Posted: 26 Maret 2007
Assalaamu 'alaikum,
Lupa sebenarnya adalah rahmat, karena berkat lupa, unnecessary memory dan old memory akan terhapus dengan sendirinya. Kalau gak gitu betapa akan mumet dan peningnya otak kita yang sejatinya hanya memiliki memori terbatas. Namun bagaimana kalau kita terbiasa lupa atau sengaja lupa?
Sambil menunggu bundanya anak-anak berbelanja, saya menyempatkan diri mampir di sebuah toko buku sekitar tempat tersebut. Pandangan saya tertumpu pada deretan majalah, dan "terkesima" pada barisan majalah pria. Jelas-jelas banget di situ nangkring majalah Playboy versi Indonesia, yang sebelum ini ramai diributkan, bahkan pakai di sweeping segala, dan konon janjinya, hanya akan dijual berdasarkan pesanan dan bukan dijual bebas.
Kok bisa yah ada di situ dengan santainya. Padahal pada awal penerbitannya, pedagang majalah di pinggiran jalan saja sampai kucing-kucingan karena takut majalah itu dirazia baik oleh pihak penegak hukum maupun "pihak penegak yang lainnya". Saya pun awalnya kaget, tapi akhirnya gak bingung. Bukankah ini semua sudah terbiasa di sini, dan telah menjadi kebiasaan kita untuk "LUPA"? Heboh Playboy saat itu memang begitu dahsyat, apalagi muncul di tengah- tengah riuhnya pro kontra RUU APP. Baik Playboy, maupun RUU APP, yang pernah dikontroversikan begitu dahsyat, akhirnya tenggelam panasnya seiring dengan berjalannya waktu.
Saya jadi teringat dengan kisah yang lain, yakni kisah keriuhan formalin dan boraks yang ditambahkan pada makanan mie, bakso, tahu, ikan laut dll. Bagaimana kisahnya sekarang? Apakah Memang fungsi formalin sudah digantikan oleh zat lain yang lebih aman, serta para pedagang dan pemakai formalin itu sudah ditindak? Rasanya gak yakin banget dengan hal itu. Bukan apa-apa, bulan lalu, pihak pencetus Chitosan, yang ditemukan oleh ibu dosen IPB, dan dibuat dari remahan kulit rajungan dan udangan, dan dapat dipakai sebagai pengganti formalin, mengeluhkan produksi mereka yang turun drastis. Pada saat awal keriuhan formalin, chitosan dipesan dalam partai besar, oleh banyak pihak. Namun kini, hanya tinggal ada 2 pelanggan tetap, karenanya produsen Chitosan mencoba melirik pasar luar negeri.
Apakah ada bahan lain pengganti Chitosan, tapi bukan formalin? Mau berbaik sangka silahkan, namun kecenderungannya, setelah masalah itu padam dengan sendirinya, umumnya balik ke asal lagi, andaikan tidak segera diatur dalam perangkat hukum. Banyak lagi kasus lainnya yang terjadi. Kalau soal makanan, ada beras berpemutih, jamu dari bahan berbahaya dll, dan hal lain juga banyak, semisal RUU APP, Revisi PP 37, Revisi UU Buruh, SPBU bermasalah dll. Setelah cool down, semua bisa diatur kok, begitu kali singkatnya.
Makanya saya jadi geli sendiri membaca ulasan di salah satu media ibukota, tentang dinginnya reaksi Pemerintah Singapore terhadap keriuhan penolakan ekspor pasir laut dan pasir darat ke mereka. Mereka bersikap tenang-tenang saja, selain masih punya cadangan pasir minimal 4,3 juta meter kubik, yang sebagian ditumpuk di daerah Tampines, lalu mereka juga masih kuat finansialnya, mereka sudah tau dan membaca kebiasaan kita untuk lupa. Biarkan orang Indonesia ribut dulu, dan gak usah ditanggapi. Biarkan semuanya cool down dulu. Setelah waktu berjalan, barulah mereka melancarkan strategi lobby sana-sini, dan seperti biasa, kata jargonnya Pak Adam Malik (alm.), "Semua Bisa Diatur".
Wajar pula, kalau ustadz kondang dari Geger Kalong yang sempat diributkan pernikahan keduanya, lebih memilih diam ketika ditanya komentarnya mengenai poligami tersebut. Biarkan waktu berlalu, dan masyarakat akan lupa dengan sendirinya, apalagi permasalahan baru akan terus muncul bagaikan terputus tanpa henti. Kalau memang gak mau dilupakan, satu-satunya jalan adalah setelah di Blow Up di media massa dan masyarakat, maka harus dioyok-oyok secara terus-menerus.
Selama ini kasus "menghilangnya" suatu masalah, karena terlupakan oleh faktor waktu, bukanlah hal yang luar biasa. Sebab kita sendiri punya pepatah khusus dari nenek moyang kita untuk hal ini, yaitu: "hangat-hangat chicken shit". Yang terjadi pada kita ibaratnya adalah sebuah halilintar. Saat terjadi, gelegarnya begitu dahsyat dan menakutkan semua orang. Namun setelah itu menghilang begitu saja tanpa bekas, bagaikan tak pernah terjadi apa-apa.
Once again, lupa sebenarnya adalah rahmat, karena berkat lupa, unnecessary memory dan old memory akan terhapus dengan sendirinya. Kalau gak gitu betapa akan mumet dan peningnya otak kita yang sejatinya hanya memiliki memori terbatas. Namun bagaimana kalau kita terbiasa lupa atau sengaja lupa? Terbiasa karena hal ini terjadi berulang-ulang, entah kita itu "ngeh" atau "gak "ngeh". Sudah selayaknya kebiasaan melupakan seperti ini, sekaligus menggantung penyelesaian dari suatu masalah, tidak lagi kita lakukan. Bahkan kalau perlu kita bisa memprediksi permasalahan yang timbul agar bisa dipersiapkan tindakan preventifnya.
Lupa yang bukan sekedar lupa, what to do?
Wassalaam,
Papa Fariz
FS account: boedoetsg@yahoo.com
No comments:
Post a Comment