Saturday, June 9, 2007

Siapa yang mau jadi tumbal ber-Nahi Munkar?

Assalaamu 'alaikum,

Bang Khair, demikian panggilan akrab Khairiansyah Salman, auditor BPK kelahiran Medan yang
pernah mengguncang jagat peradilan, kini kabarnya bak hilang ditelan bumi.
Mantan ketua senat STAN ini sempat mencuat karena keberaniannya untuk memancing suap
dari seorang anggota KPU yang berujung pada terbongkarnya kasus korupsi di badan yang
sayangnya dihuni oleh para akademisi jempolan negeri ini. Meski sempat mendapat makian
dari ketua lembaganya sembari dituduh cari muka, Bang Khair dianugerahi Anti Corruption Award.
Namun belakangan award dikembalikannya untuk menghindari polemik, karena dia yang kini
balik diserang dengan tuduhan "korup cuma 10 juta perak". Beliau sendiri, meski pada akhirnya
mengembalikan uang 10 juta itu, berani membuktikan tuduhan itu tak benar nantinya, karena uang
tersebut merupakan award setelah mengisi sebuah seminar di Depag.

Kemana dan dimanakah beliau kini? Seorang rekan yang memiliki afiliasi organisasi yang sama
dengan beliau sempat berbisik ke saya. Konon katanya Bang Khair kini sudah tidak lagi di BPK.
Beliau "telah dikeluarkan" dan kini aktif di salah satu LSM.

BPK, adalah lembaga berkuasa milik negara. Anggotanya, apalagi sudah level auditor, tentunya
adalah pegawai negeri. Pegawai negeri, meskipun gaji pokoknya kecil, kini diimpikan semua orang,
karena kestabilan dan kepastian kerjanya, juga reward saat pensiun dan uang pensiunnya yang
menawan, andaikan karier kita memuncak. Belum lagi insentif dan fasilitas lainnya yang tak terbilang
besar dan banyaknya. Ditambah lagi sabetan abu-abu hitam di sana-sini, meski gak bisa digeneralisir
semuanya menerimanya. Karena itulah PNS sangat digila-gilai banyak orang. Ujian PNS beberapa
waktu lalu pun sempat menuai protes, karena ditenggarai para raja kecil di daerah berkongsi
untuk memasukkan family mereka menjadi PNS.

Khair yang udah jadi PNS, kalau memang benar, kenapa kini harus meninggalkan status yang
didambakan banyak orang itu? Malang nian dikau, apalagi keluarganya kini juga harus kena getahnya.

Ternyata berjuang untuk nahi munkar (mencegah dari kemungkaran) memang beresiko lebih berat
daripada amar ma'ruf (menyeru kepada kebajikan). Sudah tentu sebelum seseorang "dipenggal" karena
korupsi yang dilakukannya, dia akan berupaya "menjegal di jalan" para calon pemenggalnya itu.
So, jangan dikira memberantas korupsi itu semudah membalikkan telapak tangan. Memberantas
korupsi itu diperlukan ke-istiqamahan, keikhlasan berkorban dan siap menanggung resiko yang ada.
Contoh di atas, makin membuat bergidik siapa yang mau ikutan jadi pioneer pemberantasan KKN.
Daripada keluarga kena getahnya mending close one eye dan cari selamat saja. Ketika Khair akan
diseret ke meja hijau dengan tuduhan korupsi cuma 10 juta, orang makin bergidik sambil mengelus dada,
inikah "revenge" buat seorang pioneer anti korupsi? Dia lah yang pertama akan diincar meski
disekelilingnya sudah banyak yang berkorupsi sampai hitungan trilyun rupiah.

Langsung atau tidak langsung, nyata atau tidak nyata, mereka yang pernah mencicipi korupsi akan
bergandeng tangan saling tutup-menutupi satu sama lain. Kata seorang sahabat Rasul, kejahatan
yang terorganisir akan dapat mengalahkan kebaikan yang tak terorganisir. Memotong korupsi
memang tidak gampang. Kalau kita di luar sistem memang terasa amat gampang sekali melayangkan
umpatan bahwa Presiden saat ini cuma bisa tebang pilih saja. Boleh jadi sang Presiden sudah tau
dan puyeng memikirkan gimana harus memotong "bagian dari tubuh bersama yang kena kanker",
sedangkan kalau tidak ada bagian tubuh itu maka Pemerintahannya gak akan bisa jalan. Apalagi kini
yang namanya KKN itu sudah berurat akar, menjadi "budaya" dan sudah dianggap biasa, di berbagai
lapisan kehidupan, dari yang besar sampai yang kecil.

Nahi munkar memang beresiko besar, karena itu wajarlah di masa Presiden yang dulu, banyak para
da'i yang dikritik karena cuma bisa amar ma'ruf saja, meski harus dipahami pula bahwa kondisi saat itu
yang mengharuskan mereka begitu. Emang enak kalo di jail? Trus siapa dong yang ngasih makan anak isteri?
Nahi munkar, apa pun jadinya harus dilaksanakan sejalan dengan amar ma'ruf, karena kalau tidak,
maka akan terjadi ketimpangan nantinya. Namun siapkah kita ber nahi munkar, sedangkan di bumi
pertiwi, belum ada payung pelindung (seperti UU Perlindungan Saksi) nya? Siapa yang mau mengorbankan
dirinya untuk "jadi tumbal" keadilan dengan hanya berharap pada ridho Yang Kuasa?

Wassalaam,

Papa Fariz

No comments: