Posted: 16 Februari 2007
Assalaamu 'alaikum,
Seorang bapak tua yang saya kenal, sempat mengeluh tentang kondisi kini. Katanya ada kesamaan antara tahun belakangan ini dengan tahun sebelum 70-an. Kesamaannya adalah sama-sama mengantri beras dan minyak tanah. Kasian bangsa kita, tuk urusan perut saja susah. "Sejelek-jeleknya" Pak Harto, begitu lanjutnya, masih care dengan yang namanya sandang pangan dan papan. Indonesia sendiri pun pernah mendapat penghargaan FAO karena keberhasilannya melakukan swa sembada beras.
Namun kini, kita harus mengimport banyak beras dari negeri luar. Itu berarti pertumbuhan produksi pangan kita tidak mampu mengejar pertumbuhan penduduk beserta konsumsi pangan yang kian laju. Karenanya kita keteteran, apalagi disibukkan oleh pelbagai masalah dan bencana yang mendera bangsa ini, sehingga tidak sempat memaksimalkan potensi teknologi pangan. Repotnya, mau jadi negara industri, malah nanggung. Jadi negera agraris pun enggan.
Dulu kita banyak menghasilkan padi, sebutlah yang bernama Gogo Rancah, IR dll. Thailand yang commit sejak awal menjadi negara agraris, sembari terus mengembangkan industrinya, kini malah berjalan seribu langkah di depan kita untuk urusan pertanian. Vietnam, yang dulu tampak bagai kampung di mata kita, ternyata kini malah balik mengekspor berasnya ke kita.
Beras harus diimport. Permerintah beralasan untuk mejaga ketahanan pangan sekaligus memperkuat stok, agar harga beras tidak melonjak di pasaran. Namun nyatanya yang mengherankan, kenapa yah sebagai pemegang otoritas, Pemerintah kita masih tetap saja tidak mampu mengendalikan kenaikan harga sembako, khususnya beras. Di Singapore dan Malaysia, Pemerintahnya mengontrol harga sembako dengan ketat. Sehingga gak ada pedagang yang menaikkan harga seenak udelnya.
Di Jepang para petani kaya raya, dan memiliki bargain power yang kuat. Untuk urusan beras, mereka setahun cuma panen sekali, kecuali di daerah Kochi di pulau Shikoku yang panen setahun 2 kali. Namun hasil panennya itu sudah cukup memenuhi kebutuhan konsumsi selama 1 tahun. Kenapa begitu? Karena teknologi pangan dimanfaatkan, sehingga dengan lahan terbatas dihasilkan beras dalam jumlah besar dengan kualitas tinggi.
Apakah tak ada cara lain untuk mengontrol harga beras. Pemerintah kita mencoba meng-handle-nya dengan melakukan spot action. Yakni menggelontorkan operasi pasar. Beras yang tadinya berharga cuma 5000-an, namun belakangan ini naik sampai lebih dari 6000-an, dijual via operasi pasar dengan harga hanya 3700 rupiah saja. Efektifkah hal itu? Ternyata tidak. Yang sangat memalukan, para pedagang beras ikutan antri untuk membeli berkarung-karung beras. Beras yang seharusnya jadi hak rakyat miskin, malah jatuh ke pedagang dan para pedagang itu menjual kembali di tokonya dengan harga tinggi.
Beginilah susahnya orang kita, sudah pada gak punya hati nurani lagi, dan selalu mengail di air keruh. Orang susah yang cuma punya duit buat beli beras 5 kg-an, akhirnya cuma gigit jari karena kehabisan. Niat pemerintah mungkin baik, tapi caranya gak smart dan pengontrolannya amburadul. Makanya hasilnya jadi gak bener juga.
Pernahkah anda mendengar istilah Raskin? Yang kepanjangannya adalah beras untuk rakyat miskin, yang sengaja dibagikan gratis atau dijual dengan harga sangat murah ke rakyat banyak. Sukseskah program ini? Ternyata lagi-lagi entah pelaksanaannya yang gak smart ataukah orang kita yang hobby mengadali, akhirnya malah gak efisien. Semisal, penduduk miskin di suatu daerah hanyalah 2000 orang. Namun dengan adanya program beras raskin, tiba-tiba penduduk miskin dilaporkan berjumlah 8000 orang. Kenapa bisa begitu? Ada 2 kemungkinan.
Yang satu aparat yang bermain, so jatah kelebihan beras dijadikan uang alias diselewengkan untuk menggendutkan perut mereka. Kemungkinan yang kedua, orang yang gak miskin, mengaku-aku miskin, biar dapat jatah gratis. Bokis banget nih orang. Raskin hanyalah solusi instant yang gak cerdas, sama seperti BLT (Bantuan Langsung Tunai) sebesar 100 ribu per bulan. Padahal nenek moyang kita sudah mengajarkan, lebih baik memberi pancing, dan jangan ikan. Memberi ikan, sama saja mendidik rakyat tidak cerdas, dan hanya menjadi peminta-minta.
Susahnya, di satu sisi, Pemerintah hanya bisa mengeluarkan solusi instant yang kurang smart, dan selalu terkendala pelbagai hal yang membawa mereka pada kondisi seperti buah simalakama. Di sisi lain, gak sedikit orang kita yang tega dan gak punya hati nurani, dengan mengadali kebijakan Pemerintah untuk rakyat miskin. Contohnya yahh itu, pedagang yang beli beras operasi pasar, aparat penggelap raskin, ataupun rakyat yang mengaku-aku miskin.
Yang kasian lagi-lagi rakyat jelata. Sedih juga melihat tayangan TV yang menampilkan orang kita makan beras aking, ataupun cuma ubi, ataupun remah-remah intip, atau mungkin yang sudah menyembah-nyembah walau ketemu nasi cuma sehari sekali.
Mau makan aja susah. Padahal makan itu kebutuhan yang mendasar, selain dari sandang pangan dan papan. Mau makan aja susah, apalagi memikirkan kebutuhan dan aktivitas lainnya. Bedanya kita dengan hewan, hewan tiap hari kerjanya cuma cari makan, trus kenyang dan bobo. Kalau manusia, mereka kerja, untuk cari makan, dengan kelebihan uangnya mereka bisa beli rumah, bertamsya, menikmati hidup dll. Kalau untuk makan aja susah, apa bedanya dengan hewan, bahkan mungkin lebih rendah dari hewan? Walah, gak tega nerusin ngetiknya.
Tapi kenapa lagi-lagi ini terus terjadi di nusantara kita? Adakah kita kekurangan orang-orang pintar yang sanggup memikirkan solusi jangka panjang secara smart? Ataukah memang permasalahan yang ada di kita sudah begitu kompleks sehingga orang-orang pintar kita selalu buntu untuk menemukan solusi yang smart dan terbaik?
Mau makan aja susah, jangan mimpi mampu meraih teknologi tinggi dengan keadaan lapar. Ingatlah selalu, the hungry man become angry man. Orang lapar sudah gak bisa mikir properly. Bawaannya emosi, dan mungkin menghalalkan segala cara, agar perut lapar bisa terganjal. Kalau memang terjadi apa-apa, salahkah mereka, karena mereka cuma mau sekedar bisa bertahan hidup.
Mau makan aja susah, ngurus beras aja gak beres, terus gimana dong?
Wassalaam,
Papa Fariz
FS account: boedoetsg@yahoo.com
No comments:
Post a Comment