Saturday, June 9, 2007

Sediakan payungmu sebelum sang hujan datang melanda

Assalaamu 'alaikum,

Sepanjang perjalanan ke tempat peraduan burung besi, awal minggu ini, bundanya anak-anak
terus bercerita tentang seorang sahabat wanitanya yang juga rekan sekerjanya.
Hari ini dia (wanita itu) terlihat lain dari biasanya. Matanya sembab, seperti orang habis
menangis semalaman. Terkadang dia tertawa sendiri, lantas tiba-tiba menangis. Kerap kali
untuk hal-hal yang kecil, dia marah-marah dan teriak-teriak sana-sini. Teman-teman lainnya
banyak yang menghindari dia untuk sementara waktu, karena belum berani untuk datang
dan mencoba menghibur.

Yang jelas, doi baru saja kecewa karena untuk kesekian kalinya gagal dalam ujian kenaikan
golongan. Pengabdiannya selama lebih dari 10 tahun serasa hampa tidak dihargai oleh BUMN
tempatnya bekerja. Memang ketidaklulusan itu tidak membawanya pada konsekuensi dipecat
dari tempat kerja. Namun, itu berarti golongannya tidak akan meningkat, dan itu berarti gajinya
tidak akan bertambah. Lantas, bukankah wanita tidak wajib kerja, dan mengapa dia harus
susah payah akan hal ini? Usut punya usut, lanjut bundanya anakku, ternyata baru minggu lalu
dia mendapat kabar bahwa suaminya terpaksa dirumahkan, karena perusahaan tempatnya
bekerja sudah tinggal menghitung hari untuk tertinggal namanya saja.

Yahh, aku ingat, aku memang pernah mendengar dari seorang client-ku, bahwa ada satu perusahaan
pem-produksi tabung TV di bilangan Jababeka, Cikarang, yang dengan terpaksa menutup pabriknya.
TV tabung kini sudah bukan jamannya lagi. Ke depan, orang akan beralih ke TV Plasma maupun
TV LCD yang kualitas gambarnya lebih menjanjikan, meski kini harganya belum terjangkau,
boleh jadi sebentar lagi harganya akan turun dan dapat dinikmati oleh banyak orang.
Yang membuat risau, mungkin karena statusnya sebagai seorang supervisor di sana. Padahal,
semuanya tau, di Indonesia, kini tak ada lagi investor baru yang berniat membangun pabrik,
terutama untuk produk yang berkaitan dengan elektronika. Aiwa collapse, disusul Sony, kemudian
sub-con dari Pioneer, boleh jadi bakal menyusul sub-con maupun justru perusahaan besar sendiri.

Lapangan kerja begitu sempit, sementara setiap tahun universitas terus-menerus mengeluarkan produk
alias lulusannya yang entah kemana bakal ditampung. Yang hanya memiliki skill rata-rata boleh jadi
akan terlindas oleh kerasnya jaman dan persaingan di sana. Bahkan kini ada sebuah client yang
akan memotong 60% dari karyawannya, alias membuang 1800 orang. Namun sangat sedikit dari
karyawannya yang berusia tidak muda lagi, alias di atas 40 tahunan, untuk mau mengambil paket
pensiun dini tersebut. Sudah telanjur kredit rumah, motor dll, inilah yang merisaukan mereka.
Sementara kalau diambil, mau cari kerja di mana lagi?

Buka warung, mungkin solusi terakhir yang instant namun bisa menyelamatkan. Namun kini jumlah
warung di kawasan pemukiman, seperti dekat rumahku, sudah berjibun. Di satu RT ada banyak
warung, sehingga kadang kita "risih" harus beli di warung mana. Biasalah, rasa ewuh pakewuh,
karena mereka semua tetangga juga. Tapi aku jadi puyeng kalau memikirkan gimana mereka bisa
untung, sedangkan marketnya segitu-gitu saja. Apa hendak dikata, inikah cara untuk survive, dan
itu lebih baik daripada tidak sama sekali. Alternatif lain yang kadang terpaksa ditempuh adalah
jadi sopir taksi atau tukang ojek.

Tiap bulan, kalau kuperhatikan, ojek di depan rumah memang selalu bertambah, dengan hadirnya
wajah baru kurang dikenal. Saban aku tanya ke ojek lama, jawab mereka, biasalah Pak, ada
perusahaan yang baru bangkrut. Memang sejujurnya, ojek lama "sedih", karena itu berarti mereka
harus berebut periuk nasi dengan lebih banyak orang. Tapi mereka juga mau berbagi rejeki,
karena, kata mereka, masak sih orang cari nafkah mau dilarang. Ya gimana lagi, ucap mereka pasrah.

Kondisi sulitnya lapangan kerja di atas, sehingga belum tau setelah di PHK nanti harus kemana,
mungkin boleh jadi salah satu penyebab kegundahan teman kantor bundanya anakku.
Namun lebih dari itu, aku pribadi jadi merenung jauh. Keadaan yang kita nikmati itu terkadang
bisa berubah tanpa mengucapkan salam terlebih dahulu kepada diri kita. Hidup yang tadinya nyaman
bisa tiba-tiba berubah. Hidup yang tadinya enjoy bisa jadi seperti di "neraka". Ada pula yang "beruntung"
mengalami hal yang sebaliknya. Namun terkadang kita tidak merasakan keberadaan nikmat yang
kita alami saat ini. Terkadang kita jadi lupa untuk bersyukur kepada-Nya atas semua kemurahan-Nya.

Kata Imam Syafi'i, nikmat itu akan terasa apabila dia sudah tidak ada. Kita baru merasakan nikmatnya
sehat ketika kita jatuh sakit. Kita baru merasakan nikmatnya makan setelah kita tau bagaimana rasanya
menahan lapar itu. Namun nikmat bisa hilang begitu saja, tanpa mengucapkan permisi kepada si empunya.
karena itu nenek moyang kita mengajarkan falsafah sedia payung sebelum hujan. Takdir memang kuasa
Allah semata, dan kita tidak boleh merutukinya. Kewajiban seorang makhluk adalah berupaya semaksimal
mungkin untuk mendapatkan yang terbaik, karena takdir dan rejekinya sudah digariskan oleh-Nya.

Satu hal yang harus kita camkan, adalah bahwa kita harus selalu berbaik sangka kepada-Nya, sekalipun
suatu ketika ujian akan datang menimpa kita. Kita harus yakin bahwa Allah Maha Adil, dan dia punya
rencana lain terhadap diri kita dan untuk kebaikan kita, selama kita berada di jalan-Nya dengan istiqamah.
Tapi, sebagai makhluk, yang selain dipenuhi akal, juga dipenuhi oleh hawa nafsu, banyak manusia yang
ketika diberi cobaan berupa keburukan dan kemiskinan, tidak sedikit yang berkeluh kesah. Tapi ketika
diberi cobaan berupa kesenangan dan kekayaan, dia menjadi lupa diri dan lupa daratan. Peristiwa yang
menimpa Qarun bolehlah dijadikan satu contoh nyata. Dari nama Qarun-lah, segala harta yang terpendam
di dalam tanah dijuluki harta karun.

Kisah yang dialami oleh sahabat isteri merupakan fenomena yang acap terjadi di antara kita, yang mungkin
suatu ketika akan kita alami (semoga tidak). Sanggupkah kita untuk bersabar dan untuk menerimanya
andaikan hal itu terjadi pada kita? Sungguh berat, dan amat berat, andaikan kita mengalaminya sendiri,
dan belum tentu kita akan lebih kuat dan berpikir lebih jernih untuk bisa bersikap tabah dan sabar.
Bersyukurlah dengan nikmat yang kini kita alami, berupaya semaksimal mungkin, karena itulah kewajiban kita.
Dan berdo'a dan mohon ampunlah kepada-Nya, andaikan Dia menguji kita, agar ujian-Nya itu tidak
melampaui batas kemampuan kita.

Namun...sudah kita bersiap andaikan nikmat itu dicabut secara tiba-tiba?
Sudahkah kita bersiap andaikan kita harus kehilangan sesuatu yang kita cintai atau sesuatu yang kita nikmati?
Sudah sabar kah kita seandainya tiba-tiba hari ini juga kita harus kehilangan pekerjaan, yang kita andalkan
untuk menafkahi keluarga kita?
Sudah siapkah kita, de el el de el el?
Rejeki, harta, anak dan isteri, hanyalah merupakan "hal kecil" semata, karena ada hal lain yang lebih besar.

Yakni, sudahkah kita siap andaikan ALLAH secara tiba-tiba tidak memperpanjang kontrak kita di dunia
yang fana ini? Jawabnya berpulang pada diri masing-masing.
Yang jelas ujian, dan berikutnya takdir, tak akan pernah kulo nuwun kepada semua orang.
Yang jelas, kewajiban semua orang adalah menyiapkan payungnya masing-masing. Sebelum hujan yang
berupa ujian dan takdir itu datang menghujani dirinya.

Wassalaam,

Papa Fariz

No comments: