Posted: 9 Februari 2007
Assalaamu 'alaikum,
Beberapa waktu lalu, saya jadi ingat dengan cerita teman saya tentang teman lainnya, manakala saya bertanya mengenai pekerjaan pihak ketiga itu. Dia sudah lulus di mana-mana, jawab teman saya. Saya agak bingung, dengan maksud perkataannya, namun akhirnya manggut-manggut setelah tau, yang dimaksud lulus itu maksudnya selesai pelatihan, lantas cabut lagi ke tempat lain, untuk dapat pelatihan lagi sekaligus meningkatkan gaji.
Ada pula teman saya yang pakar kutu loncat di sini. Bayangkan dalam setahun, beliau hampir 2x pindah pindah kerja. Memang ada keuntungannya, yakni yang didapat adalah bukan salary increament, melainkan salary adjustment. Kerabat dan beberapa teman saya di Jakarta pun juga tertular hobi kutu loncar. Selain gaji yang didapat lebih tinggi di tempat baru, ada pula yang berkilah, yang kami cintai adalah pekerjaan kami, dan bukan perusahaan kami. Hari gini kok masih mikir masalah loyalitas? Tentu gak sedikit yang mengalami seperti artikel di bawah, alias pindah karena tak tahan dengan pressure dari atasan, apalagi kalau sudah menjurus ke kasar dan "brutal".
Gaya "US-Eropa" memang berbeda dengan gaya di Jepang. Di Jepang, pindah kerja alias jadi kutu loncat justru menjadi hal yang tak lazim. Dalam pemikiran konservatif mereka, para kutu loncat ini ditenggarai melakukan hal itu karena beberapa kemungkinan. Ada yang dianggap gak loyal dan egois, karena itu dengan seenaknya hengkang, ada yang dianggap egois sehingga hengkang karena tidak bisa berbaur dengan karyawan lainnya dan tidak bisa bekerja sama di dalam satu tim. Dll.
Di Jepang, memang biasanya sekali masuk perusahaan, khususnya untuk bidang manufakturing, maka yang bersangkutan akan terus di situ, dan mungkin hanya mengalami perpindahan bagian ataupun perpindahan pabrik. Jangan heran kalau kita dapati banyak staf tua di mereka punya company. Jangan coba anda adu ilmu dengan mereka, karena mereka sudah puluhan tahun memegang barang buatannya. Kesinambungan kerja di satu tempat, sengaja dibuat karena mereka akan diarahkan ke bagian RND (Research and Development).
Siapa lagi yang lebih tau tentang produk itu, kalau bukan mereka yang sudah akrab puluhan tahun dengannya? Di sinilah letak kekuatan industri Jepang. Mereka begitu PD dengan kemampuan RND-nya, sehingga mereka tak segan-segan berinvestasi besar di situ, karena PD akan mendapatkan imbal balik berupa inovasi produk, yang tentunya dilambangkan dengan fulus.
Di Indonesia agaknya lebih cenderung bergaya Eropa-USA. Walau ada juga orang yang saya temui, lebih senang "play safe". Dalam artian, udah punya buntut, malas loncat sana-sini. Kalau ada perubahan signifikan dari gaji, oke lah. Tapi kalo beda dikit, malas lah. Toh di tempat baru, belum tentu lingkungannya sesuai. Bisa-bisa loncat lagi ke tempat lain. At the end, bagus atau tidaknya menjadi absurd. Walau boleh jadi orang tersebut kurang suka tantangan, gaji sedikit kurang tapi stabil, okelah baginya.
Kira-kira kita masuk kategori yang mana yah? Namun agaknya, kalau mau jadi "jenderal" di Jakarta, pilihannya hanyalah 3 saja, jadi pengusaha, jadi pejabat atau jadi koruptor. Jadi koruptor yang paling menghasilkan, kalau memang kita gak punya hati nurani lagi dan gak takut dosa. Jadi pejabat, diberi berbagai fasilitas dan tunjungan. Lagipula, dalam budaya feodalisme kita, malu dong instansi yang bersangkutan andaikan pejabatnya cuma tinggal di rumah reyot. Jadi pengusaha perlu mental yang kuat.
Saya kagum dengan teman-teman saya yang telah merintis bisnisnya sendiri. Keputusan tersebut adalah keputusan yang berani. Orang berbisnis ini biasanya memiliki mental yang kuat, wawasan yang luas serta lebih jalan logikanya. Merekalah petarung sejati (the real fighter) di dunia realita. Maju gaknya suatu perusahaan, yang masih dalam skala kecil, adalah tergantung dirinya. Dia juga yang harus menggaji dirinya sendiri. Dari pemasukan yang ada, lantas dikurangi overhead (biaya listrik dll serta gaji karyawan), barulah sisanya untuk dia, dan itu tergantung dia apakah mau ditanamkan kembali untuk pengembangan bisnisnya, ataukah mau dinikmati sendiri.
Tidur itu mahal, begitu kata teman lainnya yang juga buka usaha sendiri. Dia pun sempat kelimpungan manakala daya beli masyarakat jatuh akibat harga BBM yang naik tiba-tiba. Dengan susah payah dia harus mencari sendiri client di negeri orang, karena para investor masih ada yang enggan melirik negeri kita. Walau begitu, dia dan lainnya tetap percaya Indoensia adalah pasar yang sangat baik karena jumlah penduduknya sebesar 250 juta orang. Kesuksean itu memang tidak diraih dengan muda, dan penuh lika-likunya.
Walau sayang, banyak di natara kita yang senang berpikir instant. Maunya berpangku tangan, sambil berharap bintang jatuh dari langit. Pemikiran serba instant inilah yang menyebabkan menjamurnya penipuan di masyarakat, entah itu yang namanya QSAR, penipuan valas, penipuan rental mobil, SMS berhadiah, undian berhadiah dll. Itu tak lain dan tak bukan semata-mata tumbuh dari kelengahan kita juga yang dimanfaatkan orang lain.
Kerja dengan gaji besar atau kecil, ataupun mau berbisnis adalah pilihan hidup masing-masing. Namun apakah kita akan tetap terpikir mengenai manfaat langsung maupun tidak langsung dari pekerjaan kita ini, untuk orang lain, maupun lingkup yang lebih luas, seperti negara dan masyarakat? Adakah dalam proses bekerja dan berinteraksi itu kita sudah "memanusiakan" orang lain yang "bersentuhan" dengan kita? Kalau iya, tentunya kisah dalam artikel di bawah ini tidak akan terjadi. Namun itulah dunia realita, yang kadang jauh dari dunia idealisme.
Wassalaam,
Papa Fariz
GAJI TINGGI BUKAN SEGALANYA
Mengapa perputaran karyawan tinggi walaupun remunerasinya di atas rata-rata? Uangkah pemicunya?Atau ada faktor lain yang menentukan kesetiaan mereka? Akhir tahun lalu, Lesmana, seorang teman lama yang ahli dalam pengembangan bisnis telekomunikasi mendapatkan tawaran dari sebuah perusahaan multinasional untuk mengembangkan bisnisnya di Indonesia. Dia tertarik dan memutuskan untuk bergabung.Dia telah banyak mendengar tentang pimpinan perusahaan ini, yang sering diberitakan sebagai pemimpin visionaris dan legendaris.
Gaji Lesmana besar, perlengkapan kantornya mutakhir, teknologinya canggih, kebijakan SDM-nya pro-karyawan, kantornya megah di daerah segitiga emas, bahkan kantinnya menyajikan makanan yang lezat dan murah.Dua kali dia dikirim keluar negeri untuk pelatihan."Proses pembelajaran saya adalah yang tercepat di sini,"kata Lesmana. Sungguh menakjubkan bekerja dengan dukungan teknologi mutakhir seperti di perusahaan ini". Siapa nyana dua minggu lalu, belum genap tujuh bulan bekerja di perusahaan itu, dia mengundurkan diri.
Lesmana belum mendapatkan tawaran pekerjaan lain, tapi dia tidak sanggup lagi bertahan di sana. Belakangan, sejumlah karyawan di divisi yang sama dengannya ikut resigned. Direktur Utama perusahaan itu pun merasa tertekan karena perputaran (turnover)karyawan sangat tinggi.Cemas memikirkan biaya yang sudah dikeluarkan perusahaan untuk alokasi dana pelatihan karyawan.Ia juga bingung lantaran tidak tahu apa gerangan yang terjadi. Mengapa karyawan yang bertalenta bagus ini mengundurkan diri, padahal gajinya sudah cukup tinggi?
Lesmana resigned karena beberapa alasan. Alasan ini juga yang menyebabkan sebagian besar karyawan lain yang bertalenta tinggi akhirnya mengundurkan diri.Beberapa survey membuktikan bahwa jika anda kehilangan karyawan berbakat, periksalah atasan langsung mereka. Si atasan adalah alasan utama karyawan tetap bekerja dan berkembang dalam suatu perusahaan. Namun dia jugalah yang menjadi alasan utama mengapa para karyawan berhenti dari pekerjaannya, membawa pergi pengetahuan,pengalaman dan klien mereka.Bahkan tidak jarang selanjutnya secara terang-terangan berkompetisi dengan perusahaan bekas tempatnya bekerja. "Karyawan meninggalkan manajernya bukan perusahaannya," kata para ahli SDM.
Begitu banyak uang yang telah dikeluarkan untuk tetap mempertahankan karyawan berbakat, baik dengan memberikan gaji lebih tinggi, bonus ekstra maupun pelatihan mahal. Namun pada akhirnya, perputaran karyawan kebanyakan disebabkan oleh manajer/pimpinannya, bukan oleh hal lain. Jika anda mengalami masalah turnover, maka pertama-tama periksalah kembali para manajer anda. Apakah mereka biang keladi yang membuat para karyawan tidak betah?. Pada tahap tertentu, karyawan tidak lagi melihat jumlah uang yang ia dapatkan, tapi lebih kepada bagaimana mereka diperlakukan dan seberapa besar perusahaan menghargai mereka.
Kedua hal ini umumnya tergantung dari sikap para pimpinan terhadap mereka. Dan sejauh ini, bekerja dengan atasan yang buruk sering dialami oleh Para karyawan yang bekerja dengan baik. Survey majalah Fortune beberapa tahun lalu mengungkapkan bahwa 75% karyawan menderita karena berada di bawah atasan yang menyebalkan. Dari seluruh penyebab stress ditempat kerja, seorang atasan yang jahat mungkin adalah hal yang terburuk, yang secara langsung akan mempengaruhi kinerja dan mental para karyawan. Simak saja kisah yang dikutip langsung dari"medan perang" ini.
Mulya seorang insinyur, masih bergidik saat membayangkan hari-hari dimana Ia dimaki-maki bos di depan staf lainnya. Atasannya itu sering menghina dengan kata-kata yang kasar.Waktu menghadapi hal menakutkan itu, Mulya praktis tak punya nyali untuk menjawab. Ia kembali ke rumah dengan perasaan tidak keruan dan mulai menjadi kasar seperti sang atasan. Bedanya kekesalan ini dilampiaskan ke istri dan anak-anaknya, kadang juga ke anjing peliharaannya. Lambat laun, bukan pekerjaan Mulya saja yang kacau balau, pernikahan dan keluarganya pun hancur berantakan. Nasib Agus juga setali tiga uang.
Menceritakan "penyiksaan" yang dilakukan oleh bosnya gara-gara ada perbedaan pendapat yang tidak terlalu penting antara keduanya. Atasan Agus benar-benar menunjukkan rasa tidak suka terhadapnya. Ia tidak lagi diikut-sertakan dalam pengambilan keputusan. "Bahkan dia tidak lagi memberikan saya dokumen maupun pekerjaan baru," keluh Agus. "Sangat memalukan duduk didepan meja kosong tanpa tahu apapun dan tidak seorangpun yang membantu saya". Lantaran tidak tahan lagi,lalu Agus mengundurkan diri.
Para ahli SDM mengatakan, dari segala bentuk kekerasan, tindakan memperlakukan karyawan ditempat umum adalah yang terburuk. Pada awalnya, si karyawan mungkin tidak langsung mengundurkan diri, akan tetapi pikiran itu sudah tertanam. Jika kejadian terulang lagi, pikiran tersebut akan semakin kuat. Dan akhirnya, pada kejadian yang ketiga, karyawan itu akan mulai mencari pekerjaan lain.
Ketika seseorang tidak bisa membalas kemarahannya, ia akan melakukan pembalasan "pasif". Biasanya dengan cara memperlambat pekerjaan, berleha-leha, hanya melakukan pekerjaan yang disuruh atau menyembunyikan informasi penting. "Jika anda bekerja untuk orang yang menyebalkan, pada dasarnya anda ingin orang itu mendapat kesulitan. Jiwa dan pikiran kita tidak menyatu lagi dengan pekerjaan kita," papar Agus. Para manajer bisa menekan bawahan melalui beragam cara. Misalnya dengan mengontrol bawahan secara berlebihan, curiga, menekan, terlalu kritis, bawel dan sebagainya.
Namun para atasan tersebut tidak sadar bahwa karyawan bukan merupakan aset tetap, mereka adalah manusia bebas. Jika ini terus berlanjut, maka seorang karyawan akan mengundurkan diri, walau tampaknya cuma karena masalah sepele saja. Bukan pukulan ke-100 yang menjatuhkan seseorang, tapi 99 pukulan yang diterima sebelumnya.Memang benar, karyawan meninggalkan pekerjaannya karena bermacam alasan untuk kesempatan yang lebih baik atau kondisi yang tidak memungkinkan lagi. Namun banyak yang semestinya tetap tinggal jika tidak ada satu orang (seperti atasan Lesmana) yang terus-menerus mengatakan," Kamu tidak penting, saya bisa dapat lusinan orang yang lebih baik dari kamu!".
Kendati tersedia segudang pekerjaan lain (terlebih dalam keadaan pengangguran tinggi sekarang ini), bayangkanlah sesaat, berapa biaya atas hilangnya seorang karyawan yang bertalenta tinggi.. Ada biaya yang harus dibayar untuk mencari pengganti, ada biaya pelatihan bagi pengganti karyawan tersebut. Belum lagi akibat yang ditimbulkan karena tidak ada orang yang mampu melakukan pekerjaan itu saat calon pengganti sedang dicari, kehilangan klien dan kontak yang dibawa pergi karyawan yang hengkang, penurunan moral karyawan lainnya, hilangnya rahasia penjualan dari karyawan tersebut yang seharusnya diinformasikan ke karyawan lainnya, dan yang terutama turunnya reputasi perusahaan.
Lagi pula, setiap karyawan yang pergi, bagaimanapun juga akan menjadi"duta" untuk mewartakan hal yang baik maupun yang buruk dari perusahaan itu. Kita semua tahu suatu perusahaan telekomunikasi besar yang orang-orang ingin sekali bergabung, atau suatu bank yang hanya sedikit orang ingin menjadi bagiannya.Mantan karyawan kedua perusahaan ini telah keluar untuk menceritakan kisah pekerjaannya. "Setiap perusahaan yang berusaha memenangkan persaingan harus memikirkan cara untuk mengikat jiwa setiap karyawannya," kata Jack Welch mantan orang nomor satu di General Electric. Umumnya nilai suatu perusahaan terletak "diantara telinga" para karyawannya. Karyawan juga manusia, punya mata, punya hati.
JUNIUS LEE, CEO & Managing Consultant JCI Kimberley Executive Search International (Recruitment Consultants)
No comments:
Post a Comment