Saturday, June 16, 2007

Jualan mimpi idol vs sinetron

Posted: 8 Maret 2007

Assalaamu 'alaikum,

Sebuah kisah lama yang barangkali ada yang punya klarifikasinya. Minggu lalu saat pulang ke Jakarta, saya sempet geleng-geleng kepala. Pelataran Taman Mini dipenuhi oleh beribu-ribu remaja yang ingin mengikuti audisi KDI 4. Gak cuma dari Ibukota, ribuan remaja nekat datang dari beragam wilayah tanah air. Audisi di ibukota memang bersifat terbuka, dalam artian peserta bebas boleh dari mana saja.

Hmmm, kasian sekali remaja kita yang otaknya teracuni untuk menjadi top dan banyak duit secara instant. Yang untung dari hal ini, siapa lagi kalau bukan penyelenggara. Dari SMS yang masuk saja, mereka dapat pemasukan bermilyar-milyar rupiah, belum lagi yang datang dari pihak sponsor. Buat masyarakat, yang ada lagi-lagi mereka dibodohi, diberi mimpi-mimpi kosong sembari diporotin duitnya. Buat peserta kontes? Ada yang beruntung ada yang tidak. Lihat para lulusan AFI, KDI dan Idol 1, 2 dst.

Gak sedikit mungkin, yang kini cuma jadi penyanyi sekelas cafe, karena kiprahnya tidak terdengar lagi. Di negeri liliput ini, idol hanya dilaksanakan 2 tahun sekali, konon katanya untuk membantu pengembangan karier sang winner. Di nusantara? Siapa yang peduli dengan pengembangan karier seseorang. Selagi itu menguntungkan, hayo keruk terus fulus sebanyak-banyaknya, tanpa perlu perduli mana yang lebih berat, nilai positif dan nilai negatifnya. Kalau sudah begini, adakah pihak yang bisa dan boleh mengontrol agar lagi-lagi jangan terjadi pembodohan masyarakat demi kepentingan bisnis segelintir orang semata?

Kasian yahh orang kita, dijejali impian kosong melulu serta lagi-lagi dibodohi. Selain acara Idol-idolan begini, saya kadang gak habis pikir, kenapa di prime time TV, selama berjam-jam, bahkan ada yang dari jam 6 sore sampai jam 11 malam, acaranya cuma sinetron melulu. Pembodohan pemikiran? Ya udah jelas lah. Tapi kenapa acara seperti itu tetap bisa nangkring di prime time TV kita? Itu tak lain karena banyak yang menonton. Kenapa masyarakat malah suka tontonan "murahan" macam ini? TANYA KENAPA.

Mengharap kesadaran dari orang yang mereguk keuntungan dari bisnis beginian, untuk tidak terus "membodohi" masyarakat, sama seperti menegakkan benag basah. Namun lantas mengapa hal ini bisa terus berlangsung dan sepertinya didiamkan? Entahlah.

Wassalaam,

Papa Fariz
FS account: boedoetsg@yahoo.com


From: hasan nasbi

Subject: Artis AFI layak dapat BLT

Dua hari yang lalu gw ketemu dengan salah seorang personel AFI (Akademi Fantasi Indosiar). Selain lepas kangen (he..he) gw juga dapat cerita seru dari kehidupan mereka.Di balik image mereka yang gemerlap saat manggung atau ketika nongol di teve, kehidupan artis AFI sangat memprihatinkan.

Banyak di antara mereka yang hidup terlilit utang ratusan juta rupiah. Pasalnya, orang tua mereka ngutang ke sana-sini buat menggenjot sms putera-puteri mereka. Bisa dipastikan tidak ada satu pun kemenangan AFI itu yang berasal dari pilihan publik. Kemenangan mereka ditentukan seberapa besar orang tua mereka sanggup menghabiskan uang untuk sms. Orang tua Alfin dan Bojes abis 1 M. Namun mereka orang kaya, biarin aja.

Yang kasian mah, yang kaga punya duit. Fibri (AFI 2005) yang tereliminasi di minggu-minggu awal kini punya utang 250 juta. Dia sekarang hidup di sebuah kos sederhana di depan Indosiar. Kosnya emang sedikit mahal RP 500.000. Namun itu dipilih karena pertimbangan hemat ongkos transportasi. Kos itu sederhana (masih bagusan kos gw gitu loh), bahkan kamar mandi pun di luar. Makannya sekali sehari. Makan dua kali sehari sudah mewah buat Fibri. Kaga ada dugem and kehidupan glamor, lha makan aja susah.

Ada banyak yang seperti Fibri. Sebut saja intan, Nana, Yuke, Eki, dll.

Mereka terikat kontrak ekslusif dengan manajemen Indosiar. Jadi, kaga bisa cari job di luar Indosiar. Bayaran di Indonesiar sangat kecil. Lagian pembagian job manggung sangat tidak adil. Beberapa artis AFI seperti Jovita dan Pasya kebanjiran job, sementara yang lain kaga dapat/jarang dapat job. Maklum artisnya sudah kebanyakan. Makanya buat makan aja mereka susah. Temen gw malah sering dijadiin tempat buat minjem duit. Minjemnya bahkan cuma Rp 100.000. Buat makan gitu loh. Mereka ga berani minjem banyak karena takut ga bisa bayar.

Ini benar-benar proyek yang tidak manusiawi. Para orang tua dan anak Indonesia dijanjikan ketenaran dan kekayaan lewat sebuah ajang adu bakat di televisi. Mereka dikontrak ekslusif selama dua tahun oleh Indosiar. Namun tidak ada jaminan hidup sama sekali. Mereka hanya dibayar kalo ada manggung. Itu pun kecil sekali, dan tidak menentu. Buruh pabrik yang gajinya Rp 900.000 jauh lebih sejahtera daripada mereka.

Nah acara ini dan acara sejenis masih banyak, Pildacil juga begitu. Kasian orang tua dan anak yang rela antre berjam-jam untuk sebuah penipuan seperti ini. Seorang anak pernah menangis tersedu-sedu saat tidak lolos dalam audisi AFI. Padahal dia beruntung. Kalau dia sampai masuk, bisa dibayangkan betapa dia akan membuat orang tuanya punya utang yang melilit pinggang, yang tidak akan terbayar sampai kontraknya habis.

Mungkin ada yang tertarik buat ngangkat cerita itu ke media anda? Gw punya nomer kontak mereka. Gaya hidup mereka yang kontras dengan image publik kayanya menarik untuk diangkat. Ini juga penting agar anak-anak dan orang tua di Indonesia kaga tertipu lebih banyak lagi. Mas Dahono di DNB mungkin tertarik??

"Banyak yang mendengar tapi sedikit yang terpanggil, dan diantara yang terpanggil sedikit pula yang terpilih"

No comments: