Posted: 9 Februari 2007
Assalaamu 'alaikum,
2,3 trilyun melayang sia-sia begitu saja dihempas oleh limpahan air dari langit. Nilai sebesar itu, ekstrimnya kalau dibelikan bakso seharga 5000 semangkok, maka akan didapat 460 juta mangkok, yang artinya seluruh rakyat Indonesia boleh makan gratis 2 mangkok bakso. Andaikan tidak musnah, tentulah jumlah yang luar biasa itu bisa dimanfaatkan untuk pembangunan sekaligus pengentasan kemiskinan di ibukota tercinta.
Banjir datang lagi melanda dan semuanya porak poranda. Salah siapa ini? Tuhankah yang salah karena begitu teganya mendatangkan bencana bertubi-tubi kepada nusantara? Ataukah kita yang "dungu" karena tidak mampu belajar dari pengalaman terdahulu. Petaka banjir ini telah terjadi 5 tahun yang lalu. 5 tahun waktu yang tidak singkat untuk mempersiapkan pencegahannya, namun waktu yang tidak panjang pula, andaikan kita berleha-leha mengabaikannya.
Pak Gubernur dengan "frustasi"nya mencoba melemparkan kesalahan ke alam. Ini siklus 5 tahunan, dan natural disaster. Mau gimana lagi dong, kata beliau. Padahal November tahun lalu, dengan lantang beliau berkata, berdasarkan keterangan BMG, tahun 2007 gak akan ada bencana banjir. Siklus 5 tahunan itu hanyalah khayalan rakyat semata. Tapi apa realitanya? Mana yang benar?
Lucunya lagi, yang bikin tidak habis pikir, (lagi-lagi), BMG salah dalam menganalisa fenomena alam. Dari mulai ramalan gempa dan tsunami yang meleset melulu, sampai prakiraan cuaca harian yang juga gak tepat dll. Apakah karena sarana dan fasilitas kurang? Ataukah mungkin kurangnya insentif dan perhatian dari Pemerintah yang membuat mereka mungkin (lagi) kurang dapat memaksimalkan potensi yang dimilikinya?Banjir telah berlalu, meskipun dukanya belum hilang. Banjir Kanal Timur (BKT) yang digadang-gadang sebagai pemecah kebuntuan masalah banjir, masih terkatung-katung karena terhambat pembebasan tanah yang gila-gilaan.
Apakah cukup dengan BKT saja? Padahal kita lihat ruang hijau sebagai tempat resapan sekaligus pembuangan air semakin saja berkurang. Kini bukan pohon nan hijau yang tumbuh dan berkembang di Jakarta, melainkan bangunan beton yang sekaligus menyuburkan sifat konsumtif masyarakat kita. Obvious sekali bahwa kita ini gak pernah punya tata ruang kota yang jelas. Di Singapore sekalipun, mereka sudah menata bahwa lahan hijau haruslah 50% dari wilayahnya. Di Jepang sendiri, daerah hijau meliputi 66% dari daratannya. Sedang kita?
Lalu, bagaimana mungkin banjir bisa diatasi, kalau kita saja masih gak pernah mau pakai otak kita untuk tidak membuang sampah sembarangan. Sudah tau sampah itu kotor dan jorok, tapi mengapa kita dengan entengnya tetap tega membuangnya ke kali? Masalah sarana dan fasilitas pembuangan sampah yang kurang kah? Mungkin, tapi ini lebih terkait dengan mentalitas kita, yang bermuara dari kegagalan pendidikan kita membuat orang lebih berpikir.
Kini ada satu pertanyaan yang tumbuh di benak saya, kira-kira mampukah gubernur yang akan datang mengatasi permasalahan banjir ini, bahkan mungkin kalau ditarik lebih luas, masalah masyarakat dan kemiskinan di sana.
Calon yang kini muncul adalah Pak Fauzi Bowo, Wagub yang entah kenapa, fotonya sebagai ketua Badan Narkotika DKI bisa bertebaran di mana, bahkan lebih menonjol dari pesan anti narkobanya. Lantas ada Pak Adang Daradjatun, mantan Wakapolri yang namanya, sepak terjangnya dan prestasinya gak pernah diketahui rakyat, namun tiba-tiba kini muncul jadi ketua perkumpulan seperti Paguyuban Artis Sunda, Donor Darah Indo, kerukunan Betawi dll.
Ada lagi Pak Sarwono, anggota DPD DKI, yang berjanji mundur dari DPD, yang kini pun ikutan kampanye gratis via iklan tim SAR anti banjir. Atau Pak Faisal Basri, pengamat ekonomi, yang masih harus diuji kehandalannya, yang kini datang ke mantan partainya untuk minta dicalonkan. Ada lagi Pak Agum Gumelar, yang kini memimpin KONI, sedangkan prestasi olahraga kita di bawahnya anjlok drastis. Tak ketinggalan Rano Karno, mantan pemeran si Doel, yang belum lagi diketahui visi dan misinya andai memimpin Jakarta.
Kalau boleh dibilang, hanya ada 2 gubernur Jakarta saja yang meninggalkan jejak. Yang satu, Pak Ali Sadikin, yang terkenal dengan proyek MH Thamrin-nya. Bang Ali sanggup mengubah wajah kampung raksasa ibukota kita menjadi bergaya lebih "metropolitan". Meski Bang Ali pun konon sempat "ternoda", karena kebijakannya untuk mengadangkan para penjaja kenikmatan ke dua lokasi di Kalijodo dan Karamat Tunggak. Kini kandangnya sudah diberangus pun, profesi tertua di dunia tak hilang jua. Tengoklah ke Mangga Besar, beribu-ribu kupu-kupu malam bertebaran dengan bebasnya di sana.
Yang satu lagi, Pak Sutiyoso. Sekalipun banyak yang menilai gagal menangani banjir, Bang Yos lah yang berinisiatif membangun Busway, Subway dan Monorel, suatu terobosan berani yang tak pernah sanggup diwacanakan sekalipun oleh para pendahulunya. Jadi gubernur Jakarta memang harus "bandel". Maaf, korupsi dikit-dikit gak papa lah, wong korupsi itu sudah jadi budaya kita, asalkan pembangunan bisa berjalan terus. Di dunia realita ini yang baik dan bagus memang gak selalu menang. Karenanya, bukankah gak baik sedikit, tapi pembangunan jalan, malah lebih dinanti?
Tengoklah di kota satelit di selatan Jakarta. Walikotanya dari golongan hijau, tapi pembangunannya harus mandek, karena dewannya gak sudi apa yang mereka lakoni saat ini dicolek-colek oleh walikota yang inginnya bersih. Akhirnya yang ada jalan di tempat. Lihatlah ke DKI Jakarta, Pemilu lalu dimenangkan oleh partai Islam, sehingga anggota dewannya pun banyak diisi oleh orang partai tersebut. Namun apakah ada perubahan dari "kemaksiatan" ibukota? Tanyalah ke orang-orang Mangga Besar dan dunia esek-esek ibukota. Tentulah hanya tertawa ejekan yang kita dapatkan.
Kata peribahasa gak ada rotan akar pun jadi. Kata seorang scholar kita, the best among the worst. Mau gimana lagi? Namun kalau memang "gak mau menanggung dosa" dan merasa gak sreg, Golongan Putih memang menjadi satu alternatif yang tak bisa dikesampingkan. Memberi kesempatan juga hal yang tak buruk. Namun janganlah menyesal andaikan pencapaian tak sesuai dengan yang diharapkan kita semua.
Bagaimana pun, yang terbaik adalah sosok yang benar-benar bersih dan mampu bekerja keras tanpa pamrih, serta tidak memihak golongan tertentu, juga berpikiran maju, pintar dan punya konsep pembangunan yang jelas. Adakah sosok ideal seperti ini akan muncul di zaman edan ini? Kalaulah ada, jangan cuma untuk kelas gubernur ibukota saja, namun juga menjadi Presiden RI, yang mampu memimpin rakyatnya dari jurang kesusahan.
Andai, andai dan andai. Memang capek rasanya berandai-andai. Ternyata memilih pemimpin dari 10 juta rakyat Jakarta dan 250 juta rakyat Indonesia bukanlah suatu perkara yang mudah. Mencari pemimpin yang tough ditengah-tengah kompleksitas permasalahan kita, sekaligus pemimpin yang mempunyai visi kuat ke depan, ternyata tak semudah yang kita kira. Dunia realita memang tak seindah dunia idelis, namun kita tak boleh menyerah kepada nasib bahwa diri kita bakal dipimpin oleh orang yang salah.
Lantas siapa kira-kira satria harapan rakyat DKI nantinya?
Wassalaam,
Papa Fariz
FS account: boedoetsg@yahoo.com
No comments:
Post a Comment