Posted: 20 Juli 2006
Assalaamu 'alaikum,
Kalau anda sempat mampir atau tinggal di negeri Sakura beberapa lama, jangan kaget apabila
kenikmatan anda saat menonton TV terganggu oleh newsbar di bagian atas TV disertai dengan
bunyi-bunyi penarik perhatian. News bar di bagian atas TV (bukan di bawah itu) berisi tentang
informasi gempa yang terjadi beberapa menit lalu, di daerah mana dan berapa kekuatannya,
disertai notice simple bakal terjadi atau tidaknya tsunami.
Jepang memang belajar banyak banyak dari kejadian 35 tahun lalu. Saat itu, di tahun 1961,
terjadi gempa bumi terbesar dalam catatan sejarah manusia, yang berpusat di Chile. Gempa ini
memicu tsunami, namun tsunami itu harus mengarungi luasnya Samudera Pasifik, dan baru sampai
di pantai Jepang puluhan jam kemudian. Karena gak ada peringatan apa pun, akhirnya terjadilah
korban dan kerusakan yang tidak sedikit. Rakyatnya meradang, bagaimana mungkin, kejadian
yang terjadi berpuluh jam laut, di belahan dunia lain, tidak bisa diduga efeknya dan tidak bisa
diinformasikan warning-nya kepada para warganya.
Bagaimana dengan di Indonesia? Seharusnya tragedi Tsunami Aceh yang terjadi pada Desember 04,
sudah lebih dari cukup untuk menjadi pembelajaran bagi kita semua. Waktu itu, Pemerintah masih
bisa dimaafkan, karena kita semua masih terlalu lugu dan naif untuk mengerti apa yang namanya
Tsunami itu. Orang tidak tau, memang berhak untuk berdalih agar tidak disalahkan. Namun waktu
sudah berjalan hampir 2 tahun, mengingat dampak Tsunami yang begitu dahsyat, negara seperti India,
Thailand dll, telah tuntas membangun apa yang disebut early warning system. Tapi kita? Boleh jadi
gak ada dana, karena dana taktis sosial saja, sudah habis terkuras oleh pukulan bencana alam yang
bertubi-tubi. Boleh jadi semua itu terhambat karena tak ada koordinasi yang baik dan birokrasi
yang njlimet. Entahlah, sampai kapan penerapannya akan terwujud di sini.
Satu hal yang menggelikan, dalam kasus Pangandaran kemarin, ternyata Pemerintah kita sudah tau
bahwa Tsunami akan terjadi, dan saat itu adalah 45 menit sebelum Tsunami terjadi. Menristek,
yang juga mantan petinggi kampus Bandung, secara gamblang mengakui bahwa informasi bakal
Tsunami itu datang dari BMG Jepang dan Pacific Tsunami Warning Center (PTWC). Lantas mengapa
tidak disampaikan ke publik? Alasannya simpel saja. Pemerintah kuatir informasi tersebut tidak akurat
dan hanya menimbulkan kepanikan belaka di masyarakat. Alasan keduanya, gak tau gimana caranya
agar informasi tersebut bisa sampai ke orang-orang yang berada di tempat kejadian langsung.
Lho kok gitu yahh Pak Menteri? Bukankah BMG Jepang dan PTWC itu sudah diakui kredibilitasnya
dalam menangani ratusan kasus Tsunami di Pasifik, yang terjadi selama puluhan tahun belakangan ini?
Apakah Pemerintah mau bertanggung jawab secara moral andaikan ada pihak di masyarakat yang
menuntut kelalaian pihak penguasa untuk menyebarkan berita maha penting itu selekas-lekasnya?
Andaikan berita itu segera disampaikan, boleh jadi nyawa ratusan orang tak akan hilang dengan sia-sia.
Ataukah kita selalu ingin bersandar pada teori nasib tanpa ikhtiar dengan mengatakan itukan memang
sudah takdirnya ke-500 orang tersebut harus mati hari itu, meskipun gak ada Tsunami hari itu?
Please dong ahh, jangan "ngawur" gitu ngawurnya saya kasih tanda cling-cling, biar saya gak "dimarahi").
Apakah belum adanya dan belum tau gimana caranya penyampaian informasi, boleh dijadikan sebagai
excuse agar dimaafkan dari tanggung jawab moral? Kenapa yah kita gak berpikir secara smart untuk
memanfaatkan teknologi TV, telepon dan radio, untuk menginformasikan sesuatu, semisal seperti
yang terjadi di Jepang. Kepada orang yang ada di tempat kejadian, bukankah bisa diumumkan lewat
corong speaker mushalla dll. 45 menit bukan waktu yang singkat dan bukan waktu yang lama.
Di harian Today Singapore, edisi kemarin, ditulis gempa terjadi pukul 15.19, dan Tsunami baru
mencapai pantai Jawa pukul 16.15. Di head line nya ditulis, "Again, death came without warning".
Entah itu judul biasa ataukah sebenarnya sebuah sindiran buat kemalasan kita untuk bertindak?
Tapi memang belakangan ini, bencana yang menimpa kita tergolong luar biasa. Ibaratnya kita ini
petinju yang sedang terhuyung-huyung dihujani beragam pukulan jab, upper cut, hook dan mungkin
kini pukulan strike siap menghunjam untuk membongkar pertahanan double cover kita.
Akankah kita mencium kanvas nantinya, ataukah kita terselamatkan oleh bel untuk kemudian segar
kembali dan justru bangkit memenangkan pertarungan? Entahlah Wallahu alam bissawab.
Apakah bencana ini ujian/cobaan, peringatan ataukah azab dari Sang Pencipta? Wallahu 'alam bissawab.
Mengapa bencana itu datangnya bertubi-tubi belakangan ini, hingga tidak cuma menguras air mata kita,
melainkan juga menguras kantong kita semua? Wallahu 'alam bissawab.
Memang ada baiknya kita intropeksi diri lagi, kalau susah sebagai bangsa, ya sebagai individu,
dimulai dari diri sendiri, dari saat ini dan dari hal-hal yang kecil-kecil.
Saya jadi ingat, jawaban seorang ustadz kondang dari Geger Kalong, saat ditanya kenapa tanah air
kita terus-menerus dilanda bencananya. Jawab yah, kita semua sudah tau penyebabnya. Di sini,
yang maksiat saja dibela. Demikian kata beliau dengan meninggalkan interperestasi kepada para pendengarnya.
Namun apa jawaban yang keluar dari seorang paranormal yang senang berpakaian hitam-hitam, dan kini
berstatus sebagai anggota DPR dari partai terbesar kedua di bumi pertiwi? Entah bercanda atau tidak,
jawaban yang disampaikan dengan dingin, datar dan tanpa ekspresi, pada sebuah wawancara di radio
swasta ibukota, 2 hari lalu, adalah bahwa semuanya ini disebabkan karena Kanjeng Ratu Kidul ngamuk
karena ada pihak-pihak yang sangat ingin memaksakan implementasi RUU APP. Soale kalo RUU itu
berubah jadi UU dan diterpakan, Kanjeng Ratu Kidul gak bisa pakai kemben lagi nantinya.
Gerrrr, ngawur aja...Sang penyiar radio sampai tertawa terpingkal-pingkal tak mampu meneruskan
wawancaranya karena perutnya sakit tertawa geli. Edan, Gendeng, Ngawur, Gelo dan teman-temannya...
Yoo wesss, jangan ngikut-ngikut jadi ngawur juga lah...
Wassalaam,
Papa Fariz
No comments:
Post a Comment