Saturday, June 16, 2007

Nyawa belalang dan transportasi kita

Posted: 7 Maret 2007

Assalaamu 'alaikum,

http://foto.detik.com/index.php/home.readfoto/tahun/2007/bulan/03/tgl/07/time/104606/idnews/750842/idkanal/157/id/1

Tentang Garuda, saya jadi teringat kejadian sekitar 10 tahun lalu di bandara Fukuoka. Ketika itu Garuda yang baru saja take off mengalami mati mesin 1 atau 2 dari 4 mesinnya. Konyolnya sang Pilot bukannya mencoba menerbangkan dan berputar sedikit untuk kembali mendarat (ini kata pakar yang menganalisa), tetapi malah mematikan total kesemua mesinnya. Alhasil Garuda dengan sukses mendarat mulus di area persawahan di samping bandara.

Badan Garuda patah 2 dan ada kebakaran kecil. Korban yang tewas kurang dari 10 orang. Penumpang sisanya di Boeing 747 ini terlihat shock semua. Yang konyolnya, dan dicibir oleh media massa sana, para pramugari Garuda bukan mencoba mengevakuasi para penumpang, melainkan malah menyelamatkan tas mereka masing-masing dan kabur duluan menyelamatkan diri di tempat terpisah sambil menangis sesunggukan. Adegan ini diabadikan oleh para juru kamera di sana. Mungkin komentar dari kita boleh jadi: "Pramugari juga manusia, Bung!". Namun komentar orang sana lain. Esoknya dimuat di head line news dan lengkap dengan foto sang pramugari beserta kisahnya. Komentarnya, "Inikah hasil dan cermin sifat malas dari bangsa mereka?". Dengan jengkel mereka mempertanyakan dimana responsibility para awak pesawat dan excuse sisi manusiawi tidak bisa diterima.

Taukah anda, seperti kasus kehilangan nyawa lainnya, bukan cuma tindak pidana yang dituntut, melainkan di Jepang juga digugat secara perdata. Garuda pun mengalami nasib demikian. Kalau gak salah, Garuda dituntut untuk memberikan kompensasi 30 juta - 100 juta yen per nyawa yang hilang, atau setara 2,5-8 milyar rupiah per nyawa. Saya tidak ingat hasil akhir nego berikut keputusan pengadilan. Ini bukan berarti nyawa kita berharga segitu. Melainkan juga berarti kita harus lebih menghargai nyawa. Ini nyawa manusia dan bukan nyawa belalang. Kalau memang menghargai nyawa orang, atau at least takut dengan tuntutan yang demikian tingginya, bertindaklah secara profesional untuk mencegah kehilangan nyawa orang. Harusnya diberikan stiff punishment berupa denda besar bagi setiap kehilangan nyawa manusia.

Sedihnya, kalau merunut kecelakaan transportasi di negeri kita, dari mulai pesawat, kapal laut, mobil, bus dll, sedih rasanya dan prihatin karena terkesan kita main-main dengan nyawa. Yang mati sudah begitu banyak. Dan kita pun sampai bosan mendegar kecelakaan lagi, celaka lagi. Padahal akibat celaka itu, hilanglah nyawa orang. Lantas dimana penghargaan kita terhadap nyawa yang dikaruniakan Ilahi kepada makhluk-Nya? Harusnya dilakukan perbaikan yang signifikan terhadap sistem transportasi kita dll. Kalau anda memakai jalan tol Jakarta-Cikampek, dan melintas setelah pintu gerbang Pondok Gede di situ akan terpampang berapa jumlah yang mati, dan berapa kali terjadi kecelakaan. Saya pun sampai geleng-geleng kepala karena melihat fakta lebih dari 1x kecelakaan terjadi di jalan tol itu saja.

Tau kah anda yang kadang jadi penyebab kecelakaan, atau juga kemacetan di jalan tol itu saja? Antara lain, sopir mengantuk, ban botak, kelebihan beban dll. Bosan juga saban ke Jakarta selelu lihat truk atau bus guling di situ. Kalau kecelakaan model begini, ini kan larinya ke faktor maintenance dan human error, yang semuanya, seharusnya bisa dilakukan tindakan preventif. Tapi mengapa trus terjadi? Mengapa ban botak tidak diganti? Mengapa kondisi kendaraan tidak dicek laik tidaknya sebelum jalan? Mengapa orang ngantuk boleh bawa kendaraan? Mengapa truk kelebihan muatan bisa lolos jalan padahal ada yang namanya jembatan timbang? Yahh lari-larinya kan ke sistem, gak ada enforcement hukum, perilaku seenak udel le dewek dan budaya korup yang menjangkiti kita semua?

Pada kasus alat transportasi lain, seperti pesawat dan kapal laut, kasusnya kan hampir mirip. Toh, kini ketauan kapal kita sering membawa penumpang dan muatan melebihi kapasitasnya. Toh ketauan pula bahwa pesawat kita mungkin kurang di-maintenance dengan baik. Toh, semua bisa lihat perilaku ugal-ugalan sopir gak berkurang, dan kendaraan tua yang tak lain jalan, terus bisa mengelilingi jalan-jalan kita. Semuanya baru diributkan setelah kejadian. Kalau belum terjadi cincai lah, gak papa, kan TST alias Tau Sama Tau (bukan Tahu Sama Tempe yah!). Akar masalahnya akhirnya hampir sama, entah mau alat transportasi yang mana pun.

Mungkin sebagai orang awam yang di luar sistem, kita mudah mengkritik, karena tak tau bagaimana parahnya penyakit borok yang telah menjangkiti kita. Namun sebagai orang awam, kita pun berhak prihatin dengan rentetan kejadian yang hampir gak masuk akal ini, dan yang lebih penting adalah karena menghilangkan nyawa orang banyak. Enough is enough. Semoga tragedi kali ini adalah yang terakhir. Semoga di masa datang wajah kita tidak berurai air mata lagi karena kejadian konyol yang seharusnya bisa dicegah. Ataukah kita malahan mau bilang, "Biarin aja itu kan udah takdir?". Wahh, au ahh gelap. Kalau udah mikirnya gitu, no further comment deh.

Wassalaam,

Papa Fariz

No comments: