Sunday, June 10, 2007

Membangun bangsa ala kita dan tenaga kerja Filipina

Posted: 23 Februari 2007

Assalaamu 'alaikum,

Di halaman tengah harian Today, pada pertengahan minggu lalu, terselip artikel kecil yang isinya cukup mencengangkan. Tau kah anda, para pekerja Filipina di luar negeri, yang jumlahnya sekitar 8 juta pekerja, dan terutama bekerja di USA dan Timur Tengah, ternyata menyumbang 10% dari GDP negeri mereka. Tahun 2006 lalu, remittance yang dikirimkan adalah total berjumlah US$ 12,8 billion (atau sekitar 120 trilyun rupiah). Tahun 2007 ditargetkan meningkat menjadi US$ 14 billion (atau 130 trilyun rupiah).

Remittances ini, menurut bank sentral mereka, sanggup mendorong konsumsi domestil dan pertumbuhan ekonomi lokal serta membawa mata uang Peso ke level tertinggi selama 6 tahun terakhir. Jumlah ini terus meningkat, bahkan di bulan Desember 2006 saja, tercatat ada remittance sebesar US$1.3 billion. Data tersebut tidak termasuk pengiriman uang via jalur informal, seperti via kerabat, non bank, under ground bank dll.

Secara matematis, kalau setahun ada 120 trilyun rupiah, maka per bulannya, uang yang dikirimkan adalah 10 trilyun rupiah. Jumlah itu apabila dibagi rata ke 8 juta pekerja, maka tiap pekerja per bulan mengirimkan sekitar 1,25 juta rupiah. Para Filipino ini ada yang bekerja di sektor "terang", seperti menjadi pekerja profesional, nurse (kadang "sebel" juga liat nurse di Raffles Hospital yang banyak diisi oleh Filipino), maid dll.

Untuk urusan maid (pembantu), para Filipino selangkah lebih maju dari para TKW kita. Pendidikan mereka yang lebih tinggi, dengan kemampuan berbahasa Inggrisnya, membuat mereka lebih punya bargaining power dibandingkan para TKW kita. Kalau para Filipino bisa dapat cuti sehari dalam seminggu dalam pekerjaannya sebagai PRT, serta diberi gaji yang lebih tinggi, para TKW kita di sini hanya dapat (konon) cuti sehari sebulan dengan gaji yang lebih rendah.

Ada pula Filipino yang bekerja di sektor "gelap". Di negeri Sakura, kalau image dari wanita Filipino adalah mereka yang bekerja yang berkaitan di dunia esek-esek, entah itu bar, diskotik, ataupun prostitusi itu sendiri. Anyway, karena sumbangannya yang demikian besar terhadap perekonomian negara. maka penghargaan dan perlindungan dari Pemerintah mereka juga demikian tinggi, meski kadang di luat negeri mereka cuma berstatus maid. Pahlawan devisa, bukan cuma sekedar lips service semata, karena juga ada mutual relation dari pemerintah dan pekerjanya.

Bagaimana dengan para TKI dan TKW, ataupun para pekerja profesional dari bangsa kita? Entahlah, sampai saat ini belum ada data resmi mengenai seberapa besar sumbangsih mereka. Yang banyak terdengar dan diekspos justru kabar sedih mengenai nasib para TKI dan TKW di luar. Ada yang bunuh diri, melakukan pembunuhan dan perampokan, disiksa oleh sang majikan di luar peri kemanusiaan, dikejar-kejar sampai ke hutan-hutan bak babi rusa tak berguna, sampai pulang ke Bandara negeri sendiri pun, mereka masih dikerjai dan diperas oleh "oknum-oknum tertentu".

Kepergian mereka ke luar, sebenarnya tak cocok dengan kultur asli yang pada diri mereka. Mayoritas orang kita adalah orang Jawa. Di Jawa terkenal slogan, "mangan ora mangan ngumpul". Lantas ada lagi peribahasa, "lebih baik hujan batu di negeri sendiri, daripada hujan emas di negeri orang", dan juga "setinggi-tinggi bangau terbang, akhirnya kembali ke kubangan juga". Inilah yang dijabarkan oleh seorang pemuka agama kita bahwa sesungguhnya jiwa merantau tidaklah ada dalam pribadi bangsa kita, khususnya wong Jowo. Namun mengapa mereka terpaksa harus melanggar kultur aslinya?

Jawabannya adalah no choice brur. Karena negeri sendiri tidak bisa memberi mereka makan, sehingga mereka harus pergi jauh di rantau agar bisa tetap hidup. Di desa gak ada apa-apa, katanya, kerja pun tak seberapa hasilnya. Cuma cukup buat mengganjal perut tanpa tau bagaimana hari esok jadinya. Tak ubahnya seperti hewan liar, yang cari makan untuk hari ini saja tanpa terpikir bagaimana selanjutnya.

Bagaimana dengan para profesional kita? Tanyakan arti apa membangun bangsa itu dan bagaimana membangun bangsa dari luar? Boleh jadi jawaban memutar yang akan kita dapatkan. Langkah seperti orang Filipino itulah yang mungkin boleh jadi bisa disebut membangun bangsa dalam arti real.

Dulu saya sempat berdiskusi dengan beberapa teman mengenai membangun bangsa dari luar negeri. IMHO, rasanya suatu hal yang musykil membangun bangsa dengan ber-wacana semata. Bukankah kepergian kita semata, kalau mau jujur, sesungguhnya karena ketertarikan akan hal fulus yang lebih besar? Dan buat kita, itu adalah hal yang manusiawi apabila kita happy menerima reward yang cukup daripada di dalam negeri, kerja banting tulang hasilnya gak seberapa. Ini pemikiran yang gak salah dan sangat manusiawi sekali.

Dalam bahasa seorang teman saya, orang sepintar apa pun di Indonesia, andaikan ditawari kerja di Singapore, pasti gak akan menolak, gak peduli apakah dia kupingnya ditindik, ataupun dia berjenggot ataupun memakai celana tanggung sebetis. Why? Apalagi kalau bukan fulus daya tarik utamanya. Saya pun sampai bosan ketika keliling Jakarta, selalu saja ditanyai, ada lowongan kerja gak di Singapore. Atau bawa saya dong ke Singapore, yang penting bisa kerja di sana. Urusan cari pengalaman, cari koneksi dll adalah semata sekunder semata.

Pemerintah sini yang kiasu (win at all cost) pun memanfaatkan celah-celah manusiawi kita. Untuk para mahasiswa yang berprestasi seperti juara olimpiade Fisika dll, diberinya beasiswa. Bahkan, menurut seorang teman Indonesia yang jadi peneliti di sini, pelajar kita yang lulus ujian masuk universitas di sini, ditawari pinjaman beasiswa. 80% biaya kuliahnya akan didispensasi. Sisa 20% beserta biaya hidup, harus ditanggung sendiri, namun bisa mendapatkan soft loan, yang harus dikembalikan setelah pelajar tersebut bekerja (CMIIW).

Syaratnya tidak susah. Yang bersangkutan bersedia bekerja di negeri liliput ini selama 2 tahun (CMIIW). Mudahkan? Mudah, tapi sekali merasakan kerja di sini dengan hidup bergelimang dollar, sulit rasanya untuk mau kembali ke bumi pertiwi apalagi dengan gaji yang mendadak turun drastis. Kerja di sini, entah di swasta ataupun negeri, pada hakekatnya, mengabdikan potensi dan kemampuan kita, secara langsung ke perusahaan, dan secara gak langsung ke negeri ini.

Bagi perusahaan, tentunya menghasilkan profit buat mereka, dan mereka bayar pajak ke Pemerintah dll. Inilah "smart"-nya Pemerintah sini memanfaatkan sisi manusiawi kita.
Buat para penerimanya, mereka juga gak salah, toh mereka manusia juga yang ingin mendapatkan reward yang layak dari hasil keringat mereka sendiri, dan ini lebih baik daripada terjerat KKN di negeri sendiri, peduli apakah dengan demikian akan mengabdikan dirinya untuk negeri orang.

Saya jadi teringat kembali dengan kisah bak dongeng dari seorang Bapak, saat bermukim di negeri utara dulu. Konon sejak sebelum 1960-an, banyak mahasiswa India yang merantau ke USA. Mereka meneruskan pendidikan sampai S3, lantas menjadi dosen dan professor di sana. Mengabdi kah mereka ke USA? Ternyata mereka berpikir cukup smart. Mereka tarik sebanyak-banyaknya mahasiswa India untuk belajar dan mereka biayai. Setelah sukses, gantian para mahasiswa itu bertindak seperti yang senior mereka.

Jangan heran kini Bangalore terkenal sebagai kota IT. Jangan kaget dengan kedigdayaan Institue Technology of Sapoor. Jangan kecewa, ketika kita temui banyak nama-nama India dalam referensi studi keilmiahan kita. Inilah cara berpikir mereka yang smart dalam membangun bangsa.

Sementara, sejujurnya, banyak orang kita yang usai menuntut ilmu di luar hanya berpikir untuk cari kerja semata demi kebutuhan hidup pribadi dan keluarga saja. Ada juga teman yang cerita bahwa ada pakar kita di luar, yang idtahan balik ke Indonesia karena belum waktunya. Lha, kalau begini bagaimana dia membangun bangsa. Lebih bagus seperti Bu Sri Mulyani yang Menkeu itu. Usai studi, beliau menerapkan ilmunya untuk memperbaiki perekonomian kita. Suatu hal yang juga dilakukan oleh Berkeley Gangs (Ali Wardhana cs) semata Order Baru dulu.

Ada pula teman yang meyakinkan bahwa ada contoh lain membangun bangsa dari luar. Katanya ada orang kita yang membangun RS mewah di Jakarta, sebagai sumbangsihnya untuk pembangunan bangsa. Benarkah demikian? Ahh, kok keliataannya bukan seperti itu yahh. Ini kan lebih mengacu kepada bisnis dan bukan sumbangsih. Kalau memang dia mau sumbangsih, bangun saja rumah sakit murah di pelosok negeri dengan biaya medis yang terjangkau. Kalau RS mewah, itu gak beda dengan tujuan bisnis semata. Apa bedanya dengan para pelarian koruptor kita yang banyak ngendon di jiran ini?

Di sini ada Syamsul Nursalim cs. Syamsul punya grup Gadjah Tunggal, yang memiliki pabrik dan mempekerjakan ribuan anak bangsa. Beliau bisa disebut pahlawan bangsa. Andaikan uangnya tidak didapat dari ngebodongin negeri kita dan tidak diparkir di luar negeri. Mereka sesungguhnya lebih bisa disebut "pahlawan", namun sayangnya lebih senang memarkir uangnya di luar daripada diputar lagi untuk kesejahteraan rakyat. Toh sebagai seorang bisnis man, itu konsekuensi logis, karena bukankah tujuan utama mereka adalah mencari keuntungan. Kalau ada tujuan sekunder untuk amsyarakat, itu hal bagus, namun mensejahterakan masyarakat adalah bukan tujuan utama mereka.

Kalau para pekerja Filipino bisa membantu negeri mereka secara nyata, tanpa banyak bicara, meski dengan mengirimkan uang hanya 1,25 juta rupiah per kepala per bulan saja. Untuk para pekerja kita di luar, kira-kira apa yang telah mereka perbuat untuk membantu pembangunan angsanya? Kalau mengirimkan uang saja tidak, lantas apa sumbangsih yang mereka berikan? Wacana semata, tak akan bermanfaat, karena wacana hanyalah ada di awang-awang semata. Namun di era globalisasi ini, membangun bangsa itu kan adalah "pilihan dan bukan kewajiban".

Salah kah kita andaikan harus terpaksa "melarikan diri" dari kenyataan yang "kurang memberikan reward yang layak untuk keringat kita", tanpa perlu peduli dengan apa yang namanya pembangunan bangsa itu? Jawabnya berpulang kepada pribadi masing-masing. Namun setidaknya usaha para pekerja Filipino itu bisa menjadi gambaran nyata betapa dahsyatnya apabila nilai yang keliatan kecil, ternyata dapat berpengaruh besar terhadap kehidupan perekonomian suatu bangsa.

Wassalaam,

Papa Fariz
FS account: boedoetsg@yahoo.com

No comments: