Sunday, June 10, 2007

Idealisme seharga es bon-bon

Posted: 26 Februari 2007

Assalaamu 'alaikum,

Kebetulan ada beberapa email yang masuk via japri tentang keprihatinan akan kisah sedih anak bangsa yang genius. Saya sendiri saat bertemu sahabat saya itu, speechless. Senang bercampur sedih. Senang karena 7 tahun tidak bersua dengan sahabat yang dulu banyak menolong saya di negeri sakura. Sedih karena prihatin dengan kondisinya.

Tinggal di remote area, di antara galian pasir dan di sebuah rumah petak Perumnas, sudah cukup membuat hati trenyuh. Sepeda motor pun tak punya. Di rumahnya pun gak ada perabotan, makanya saat bertandang saya lenggah di bawah dan sang tuan rumah sempat berkata, maaf gak terpaksa lesehan. Entahlah, cuma rasanya hati ini gak rela aja, orang sepintar dan seidealis dia kok "hidupnya kurang layak". Orang se-idealis temanku itu gak akan minta macam-macam. Tapi alangkah baiknya kalau kesejahteraannya juga diperhatikan.

Mungkin dia masih bisa tahan, namun bagaimana dengan anak dan isterinya? Hal manusiawi kalau keluarganya ingin pula bisa hidup cukup tanpa perlu berlebih.Ilmuwan juga manusia, brur. Kalau dia mau, mungkin saya bisa info-kan dia, bahwa Malaysia sedang mengembangkan teknologi pesawat terbang. Konon banyak mantan IPTN yang dibajak ke sana dengan gaji besar. Tak terhitung juga para pakar IPTN yang akhirnya "melarikan diri" ke Boeing dll, demikian penuturan seorang teman saya yang lain, yang kakaknya hingga kini masih bekerja di IPTN.

Mereka dulunya ada yang orang-orang idealis. Namun akhirnya meeka menyerah pada realita. Hari gini memang susah jadi orang idealis. Yang ada dan harus dikembangkan adalah prinsip take and give. Suka atau tidak, lambat laun "keranjang sampah" akan penuh dengan kata-kata idealis.

Sebenarnya, saya banyak menemui rekan seangkatan maupun seniornya, yang kini bekerja di instansi swasta maupun di luar negeri. Sekalipun banyak di antara mereka yang orang-orang alim, berjanggut ataupun bercelana setinggi betis, toh mereka masih sanggup untuk tidak memperdulikan apa yang namanya loyalitas, pengabdian, ikatan dinas dan segala tetek bengek lainnya. Lantas mengapa sahabat saya ini masih harus peduli, meski dia harus rela hidup "pas-pas-an"?

Di jalan pulang, Bapak yang mengantar saya dengan mobilnya ke sana, turut trenyuh pula. Saya berikan dia satu pertanyaan, "Mana yang Bapak pilih, S-3 dengan idealisme, namun kehidupannya seperti tadi ataukah es bonbon tapi hidup lebih lumayan?". Pilihannya adalah es bonbon. Ya, pada akhirnya harga idealisme, jatuh sampai seharga Es Bonbon. Semoga akan ada perbaikan akan kesejahteraannya khususnya, dan perbaikan akan kondisi para ilmuwan kita di masa depan.

Wassalaam,

Papa Fariz
FS account: boedoetsg@yahoo.com

No comments: