Sunday, June 10, 2007

Ketika tak ada lagi yang layak untuk dikonsumsi

Posted: 5 Februari 2007

Brur,

Brur,Saban balik ke Jakarta atau menonton tayangan Sigi di SCTV, hati saya terasa nyinyir. Dari mulai bakso borax, formalin di ikan laut, bahkan kutex kuku sekalipun dipalsukan dengan barang berbahaya. Akhir-akhir ini jagat per-makanan-an diramaikan lagi dengan isu beras ber-pemutih serta jamu aspal. Selain nyinyir rasanya, makin banyak tau makin pusing rasanya.

Terkadang tau gak terlalu banyak adalah yang terbaik. Banyak tidak tau menyebabkan kita bodoh dan gampang dibodohi. Namun terlalu banyak tau menyebabkan kita jadi cemas dan was-was. Saya punya teman yang jaringannya luas dan pergaulannya mantap sehingga banyak tau tentang borok-boroknya negeri kita.

Sampai dia cerita seorang alim terkenal pun di sana gak lepas dari sosok KKN. Dia kecewa banget dengan negara kita yang salah urus dan amburadul keuangannya. Saya pun berani jadi presiden di sana, tukasnya, kalau cuma begitu aja kerjaannya. Pernyataannya semata karena berdasarkan informasi yang diterima oleh dia.

Comment saya singkat saja dan ada 2 point:
1. terlalu banyak tau kadang tidak baik
2. orang kita seneng memakai perumpamaan hiperbolisme, dimana makin jelek makin heboh.
Saya sendiri kadang bingung liat tanyangan investigasi di Sigi ataupun di Trans TV. Kayaknya semuanya jelek-jelek. Semuanya gak ada yang benar dari yang beredar di kalangan kita, walau mungkin jumlahnya gak representatif.

Dari situ saya lebih curious, apa maksud dari penayangan hal semacam ini?
1. Apakah cuma semata tujuan bisnis, di mana makin heboh makin laku, sehingga makin banyak iklan masuk?
2. Apakah sekedar hanya menginformasikan the truth ke masyarakat?
3. Apakah hanya untuk menimbulkan kecemasan karea ada tujuan-tujuan tertentu lainnya?
Yang mana yahh?

Anyway, pihak Pemerintah lah yang sebenarnya bertanggung jawab akan adanya hal ini. Mereka lah yang seharusnya mencegah dan membereskan tentang hal ini. Kalau level tim investigasi TV saja bisa menemukan, masak level BIN gak bisa sih? Itu kan tergantung niat dan itikad saja? Kalau memang gak mau, ya jangan tanya gimana solusinya.

Satu lagi point lainnya, ternyata nilai-nilai religius dan ke-timur-an dari sebagian rakyat telah luntur. Buktinya hanya untuk urusan perut, dan keuntungan yang culas, mereka rela mengorbankan saudaranya sendiri. Mereka boleh dibilang lebih jahat dari seorang pembunuh. Karena yang hendak disakiti oleh mereka adalah orang banyak yang di"kempesi" perlahan-lahan.

Yakinkah anda masalah-masalah yang sebenarnya "gak berat" begini akan terselesaikan di sana? Berharap sih sah-sah aja dan gak ada yang melarang. Walau toh kita semua tau, kasus formalin sekali pun akhirnya tetap mengambang dan tak jelas bagaimana solusinya. Setelah beras ber-pemutih, maukah anda tebak-tebakan dengan saya, kira-kira apa lagi yang akan "diracunkan" ke masyarakat?

Kalau beras gak bisa lagi dimakan karena berpemuth, kalau ikan tak bisa lagi disantap karena ber-formalin, kalau sayur tak bisa lagi dilahap karena ber-insektisida, kalau daging ayam dijauhi karena wabah flu burung, kalau daging sapi tidak disentuh karena kehebohan mad cow, lantas apa yah yang bisa kita makan? Ada kok, daun pintu, dengan syarat kita bermetamorfosis menjadi rayap terlebih dahulu. Euiy, gak lah mending jadi Robinson Cruise saja.

Wewww, whateverlah, ternyata realitanya apa yang kita makan mungkin ada yang sudah "diracun". Namun terlalu banyak tau akan "peng-racun-an" itu bikin kita gak nikmat. Semuanya berpulang lagi kepada upaya Pemerintah mau gak menjaga kenikmatan rakyat dalam hal yang paling dasar dalam kehidupan ini?

Wassalaam,

Papa Fariz
FS account: boedoetsg@yahoo.com

No comments: