Posted private: 27 Februari 2007
Assalaamu 'alaikum,
Trims banget atas komentarnya. Saya setuju dengan pendapat sampeyan serta hikmah dari kehidupan teman sampeyan yang sampeyan kan utarakan. Namun kasusnya di sini agak beda Mas. Untuk teman sampeyan, beliau sudah mendapatkan ketenangan jiwa, karena memang secure untuk masalah ekonomi. Ditambah lagi mungkin latar belakang beliau yang memang religius. Namun gak semua orang, yang belum mendapatkan secure ekonomi, bisa mampu konsisten dan bertahan seperti Teman sampeyan. Karenanya, Rasulullah pun mewanti-wanti, bahwa kefakiran itu menyebabkan kekufuran.
Sudah berapa banyak contoh di dunia realita, bahwa banyak orang yang rela menggadaikan akidah karena keterbatasan ekonominya. Weww, saya sendiri sudah bosan dengar itu. Bahkan sampai driver saya sendiri di Jakarta, sempat bilang ke saya, saat dia mengantar tamu yang lain, acap kali dia harus masuk tempat maksiat, bergaul dengan kehidupan malam serta kadang suruh beli ecstasy.
Hati kecilnya gak bisa nerima dan nangis, hanya dia bilang ini tuntutan hidup. Usaha paling kecil untuk selamat, ya dia gak ikutan memakai, atau gak larut bersama wanita nakal karena ingat anak istri. Itu saja sudah berat. Kalau ada kerjaan lain yang bisa menghidupi dia, tentulah kerja yang ini akan dia tinggalkan.
Saya juga ingat, seorang ibu tukang sayur dulu di rumah saya, ternyata telah menjadi kristiani. Mengapa? Karena ketika dia sakit dan terlunta- lunta di Jakarta, pihak gereja yang menolong. Kini anaknya pun disekolahkan mereka. Akhirnya sebagai balas budi, dia masuk kristiani. Berapa banyak yang masuk kristiani karena menggadaikan akidahnya demi mengganjal perutnya.
Itu lah dunia realita. Kalau teman sampeyan bisa tenang dan beramal, itu karena nikmat dari Allah karena dia sudah secure masalah ekonomi. Karenanya, secara pribadi, saya alergi dengan pendakwah yang cuma mengajarkan moral semata, tapi tidak membimbing umatnya agar secara ekonmi lebih baik. Sampeyan liat sendiri kan bagaimana para pelaku bom di tanah air? Secara gak langsung itu karena faktor ekonomi pula.
Tentang teman saya pribadi, ceritanya panjang Mas. Dan saya liat teman-teman dia, yang sekali pun PKS, toh pada cabut juga, tanpa peduli apa yang namanya idealisme, ikatan dinas dll. Itu kan suatu pengingkaran janji juga. Sudah kosekuensinya kalau milih ke situ ya nantinya harus mengabdi. Namun mengapa lantas cabut? Dia mencoba konsisten dan gak iri, namun andaikan dia atau keluarganya kecewa, itu adalah hal yang manusiawi. Mungking latar belakang serta ke-Muhammadiyah-annya yang membantu dia mencoba konsisten.
Saya sudah bosan Mas, ketemu teman-teman dia di pelbagai instansi swasta. Ada yang cuma jadi interpreter. Kalau cuma jadi interpreter, ngapain belajar metalurgi, kimia dll ke negeri sakura. Kirim aja orang sastra Jepang. Ada yang jadi purchasing dll, yang penting gaji gede. Salahkah mereka? Mereka ini orang-orang alim, namun yang dilakukannya manusiawi juga karena mereka butuh yang namanya kesejahteraan. Mereka makan nasi dan bukan idealisme.
Sebenarnya yang ingin saya sampaikan via cerita itu adalah:
1. Perlunya reward yang seimbang buat mereka yang mencoba mengabdikan diri. Orang idealis gak macam2, mereka gak menuntut rumah gede dll. Cukup hidup layak, dan biarkan mereka konsen mengabdi untuk bangsanya. Dan ternyata langkah Pemerintah belum cukup.
2. Masih ada di zaman sekarang orang yang konsisten dan kommit, meski "kurang dihargai". Idelisme masih hidup dan terus tumbuh, dan dari orang seperti inilah kita bisa belajar membangun bangsa. Barangkali yang lain jadi tergugah untuk membangun bangsa.
3. Teguran gak langsung untuk teman-teman "ikatan dinas" yang melarikan diri dari perjanjiannya dan resiko memilih PNS. Tapi ini up to them.
Oh ya, sampaikan salam hormat saya kepada teman sampeyan. Saya terkesan dengan gaya hidup sederhana beliau, namun saya lebih terkesan dengan upayanya menjadi donatur. Akan lebih bagus lagi kalau beliau bukan cuma memberikan ikan, tapi memberikan pancing, alias menggerakkan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja yang luas dll. Amal yang seperti ini agaknya, IMHO, lebih afdol. Hidup bergaya sederhana saja gak cukup, karena itu cuma untuk kepentingan pribadi. Tapi kalau diri kita bisa bermanfaat untuk orang lain, apalagi umat, itu akan lebih baik.
Wassalaam,
Papa Fariz
FS account: boedoetsg@yahoo.com
No comments:
Post a Comment