Sunday, June 10, 2007

Para anak bangsa yang genius dan nasibmu kini

Posted: 24 Februari 2007

Assalaamu 'alaikum,

Ini dari email lama seorang teman, sebagai reminder saja. Bangsa kita memang tidak pernah kekurangan orang pintar. Sekali lagi, tinggal bagaimana kita bisa memanfaatkan semaksimal mungkin potensi mereka demi bangsa kita. Tanpa reward yang seimbang tentunya menjadi hal yang gak fair. Bagaimana pun mereka tetap manusia yang juga ingin hidup layak dan berkecukupan.

Saya jadi teringat seorang sahabat yang saya temui bulan lalu. Dia seorang Doktor Teknik Penerbangan dan Antariksa lulusan salah satu universitas termahsyur di Jepang. Baru balik ke Indonesia, sekitar pertengahan tahun lalu, dan kini tengah mencoba mengembangkan roket, yang mana ahli roket di nusantara hampir tidak ada.

Saya hanya sedih dan prihatin melihat kondisinya. Bagaimana tidak, dia kini hanya tinggal di rumah kontrakan type 36 di sebuah Perumnas di desa selatan Serpong. Sepeda motor pun dia tak punya. Anak dan istrinya hanya mencoba untuk sabar saja. Secara lisan, dengan suara bergetar, dia bercerita untuk tetap tegar akan semuanya serta berupaya konsisten dan komitmen terhadap apa yang namanya ikatan dina dan pengabdian terhadap nusa dan bangsa. Sudah terlampau banyak rekan-rekan dia yang "melarikan diri" dengan bergabung ke perusahaan swasta maupun bekerja di LN.

Biarlah, katanya, saya akan pegang teguh idealisme saya ini, tukasnya dengan suara bergetar. Namun sorot matanya tidak bisa menyembunyikan kegetiran hidup dan kekecewaan akan begitu rendahnya reward yang dia terima. Saya cuma bisa trenyuh dan gak rela. Dia yang lebih genius dan lebih idealis, mengapa harus mengalami nasib seperti ini. Dalam hati, saya sempat punya "pikiran jahat" untuk "meracuni" dia agar meninggalkan apa yang namanya idealisme, dengan bertindak melarikan diri seperti rekan-rekannya yang lainnya, agar bisa hidup lebih layak. Dirinya mungkin bisa tahan, namun bagaimana dengan anak istri, yang secara manusiawi ingin hidup mapan pula.

Entahlah, perasaan saya saat pulang dari sana berkecamuk hebat. Saya kagum dan salut dengan sahabatku ini, karena di hari gini masih ada orang yang berpikiran seperti dia dengan segala kekonsistenan dan ketegarannya coba menghadapi semua kondisi yang ada sembari fokus ke bidangnya.

Namun hati saya sangat teriris, mengapa orang sepintar dia nasibnya secara materi tak lebih baik daripada para "penjaja syahwat" (makanan, seks, hiburan dll) yang ada di muka bumi ini? Orang se-idealis dia tak kan pernah menuntut banyak. Tapi mengapa sepertinya ia "harus di-zhalimi" dengan kehidupan yang sesungguhnya tak layak untuk dirinya? Wajarlah sudah kalau orang pintar kita banyak yang enggan jadi martir konyol reward yang tak sepadan. Dan mereka gak bisa disalahkan, sebab mereka alah manusia juga. Ada pihak otoritas kita kan dapat menolong memperbaiki kehidupan orang pintar kita, semacam sahabatku ini, minimal dengan memberi reward yang cukup untuk kehidupan yang lebih layak?

Kalau memang tak sanggup, ingin rasanya saya "berjanji" meracuni pemikirannya agar membuang jauh-jauh 9 kata konyol lama (idealisme) dan menggantinya dengan 9 kata smart baru (realistis). Hari gini, tak perlu lagi berpikir masalah pengabdian. Yang perlu cuma take and give. Pengabdian sudah jadi cerita usang, karena yang didapat cuma sakit hati semata. Kecuali kita mau meng-ikhlaskannya semari ebraharp reward yang lebih baik dari Sang Maha Kuasa kelak di hari akhir nanti.

Wassalaam,

Papa Fariz
FS account: boedoetsg@yahoo.com

===================================================================== Dr. Ken Sutanto, Dr.Nelson Tansu, Dr. Yohanes Surya, Dr.Sembel, Widagdo Setiawan, Peter Sahanggamu, Rezi Pradigta, Evelyn Mintarno, Oki Gunawan, Hendra Johnny Kwee, Pratomo Andi, Dimas Yusup, Rizal Fajar Hariadi, I Made Agus Wirawan dari SMUN 1 Bangli =====================================================================

Deretan nama itu tidak hanya sekedar nama diantara 200-an juta nama anak bangsa ini. Secara pribadi mereka bekerja super keras utk mengasah dan mengolah bakat. Dan dalam kebersamaan sbg anak bangsa, mereka mempunyai mimpi dan ambisi luar biasa yg sebagian sudah terwujud. Bravo utk semua, terlebih Dr. Yohanes Surya yang boleh saya anggap sbg Indonesian Idol dalam Nasionalisme yg beda. Pikiran dan mimpi kita mengembara kemana-mana, karena masih ada ribuan orang-orang kelayaban dalam berbagai bidang, yang sebenarnya bersemangat sama dengannya. Dan tentu masih ada jutaan anak-anak "kost" bangsa (maksudnya yg tinggal di Indonesia), dalam caranya sendiri mencoba menghayati Nasionalismenya secara beda dan intens - enerji kohesi sosial yg bernama nasionalime ini mengalami perubahan arti yg beda ketika jaman Sukarno dan Suharto. Mungkinkah ia muncul, mencuat kembali?

Bagaimana komen dan tanggapan anda?

Salam anatomi, refleksi nasionalisme, 17 hari sebelum hari kemerdekaan ke-60

*********************************************************************

(BBCNews/Reuters/Firman/Ghp/M-1). Anak Bangsa di Mancanegara Ilmuwan Terkemuka tidak Kembali

SEORANG pasien dari Indonesia berobat ke Belanda. Di 'Negeri Tulip' tersebut ternyata sang pasien harus menunggu beberapa hari sebelum ditangani dokter. Namun, alangkah kagetnya dia ketika dia mengetahui sang dokter yang ditunggu adalah dokter dari Indonesia yang termasuk salah satu ahli ginjal kelas dunia.

Sebenarnya, kisah anak bangsa yang pintar dan sejajar dengan ilmuwan dunia bukan cerita baru. Jumlah mereka tidak banyak, apalagi jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia. Tapi, yang segelintir ini tersebar di seantero dunia seperti Amerika Serikat, Singapura, Jepang, dan Jerman.

Mereka di antaranya ada yang menjadi siswa asing di perguruan tinggi sekelas Massachusset Institute of Technology (MIT), Stanford University, Princeton University di Amerika Serikat, Nanyang Techonological University, Singapura, hingga Tokyo University di Jepang.

Di sana mereka juga bukan siswa sembarangan. Sebut saja Widagdo Setiawan, Peter Sahanggamu, Rezi Pradigta, yang pernah meraih medali emas dan perak International Physics Olympiad (IPhO) itu. Mereka kini terpilih sebagai tujuh wakil MIT. Tahun lalu, mereka ikut serta dalam kompetisi fisika tahunan antar-universitas di Amerika yaitu Boston Undergraduate Physic Competition. Tentu bukan kompetisi sembarangan, karena peserta lainnya diwakili enam universitas level atas seperti Harvard University, California Institute of Technology, Stanford University, Princeton University, Burkley University, dan Bremmen University dari Jerman. Hasilnya juga tidak jelek. Rata-rata mereka menjawab empat soal dengan sempurna dari enam soal yang ada.

Alumni TOFI lainnya, Evelyn Mintarno, peraih perunggu IPhO 2002 yang kuliah di Stanford University malah menjadi asisten peraih Nobel Fisika 1996, Doglas D Osheroff. Beberapa alumni TOFI yang telah meraih gelar doktor, menurut Yohanes Surya, sudah bersiap pulang. Seperti Oki Gunawan, peraih PhD dari Princeton University atau Hendra Johnny Kwee yang akan meraih PhD-nya di bidang fisika dari College of William and Marry, Virginia Amerika Serikat.
"Saya sarankan agar mereka di sana dulu untuk memperkuat posisi. Kalau mereka punya riset hebat, akan banyak orang Indonesia lain yang ke sana menjadi muridnya. Profesor yang cerdas bisa mendapatkan grant riset. Jumlahnya besar dan ia bisa membiayai siswa lain yang mau belajar. Saya juga minta supaya Nelson Tansu menarik orang-orang Indonesia untuk riset di sana," ujar Yohannes Surya, Ketua Tim Olmpiade Fisika Indonesia.Nelson yang ia sebutkan ialah alumni TOFI yang meraih gelar Phd dari University Wisconsin, Madison, Amerika Serikat tiga tahun lalu, saat usianya masih 25 tahun. Kini, Nelson Tansu menjadi profesor di Lehigh University, Pensylvania, sebuah universitas ternama di bidang teknik dan fisika di kawasan East Coast Amerika Serikat. Dari puluhan riset yang dilakukannya, ia mematenkan tiga penemuan ilmiahnya di Amerika Serikat. Yaitu bidang semiconductor nanostructure optoelectronics device dan high power semiconductor laser.

Menghargai ilmu Riset yang mendapat tempat hingga gaji dunia akademisi yang bersaing dengan gaji di dunia industri menjanjikan sebuah kepuasan intelektual di samping kepuasan materi. Beberapa nama yang tersebut di atas hanyalah segelintir dari anak bangsa yang berjaya di negeri orang dan bersaing di dunia internasional. Masih banyak siswa-siswa lain yang tidak ikut berkompetisi melalui ajang-ajang seperti olimpiade, namun ikut menimba ilmu di universitas bergengsi.

"Universitas seperti Nanyang Singapura, misalnya, rajin sekali mencari siswa ke Indonesia. Mereka banyak memberikan kesempatan beasiswa untuk lulusan sekolah menengah umum di Indonesia," sebut Rosyid Ahmadi, salah satu koordinator olimpiade sains nasional dan internasional dari Dinas Pendidikan Nasional.

Kondisi yang kondusif di luar negeri membuat mereka memilih tinggal dan bekerja di sana. Contoh nyata adalah Ken Soetanto. Pria berusia 54 tahun itu kini menjadi profesor di Waseda University, Jepang. Bukan cuma itu, arek Suroboyo itu meraih empat gelar doktor ketika usianya baru 37 tahun. Soetanto yang bersekolah hingga SMA di Surabaya, bermodal nekat ketika memutuskan untuk menuntut ilmu di Jepang pada 1974.

Saat itu ia tidak bisa berbahasa Jepang. Uang untuk membeli tiket serta biaya hidup beberapa bulan pun didapatnya dari tabungan pribadi selama enam bulan saat menjadi manajer di toko elektronik di Surabaya. Keinginan pemuda yang kala itu berusia 23 tahun, cuma satu, yaitu belajar elektronik di tempat asalnya. Ia sempat pergi ke Osaka untuk belajar bahasa Jepang sebelum melamar beasiswa untuk mahasiswa asing yang ditawarkan pemerintah Jepang.

Impiannya belajar akhirnya terpenuhi ketika namanya lolos pada deretan penerima beasiswa untuk kuliah di Tokyo University of Agriculture and Technology, jurusan teknik elektro. Tak puas sampai di situ, Soetanto melanjutkan program master dan doktornya. Ia meraih gelar doktor bidang teknik di Tokyo Institute of Technology pada 1985 dan bidang kedokteran di Tohoko University tiga tahun kemudian. Beberapa tahun kemudian, ia meraih gelar doktor bidang farmasi di Science University of Tokyo.

Sempat hengkang dari Jepang, Soetanto tercatat sebagai associate profesor di Drexel University dan Thomas Jefferson University, Philadelphia, Amerika Serikat. Terakhir, ia memperoleh gelar doktor di bidang pendidikan dari Waseda University.

Di luar prestasi akademik, pria yang masih berkewarganegaraan Indonesia itu sempat tercatat sebagai komite pengawas di Japanese Ministry of Economy and Industry. Buah pemikirannya tertuang dalam 31 paten internasional yang tercatat resmi di pemerintah Jepang. Bagi Jepang, Soetanto merupakan aset bernilai tinggi yang dihargai Rp12 miliar per bulannya.(CA/M1)

* * *

Berharap dari Kelas Super Indonesia

TAHUN 2020 nanti Indonesia akan meraih nobel, kalimat optimistis itu dilontarkan Yohannes Surya, kepada Media, akhir pekan lalu. ''Lihat saja prestasi anak-anak kita beberapa tahun terakhir di ajang olimpiade sains internasional,'' ungkap ketua Tim Olimpiade Fisika Indonesia itu.

Boleh jadi sang profesor ada betulnya, sebab prestasi cemerlang yang diraih putra bangsa ini bukan faktor kebetulan, melainkan lewat penggodokan yang memakan waktu berbulan-bulan dalam hitungan belasan jam tiap harinya.

China salah satu negara yang sukses melakukan pembangunan dengan mengirimkan pelajarnya menuntut ilmu di luar negeri. Pada era 80-an, seribu pelajar dikirim pemerintah China setiap tahunnya. Satu dekade dari masa itu, hampir setiap perguruan tinggi di Amerika memiliki profesor asal negeri Tirai Bambu. Mereka kemudian membawa lebih banyak lagi pelajar, selesai pendidikan mereka membangun negaranya, tengok saja Shanghai dan Beijing yang mengalami kemajuan pesat.

''Saya ingin Indonesia bisa seperti itu,'' kata Yohannes Surya, berangan-angan.
Dengan fasilitas yang diberikan pemerintah, tahun ini Yohannes menggagas sebuah kelas khusus tingkat sekolah menengah atas (SMA) dengan 30 siswa yang ber-IQ (intelligence quotient) tinggi, rata-rata tingkat IQ-nya 150 atau yang sangat berbakat.

Di kelas itu mereka dilatih secara istimewa namun tidak mengekang minat, siswa-siswa itu tidak perlu memikirkan soal biaya, sebab semuanya gratis. Pengajar mereka ialah para doktor yang dibayar oleh perusahaan otomotif BMW. Materi yang akan diberikan yakni materi perguruan tinggi setingkat S-1 dan S-2. Diharapkan dengan persiapan khusus sejak dini, mereka akan mampu bertarung di dunia akademisi internasional, meraih gelar PhD.

''Kalau sudah begitu, mereka akan disukai profesornya dan mudah mendapat beasiswa, strategi kita tajam. Kita siapkan anaknya untuk dimasukkan ke universitas yang memiliki peraih nobel. Bisa jadi mereka dapat nobel, karena peraih nobel biasanya murid peraih nobel sebelumnya,'' papar Yohannes lagi.

