akhirnya memudar seiring dengan kejatuhan Soeharto.
Boleh jadi karena gak sedikitorang yang berasumsi bahwa ICMI adalah kendaraan BJ Habibie yang juga dicap bonekanya mantan penguasa masa Orde Baru.
Republika masih konsisten membawakan berita-berita tentang Islam, dengan redaksi yang bernuansa Islam.

Kompas sendiri dimiliki oleh KKG (Kelompok Kompas Gramedia) yang didirikan oleh Jacob Oetama.
Gak sedikit yang menenggarai bahwa petinggi KKG dan Kompas adalah orang-orang Katholik, sehingga walau pun Kompas berupaya menetralisir dirinya, tak urung harian ini lebih suka mewarnai dirinya sebagai pengusung aliran sekularisme, bahkan secara halus "tak jarang menempatkan fundamentalisme Islam" di sisi negatif.
Tengok saja perbedaan judul dan isi berita antara Kompas dan Republika untuk kasus pengibaran bendera Israel oleh seorang pemain Ghana.
Di Republika ditulis tentang kemarahan orang-orang terutama di negeri Muslim dan mencap hal itu sebagai tindakan bodoh.
Keesokan harinya di Republika juga dipampang besar-besarfoto para pemain Ghana yang bersujud syukur setelah timnya berhasil mengalahkan Ceko.
Namun berita di Kompas, sangat terbalik, dimana di situ ditulis bahwa Ghana menggaet banyak simpatisan dan suporter baru di Israel, terkait dengan pengibaran bendera kecil itu.

Banyak lagi kasus lainnya, dan yangpaling kentara adalah tentang pro kontra RUU APP.
Sudah barang tentu, Kompas menuliskan tulisan yangpro pada para penentang RUU APP.
Stereotype negatif terhadap "Islam radikal" bukanlah hal asing yang ditemui di harian ini.
Wajarlah pada hari Minggu lalu, beberapa ormas Islam (FPI, HTI, MMI dan FBR) bergabung dalam Gasak, berunjuk rasa ke harian Kompas.
Mereka mengingatkan lagi tentang perjanjian Kompas dengan umat Islam pada tahun 1997, di mana Kompas berjanji menurunkan artikel yang berimbang tentang Islam dan Muslim.

Lantas, mengapa Kompas, yang konon dimiliki oleh orang Katholik, sehingga sempat beredar sindirian bahwa Kompas merupakan singkatan dari Komando Pastur, bisa menjadi harian terbesar di Indonesia, bisa menjadi harian yang berurat akar di masyarakat kita, yang nota bene 88% adalah Muslim?
Mengapa Republika yang mencoba membawakan nuansa Islam, malah tak kunjung membesar dan makin terpuruk?
Salahkah masyarakat Muslim (yang kebanyakan sekuler) untuk mengkonsumsi harian yang mengusung tinggi aliran sekulerisme itu (termasuk kompas, Media Indonesia dll)?

Padahal kita semua tahu bahwa koran yang terbit harian merupakan media paling efektif untuk pembentukan opini dan jangkar dalam apa yang namanya perang pemikiran (ghawzul fikri).
Blowing up rumor bahwa Kompas dimiliki oleh kaum sekuler dan kaum kafir dengan berita-beritanya yang tendensius, agaknya tidak akan mampu mencegah masyarakat Muslim untuk terus mengkonsumsi harian Kompas dan sejenis.
Yang mungkin bisa menandingi, walaupun memakan waktu, adalah munculnya harian Islam, yang branding image dan marketing yang baik, dengan isi tulisan yang bermutu, ditopang oleh pemasukan iklan yang besar, dan disokong oleh beragam lapisan masyarakat Islam.
Namun, sampai kapan harian tandingan semacam ini bakal muncul?
Sampai kapan imbangan itu akan terwujud?

Sejujurnya, secara pribadi, kalau saya bandingkan, memang tulisan di Kompas, lebih enak dibaca dan lebih detail.
Penulisnya pintar, walau yang tersirat adalah tulisan argumentatif untuk pembentukan opini sang pembaca, namun mampu dipaparkannya secara tersurat sebagai sebuah tulisan yang eksposisi.
Pada akhirnya, kita harus sampai pada kesimpulan, gimana kita mau menang dalam perang pemikiran dan perangpembentukan opini, kalau tombak dan jangkar yang efektif (yakni berupa media massa) saja kita tidak punya.
Adakah solusi yang terbaik untuk hal ini?
Jangan salahkan masyarakat awam, yang sekalipun Muslim tapi sekuler,untuk terus mengkonsumsi berita-berita sekuler yang terkadang menyudutkan Islam dan Muslim sendiri.

Wassalaam,
Papa Fariz

No comments: