Assalaamu 'alaikum,
http://www.detiknews.com/indexfr.php?url=http://www.detiknews.com/indexphp/detik.read/tahun/2006/bulan/11/tgl/10/time/163243/idnews/706680/idkanal/10
Suatu hari 10 tahun lalu di kota Kitakyushu, saya beruntung berkesempatan menyaksikan kampanye Pemilu Jepang,
yang waktu itu jubirnya adalah PM Jepang saat itu, (alm) Hashimoto Ryutaro. Isi kampanyenya menarik, dan
sampai saat ini isu tersebut terus dibincangkan dan dilanjutkan oleh para PM penerusnya. Isu itu tak lain dan
tak bukan, kerisauan menurunnya angka kelahiran, yang menyebabkan minusnya angka pertumbuhan penduduk.
mengikuti beberapa negara Eropa, kini Jepang sedang beralih menjadi "negara piramida terbalik", alias negara
tua atau negara yang jumlah penduduk usia lanjutnya lebih banyak daripada jumlah penduduk usia belia.
Data terakhir menujukkan angka kematian tahun lalu lebih banyak 10 ribu daripada angka kelahiran.
Apalagi Jepang terkenal dengan bejibunnya penduduk berusia lanjut, bahkan tidak sedikit yang berusia di atas
100 tahun. Angka rata-rata kelangsungan hidup untuk pria-nya kini mencapai 78 tahun, sedangkan untuk wanitanya,
juga yang tertinggi di dunia, yakni sekitar 82 tahun. Karena itu, berbeda dengan Indonesia, yang mungkin
angka rata-rata kelangsungan hidupnya masih berkisar 60-an atau 70-an tahun, usia 40 tahun, di Jepang
tergolong sebagai usia yang "muda" dan usia emas, di mana seseorang mencapai puncak energiknya.
Usia 50 tahun, dianggap sebagai awal usia mature, dan terus berlanjut sampai 65 tahun. Dikategorikan tua,
apabila umurnya di atas 65 tahun. Masa pensiun resmi adalah 65 tahun, namun setelah itu banyak yang masih
berkarya. Bahkan mantan Menkeu dan PM Jepang, Miyazawa-san, duduk di kabinet saat usianya sudah 75 tahun.
Di Indonesia mungkin usia emas adalah 30 tahunan, dan awal usia mature adalah 40 tahunan, alias 10 tahun lebih
awal dari orang Jepang. Mungkin begitu yahh.
Kerisauan sang almarhum ini tak lain dan tak bukan adalah maaf, orang tua adalah beban yang harus ditanggung
oleh penduduk usia produktif. Seperti kita ketahui, dalam ilmu ekonomi, singkatnya pembagian usia adalah sbb:
0-14 tahun : anak-anak, 15-64: remaja dan dewasa, 65 tahun ke atas: lanjut usia atau lansia.
Usia produktif adalah 15-64 tahun alias ditempati oleh remaja dan dewasa, sedangkan usia non produktif
adalah 0-14 tahun dan 65 tahun ke atas.
Nah, andaikan jumlah penduduk usia non produktif, terutama yang lansia, lebih banyak daripada usia produktif,
maka penduduk usia produktif itu akan makin kepayahan. Mereka harus bekerja lebih keras lagi, demi menanggung
bapak dan kakek mereka, agar pendahulu mereka tersebut bisa tetap hidup layak.
Di Jepang, ada yang namanya Nenkin alias uang tahunan. Di Singapore dikenal sebagai CPF (Central Provident
Fund), di mana keduanya wajib dibayar per bulan oleh orang yang bekerja, tidak peduli dia itu orang miskin atau kaya.
Besarnya disesuaikan dengan gaji masing-masing. Di Jepang, saya lupa nominalnya. Sedangkan di Singapore
adalah 33% dari Gaji kita. Dimana 20% ditanggung oleh orang ybs (alias gajinya dipotong), sedangkan 13%
ditanggung oleh perusahaan (so, sebenarnya gaji kita jadi 113% dari basic salary). Di Indonesia, mungkin belum
ada sistem ini. Nenkin atau CPF bukanlah pajak yang hilang begitu saja. Ini adalah tabungan hari tua kita yang
dipaksakan. Sebagian bisa dimanfaatkan sembari jalan, misalnya bayar cicilan rumah, biaya kesehatan dll,
namun baru bisa diambil setelah kita pensiun. Uang CPF dan Nenkin ini nantinya diputar oleh badan khusus.
Makanya jangan heran, kalau Temasek Holding (alias Pemerintah sini), sanggup membeli Bank Mandiri, Telkom,
Indosat, Pelindo dll, karena salah satunya, ditopang oleh dana CPF yang luar biasa besar ini.
Kerisauan akan menurunnya jumlah kelahiran, memaksa Pemerintah untuk mengkampanyekan agar punya banyak anak.
Di kalangan generasi muda, kini berkembang 3 pemikiran, yakni menunda usia perkawinan, menunda kelahiran
bayi pertama dan menjarangkan kelahiran. Di Jepang, kini banyak wanita berusia di atas 30 tahun yang belum nikah.
Di Singapore nampaknya juga demikian. Alasannya mereka mengejar karier. Anak akan menjadi penghambat karier,
dan andaikan hamil, ada juga yang mau gak mau di non aktifkan oleh perusahaannya tanpa boleh kembali lagi.
Biaya satu anak di Jepang, sampai dia bisa mandiri untuk bekerja, diperkirakan memerlukan biaya sampai 30 juta yen,
alias sekitar 2,4 milyar. Di Singapore, ketakutan akan biaya per anak ini yang juga menyebabkan mereka enggan
mempunyai anak lebih dari 2 orang. 3 orang dianggap sudah terlalu banyak, apalagi 4 atau 5 orang. Pemikiran ini
terutama berkembang di kalangan etnis China. Etnis Melayu banyak yang cuek bebek, bahkan punya anak 4 orang,
sudah biasa. Gak sedikit yang berpikir pendek, kalau punya anak dapat duit dadakan, insentif dan tunjangan dari
Pemerintah sini. Namun yang Chinese berpikir, tunjangan itu kan cuma sampai elementary school saja, selanjutnya
kita juga yang nanggung sendiri. Pemerintah sini memang memberikan insentif untuk kelahiran anak, yang saya sendiri
kurang tau persis. Yang jelas, konon makin besar nomor urut anak, insentifnya juga makin besar (CMIIW).
Namun mereka rupanya khawatir, karena yang memanfaatkan hal ini justru etnis Melayu, yang gak takut miskin
karena punya anak banyak. Pemerintah sini khawatir kalau-kalau nantinya perimbangan komposisi penduduk akan
bergeser. Saat ini Melayu cuma 14%, sedangkan Chinese 75% di sini. Gak heran, kalau etnis Chinese dari mainland
dan jiran mereka, sangat diberi kemudahan untuk menjadi PR ataupun citizen, tentunya ada pertimbangan talent-nya juga.
Situasi yang berkebalikan justru terjadi di nusantara. Dalam link di bawah ini, Pemerintah kita justru sangat mengkhawatirkan
dengan pertumbuhan penduduk kita yang mencapai 1,3% per tahun, di mana tahun 2025 nanti diprediksikan populasi
penduduk kita adalah 273 juta jiwa dan di tahun 2050 akan menjadi 308 juta jiwa. Pemerintah khawatir, naiknya
jumlah penduduk berarti menaikkan persoalan pendidikan, kesediaan pangan dan lapangan kerja. Ujung-ujungnya
hidup layak akan sulit tercapai dan kesejahteraan yang didambakan hanya menjadi angan belaka. Karena itulah, maybe
Pemerintah akan menggalakkan kembali program KB. Boleh jadi banyak anak hanya berlaku di pedesaan, karena
banyak keluarga muda di perkotaan, kini justru lebih memilih "mempersedikit anak". 2 atau 3 anak sudah cukup buat
mereka. Dan bukankah di antara kita berkembang suatu semboyan yang berbunyi, "banyak anak banyak rejeki".
Ada juga hadits (mohon dikoreksi keshahihannya), yang menyatakan perbanyaklah anak, karena kita tidak tau dari
anak yang mana rejeki kita akan datang. Boleh jadi pula, penduduk di desa, hanya, maaf, senang membuatnya tapi
gak berpikir ke depan bagaimana harus dididik anak tersebut nantinya.
Saya sendiri berasal dari keluarga besar dengan 8 bersaudara. Setelah tua begini, baru terasa nikmatnya, kalau banyak
saudara itu. Kalau lagi ngumpul rame sekali. Cucu-cucu ibu juga banyak banget. Istri saya pun 7 bersaudara.
Memang ramai itu nikmat. Namun yang nikmat lagi, adalah karena orang tua saya, Alhamdulillah, sukses mengantarkan
anaknya untuk bisa "jadi orang" alias bisa mandiri dengan pekerjaan yang tetap. Namun bagaimana dengan jutaan
keluarga lain, yang punya banyak anak tapi gak mendapatkan rejeki untuk mendidik anaknya dengan baik, dan
mengantarkan sang anak untuk bisa hidup layak? Bagaimana keselarasan pemikiran banyak anak banyak rejeki, sedangkan
mereka yang punya prinsip itu, mungkin kurang giat usahanya untuk menggapai rejeki yang cukup, dan mungkin juga
kurang beruntung sehingga rejekinya ngepas. Kalau sudah begini anak sudah gak terdidik dengan layak. Banyak fenomena
yang saya temui, ada keluarga banyak anak, dimana anaknya gak ada yang jadi. Sekolahnya gak bisa tinggi, karena
orang tuanya gak mampu. Mereka hidup terseok-seok, untuk makan aja susah. Yang ekstrim, malah ada yang sampai
menjual anak atau menitipkan anak. Banyak anak bagus, kalo anaknya semuanya bertakwa dan jadi orang. Namun
bagaimana kalau banyak anak, tapi gak pernah dipikirkan kesejahteraannya.
Ujung-ujungnya, rencana Pemerintah dengan program KB untuk "membatasi" anak, apakah sebenarnya tidak bertentangan
dengan prinsip dasar banyak anak banyak rejeki? Bukankah itu "bertentangan" dengan prinsip agama? Tapi apakah
memang kita harus beranak banyak kalau kita sendiri gak memiliki kemampuan untuk memberikan penghidupan yang layak
bagi anak-anak kita dan tidak dapat memberikan kesejahteraan yang pantas buat mereka? Apakah kecenderungan
para generasi muda di kota untuk membatasi jumlah anak mereka itu sebenarnya menandakan semakin jauhnya mereka
dari agama, cinta dunia dan takut miskin padahal rejeki ada di tangan Allah? Ataukah justru mereka orang yang smart
dan modern karena berpikir lebih baik anak tak terlalu banyak asal kesejahteraan terjamin dan bisa hidup layak, daripada
banyak anak tapi susah? Mana yang baik, apakah anak sedikit tapi kaya, atau anak banyak tapi miskin? Sebenarnya
berapa sih jumlah anak yang ideal di dalam suatu keluarga? Ataukah kita lihat gaya hidup seperti di Jepang dan Singapore
tentang anak sedikit, namun kini justru pemerintah mereka yang khawatir.
Inilah sejujurnya dan sesungguhnya "pertentangan bathin" yang ada di masyarakat kita. Di satu pihak ada prinsip banyak
anak banyak rejeki dan masing-masing anak ada rejekinya, namun di sisi lain ada kekhawatiran gak bisa hidup layak
dan menyengsarakan mereka. Dan contoh itu sudah beribu-ribu banyaknya. Mana yang baik, anak banyak tapi hidup
gak layak atau anak sedikit tapi hidup layak? Yang terbaik memang, banyak anak tapi kesejahteraan cukup. Namun
itu hanya bisa digapai oleh segelintir orang saja, dan yang mayoritas justru malah anaknya tak terurus. Apakah anda
berani punya anak banyak dengan penghasilan yang anda miliki saat ini? Dunia realita memang tak seindah dunia idealis.
Relevankah banyak anak banyak rejeki itu? So What Gitu Lho? Satu lagi, bukankah yang terbaik bagaimana mendidik
anak supaya berkualitas, dan bukan dilihat kuantitas? Bagaimana menurut anda pada akhirnya tentang hal ini?
Wassalaam,
Papa Fariz
No comments:
Post a Comment