Ke depan, pria berambut lurus ini punya obsesi kelas-kelas khusus seperti itu dapat diadopsi di daerah lain, misalnya di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Papua dan kota-kota lain di Jawa.
Dia juga mengakui selama ini penjaringan anak-anak berbakat itu masih tergantung kepada pemerintah. Tidak hanya fisika, tapi juga bidang lain seperti matematika, biologi, kimia, komputer, dan astronomi. Umumnya, seleksi dimulai dari kabupaten berlanjut ke jenjang provinsi hingga nasional. Caranya setiap sekolah mengirimkan wakil terbaiknya yang didapatkan dari seleksi. ''Prosesnya bisa memakan waktu lama,'' ungkapnya. Seleksi tim olimpiade komputer Indonesia (TOKI) misalnya, memakan waktu sekitar delapan bulan sebelum akhirnya menemukan empat wakil yang akan diberangkatkan Agustus mendatang.

Peraih medali perunggu pada International Biology Olimpiad (IBO) 2005, Pratomo Andi juga mengakui, untuk olimpiade biologi sebelumnya diadakan seleksi awal di sekolah masing-masing. ''Sebab banyak yang mau ikut,'' kata pelajar SMAN 1 Purwokerto, Jawa Tengah.Bahkan tidak sedikit pula sekolah yang asal comot berdasarkan peringkat kelas. Yohannes menilai langkah seperti itu tidak efektif sebab belum tentu sang juara berbakat.
''Untuk kasus Fisika, yang berbakat biasanya malah tidak juara di kelasnya. Bedakan antara genius dan rajin. Untuk meraih medali olimpiade dibutuhkan siswa yang genius dan rajin,'' tambah Yohannes.

Ia mengaku pernah melakukan tes terhadap sejumlah siswa kelas dua SMA pemegang ranking lima besar di kelasnya, ternyata IQ tertinggi hanya 112. ''Yang IQ-nya 150 nggak kejaring karena mereka bukan lima besar. Artinya, sistem pendidikan kita belum bisa mengakomodasi siswa genius. Makanya untuk kelas super yang akan dimulai Agustus mendatang itu, saya memberikan tes untuk 5000 siswa. Jadi siapa saja boleh ikut,'' tegas Yohannes. (CA/*/M-3).

* * *

'Quo Vadis' Genius Indonesia

SEMBILAN anak muda yang tengah berkumpul di ruangan berwarna krem itu terlihat ceria, beberapa di antaranya terus sumringah. Jumat (22/7) siang itu, boleh jadi hari yang menyenangkan bagi mereka. Tetapi bukan karena para pelajar ini hendak bertatap muka langsung dengan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas), atau akan menerima uang dari Pak Menteri, berkisar sekitar Rp5 juta sampai Rp10 juta. Yang jelas, para putra bangsa peraih First Step to Nobel in P hysics, International Physics Olympiad, dan International Biology Olympiad dan International Mathematics Olympiad itu, merasa bangga telah berprestasi mengusung nama Indonesia di kancah internasional, tahun ini.

''Prestasi siswa Indonesia di ajang internasional sudah cukup baik meskipun persiapan seadanya. Akan lebih baik kalau kita siapkan secara intensif,'' ujar Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas), Bambang Sudibyo, saat itu.

Mereka cerdas dan belia, beberapa di antaranya masih harus menyelesaikan tahun terakhirnya di sekolah menengah atas (SMA). Lainnya bersiap mengikuti perkuliahan di dalam dan luar negeri.

''Dari enam siswa yang berangkat ke IMO--International Mathematics Olimpiad--kemarin, tiga di antaranya sudah di Nanyang Technological University, Singapura. Dua orang akan kuliah di Massachusetts Institute of Technology dan Illinois University,'' kata dosen matematika ITB yang juga menjadi leader Tim Olimpiade Matematika Indonesia, Ahmad Muchlis.Tetapi ada pula di antara mereka yang masih harus menunggu pengumuman hasil seleksi sistem penerimaan mahasiswa baru (SPMB), yakni Dimas Yusup, alumni SMA Negeri 10 Samarinda, Kalimantan Timur. ''Harusnya, kampus bisa lebih membuka diri untuk anak-anak berbakat itu,'' ungkap leader Tim Olimpiade Biologi yang juga mengajar di Jurusan Biologi ITB, Agus Dana Permana.

Padahal, universitas di negeri jiran, seperti Nanyang Technological University Singapura hingga universitas sekelas Massachusetts Institute of Technology, Amerika Serikat, bersenang hati membuka jalan lebar untuk siswa berotak encer.

Ibaratnya, siswa-siswa cemerlang itu seolah warga istimewa di negeri orang, berhak atas pendidikan terbaik tanpa biaya. ''Sekarang ini memang tak ada pilihan buat Indonesia, karena pendidikan tinggi khususnya tingkat pascasarjana masih jauh lebih baik di luar negeri,'' kata Oki Gunawan, yang sedang merampungkan tahun terakhir riset untuk program S-3 di bidang Electronics Material Device di Princeton University, Amerika Serikat.Alumni Tim Olimpiade Fisika Indonesia 1993 itu menilai, 'jagoan' berotak encer asal Indonesia itu akan menjadi 'tabungan Indonesia' di masa depan. Karena itu,menempa anak muda Indonesia sehingga memiliki kesempatan belajar yang lebih baik di luar negeri tidak akan merugikan.

Senada dengan, humas Tim Olimpiade Komputer Indonesia (TOKI) Fauzan juga mengatakan fokus TOKI lebih kepada bagaimana caranya agar lebihbanyak lagi siswa yang mengikuti dan berprestasi di olimpiade komputer. ''Kita sekarang baru mencetak dulu, bagaimananya nanti ya tergantung mereka mengembangkan diri untuk negeri ini,'' katanya. Karena, tambah Fauzan, pemanfaatan IT (informatic technology) itu sangat luas, jadi tidak akan memaksa mereka untuk menjadi scientis atau praktisi. Mereka cuma diberi bekal dan terserah mereka akan ke mana dan bagaimana mengembangkannya.

Tetapi persoalannya, mengembangkan diri di dalam negeri kerap terganjal kendala peralatan yang diperlukan sangat banyak, mahal dan kurangnya tempat yang memadai.
Apa boleh buat, akhirnya orang-orang genius dari Bumi Pertiwi ini memilih melakukan riset di luar negeri, seperti yang dilakukan OKI Gunawan.

Walau begitu, pria yang kini meneliti komponen elektronika berskala Nano itu akan turut serta membantu mengembangkan TOFI, dan ingin terlibat di Nano Center, pusat riset yang baru didirikan oleh Yohannes Surya.

Dengan caranya sendiri, Oki dan teman-temannya mengusahakan sesuatu untuk kemajuan Indonesia. ''Kami ini alumni TOFI tertular semangat dan antusiasme Pak Yo--Yohannes Surya--yang sempat menggunting green card dan memilih pulang ke Indonesia,'' tegas Oki. Apalagi ungkapnya, olimpiade merupakan saat untuk berkompetisi melawan negara-negara lain, jadi dipacu untuk memberikan yang terbaik buat Indonesia baik sebagai siswa atau pelatih.
Untuk target nobel fisika pada 2020, mereka merancang riset di Princeton untuk kemudian dikerjakan alumni TOFI yang masih duduk di bangku kuliah di Indonesia. ''Anak-anak Indonesia tidak kalah, bahkan yang berasal dari keluarga miskin sekalipun. Yang penting harus ada akses yang wajar untuk pendidikan yang bermutu,'' tambah Oki. (CA/*/*/M-3).

* * *

Berbaur dengan 30 Peraih Nobel

MUMET (pusing) tetapi Rizal Fajar Hariadi menikmati proses pengerjaan mikroskop untuk molekul tunggal (Mumet) tanpa rasa pusing. Betapa tidak, pengalamannya berhadapan dengan soal-soal fisika lebih dari delapan tahun silam telah menempanya menjadi tangguh.

Kelak, mikroskop optik dengan pembesaran 1.000 kali yang memanfaatkan cahaya--bukan elektron seperti umumnya--yang tengah dikerjakannya itu, bisa menjadi rekor dunia.Itulah kegiatan yang tengah digarap alumni Tim Olimpiade Fisika Indonesia (TOFI) 1997 ini. Karya Rizal ini dirancang mampu melihat cara kerja molekul beberapa enzim yang bekerja seperti mesin di tubuh manusia.

Siapa sangka pria muda berkaus abu-abu dan bercelana jins, punya kemampuan luar biasa. Tetapi nyatanya, delapan tahun silam dia sudah meraih satu medali emas untuk eksperimen dan satu medali perak untuk teori di ajang Euro-Asia Physics Competition (EAPhC) di Turki. Kemudian ia berkesempatan kuliah S-1 jurusan biokimia di Washington State University.

Tiga tahun silam, putra pasangan Muhammad Amin dan Suhartati itu meraih Honorable Mention 'USA Today' All Academic Team. Kini, peraih tiga besar dalam Apker Award --semacam lomba fisika untuk mahasiswa se-USA 2003-- itu, tengah merampungkan studi untuk mendapat gelar PhD bidang DNA Nanotechnology di California Institute of Technology (Caltech), Amerika Serikat. ''Kelihatannya saja kok yang hebat. Padahal masih banyak yang lebih baik daripada saya,'' ujarnya merendah ketika ditemui Media, Kamis (21/7) lalu di SMU Al Azhar Jakarta.

Prestasi suami dari Nurul Iqtiyah ini memang tidak main-main, dalam bidang yang ditekuninya, ia mendapatkan beasiswa Prof Erik Winfree. Padahal, Caltech, kampusnya saat ini bukanlah universitas kacangan. Terdapat 30 orang peraih Nobel dan segudang peraih penghargaan lain berkumpul di kampus itu. ''Ada kelas-kelas yang sulitnya minta ampun. Kadang-kadang profesornya sendiri sampai minta maaf karena PR-nya (pekerjaan rumah) terlalu susah. Tapi biasanya, kalau sudah begitu, besok-besoknya kita hanya diberi PR dengan dua sampai tiga soal saja,'' ujarnya sambil tersenyum.

Meski mengaku merasa kesulitan, pria berusia 26 tahun itu mampu menjadi asisten Prof Rob Philips dalam kelas Physics of Biological Structure and Function. Salah satu murid dalam kelas tersebut, David Politzer, peraih Nobel Fisika 2004.
''Ah, itu kebetulan saja karena jarang yang mendalami aplikasi fisika untuk biologi. Tidak banyak pilihan bagi Prof Rob Philips dalam memilih asistennya. Saya betul-betul senang dapat bekerja sama dengan orang yang saya kagumi,'' ujar Rizal merendah.

Berawal dari Prof Erik Winfree yang membuat pola dalam struktur kecil menggunakan DNA pada 1998, sejak itulah Rizal memfokuskan diri ke bidang DNA Nanotechnology.
''Apa mau dikata, kesempatan pengembangan sains terbuka sangat lebar di sini. Saat ini, saya bersama Oki Gunawan dan Hendra yang juga alumni TOFI sedang memikirkan cara supaya anak-anak pintar di universitas dalam negeri bisa melakukan penelitian dan memiliki jiwa peneliti. Saya juga lagi berusaha mencari cara untuk bisa membawa mahasiswa Indonesia ke Amerika pada musim panas nanti,'' sebutnya.
(CA/*/M-3).

1 comment:

daim ito said...

saya ini sangat ingin bisa menempuh pendidikan di jerman dalam bidang teknik sipil&energi karena saya hidup untuk mengejar ilmu setinggi mungkin,tetapi saya tidak ada biaya.. apakah bapak bisa membantu saya??gistype