Sunday, June 10, 2007

Stigma si sipit yang tak lekang oleh zaman

Assalaamu 'alaikum,

Benarkah 8 dari 9 wali yang termasuk Wali Songo itu adalah keturunan China?
Mohon klarifikasinya untuk hal ini.
Silahkan baca referensinya setelah signature di bawah.
Sejujurnya, masalah pri-non pri masih menjadi ganjalan di masyarakat kita.
Kamu non Pri, yang nota bene kebanyakan non Muslim dan jumlahnya kurang dari 5%, kini sanggup menguasai lebih dari 50% perekonomian bangsa Indonesia.
Namun entah mengapa, sepertinya ada jurang pemisah untuk pembaurannya.

Ada sebagian kaum non pri yang memang bersikap arogan, dengan menganggap kaum pribumi itu miskin, bodoh dan kotor.
Mereka cenderung memisahkan diri dari pergaulan di masyarakat dan mungkin karena faktor ekonomi jua lah, mereka bertempat tinggal di perumahan mewah yang harganya tak terjangkau oleh orang kebanyakan.
Saya juga mendengar beberapa keluhan bahwa apabila kaum non pri menjadi boss, gak sedikit yang bertindak semena-mena dan bokis banget-banget, alias mementingkan perutnya sendiri dengan memeras keringat karyawannya habis-habisan sambil berperilaku kasar terhadap para staf-nya.

Bisnis mereka maju juga karena dibantu oleh tindakan mereka yang menghalalkan segala cara, juga menjadi pandangan sebagian masyarakat.
Stigma negatif, yang sangat disayangkan masih hidup dan berkembang hingga saat ini, dan entah mengapa masalah pri dan non pri tetap tak terselesaikan.
Ketimpangan ekonomi juga menjadi faktor pemicu tersendiri adanya "kebencian terhadap mereka"di dalam masyarakat.
Bibit-bibit ini sudah dimunculkan sejak zaman kolonial dulu.
Yakni saat di mana warga Eropa menjadi WN kelas 1, warga lokal non Pri menjadi WN kelas 2, dan warga lokal Pri menjadi WN kelas 3.

Bibit ini terus tumbuh dengan puncaknya pada 2 peristiwa besar, yakni meletusnya G-30S/PKI di mana RRC ditenggarai berada di belakang kudeta ini yang berujung pada pemutusan hubungan diplomatik dengan RRC selama lebih dari 20 tahun.
Puncak yang kedua adalah peristiwa kerusuhan Mei 1998, yang menyebabkan eksodus besar-besaran etnisChina ke negeri jiran nan mini ini.
Buat kaum bermata sipit sendiri, sebenarnya mereka juga mengalami perlakuan diskriminasi tak resmi.
Sudah jadi rahasia umum, sekali pun mereka adalah olahragawan yang pernah mengharumkan nama bangsa dan negara, tetap saja dituntut harus mengurus Surat Bukti Ke-WNI-an, suatu hal yang ridicuolus sebenarnya, karena kalau mereka masih diragukan ke-WNI-annya, mengapa mereka bisa membela negara di kancah olah raga?

Untuk status PNS, dan TNI, diskriminasi lebih obvious, sehingga kita bisa lihat tidak ada satu pun petinggi negara yang bermata sipit.
Karena keterbatasan itulah akhirnya mereka lebih memilih berkonsentrasi ke bidang ekonomi, hingga akhirnya mampu menguasai ekonomi kita yang ternyata juga berefek negatif, menimbulkan kecemburuan sosial yang besar di masyarakat.

Untuk bidang pendidikan, agaknya kita semua tau, bahwa ada semacam quota untuk kaum berkulit kuning ini, alias jumlah mereka dibatasi.
Karenanya jangan heran,andaikan kita temui bahwa kaum mereka yang berkiprah di universitas negeri, memiliki prestasi yang luar biasa.
Bukan apa-apa, mereka sendiri sebenarnya adalah hasil seleksi di antara kaumnya sendiri.
Asal tau saja, sampai tahun 2002, konon lulusan ITB yang sukses dengan predikat cum laude, 80%-nya adalah ber-etnis China.
Bagi kaum non pri ini, di bidang pendidikan, mereka gak pernah berharap masuk ke universitas negeri.
Yang mereka pikirkan adalah, apakah mereka bisa belajar ke LN,baik dengan bea siswa ataupun biaya sendiri, ataukah masuk ke universitas swastat ernama, seperti Trisakti, Atmajaya dan Parahyangan dll.
Sejujurnya itulah suara hati yang pernah saya tangkap dari mereka, karena saya juga dikira dari etnis yang sama.

Weww, ada pengalaman pribadi juga, kebetulan semenjak ke negeri utara, tampang saya memang menjadi mirip etnis China.
Berkulit putih dengan kaca mata minus tinggi,yang menyebabkan mata saya terlihat sipit.
Saat jalan ke pertokoan di sini, maupun di sana, kalau ditegur "engkoh", sudah hal biasa.
Bahkan gak sedikit customer saya yang terperanjat ketika saya mengucapkan salam, karena mereka mengira saya itu non Pri.
Namun pernah juga saya jengkel setengah mati.
Dulu, saat naik bus, dan duduk di belakang, tiba-tiba ada beberapa orang naik, sembari melirik ke saya dengan sorot kebencian, tiba-tiba mereka berbicara dan menjelek-jelekkan etnis sipit.
Sampai mereka sempat berceloteh, pengen banget gebukin tiap orang kulit kuning.
Saya yang awalnya tidak perasan, akhirnya sadar juga, kalau saya yang dituju, karena sorot kebencian itu terus tertuju ke saya.
Bajigur, umpat saya dalam hati, masak sih saya harus punya surat keterangan orang asli?
Kalo mereka gebukin saya,bakal saya lawan, karena apa salah saya, dah gitu salah tebak lagi.

Gak sedikit kok, teman-teman saya yang beretnis China yang nice person.
Di kantor pun teman sejawat juga ber-etnis begitu.
Namun ada perasaan aneh juga, terhadap etnis mereka di sini kesannya biasa saja dan berbaur normal, namun ketika tiba di Jakarta, kesannya para kaum pendatang itu arogan, congkak dan memuakkan.
Kenapa bisa begitu yah?

Then, asal tau saja, Dian Sastro, Agnes Monica, dan banyak lagi celebritis cantik kita, sesungguhnya juga keturunan etnis China.
Memang harus diakui, banyak pula etnis China ini yang memang brengsek.
Dari mulai sebagai koruptor, konglomerat pembawa kabur uang negara, bos ekstasi dan esek-esek, menghalalkan bisnis dengan segala cara dll.
Dan kejelekan mereka ini yang terpatri di otak kita, hingga mereka dan kaum Pri sangat sulit untuk hidup berbaur dan bertetangga.

Kira-kira, sampai kapan stigma negatif ini akan hidup di kehidupan kita dan di benakmasyarakat?
Kapan dan bagaimana stigma negatif tersebut bisa tumbuh dan berkembang serta terus hidup hingga saat ini?
Adakah solusi yang terbaik untuk meleburkan merekajadi satu elemen bangsa, karena barangkali ada kelebihan dari mereka yang bermanfaatbuat bangsa ini.

By the way, yang "mengherankan", China Benteng, sebutan untuk China peranakan diwilayah Tangerang, bisa berbaur dan hidup bersama dengan masyarakat kita.
Demikian pula dengan kaum China di Singkawang dan Pontianak.
Banyak dari mereka yang miskin,berprofesi sebagai petani, tukang becak dll.
Mereka bisa hidup tenang dan berbaur denganmasyarakat etnis lainnya.
Kaum China yang muallaf pun lebih bisa diterima di masyarakat.

So, jadi penasaran, sebenarnya apa sihh akar serta benang merah dari disparitas ini?
Apakah hanya se-simpel hal berupa ketimpangan ekonomi, hingga kita jadi menjaga jarak?
Ataukah ada hal lain dari itu?
Yang terpenting bagaimana ke depannya, kita sebagai satub angsa bisa bergerak bersama, rather than memasalahkan kamu dari etnis yang mana.
Suatu refleksi ke depan tentang permasalahan bangsa yang masih menggantung hingga saat ini.

Wassalaam,

Papa Fariz
FS account: boedoetsg@yahoo.com

Wali Songo itu keturunan China?

Sedikit bacaan buat anda2 dari sebuah buku yang tidak boleh terbit mulai jaman Orde Lama sampai Orde Baru dan sekarang di dalam Orde paling baru sedang banyak di bicarakan kembali..... Entah kenapa banyak sekali sdr kita umat Muslim merasa gerah, apabila mendengar bahwa delapan dari Sunan Walisongo itu adalah orang Tionghoa, padahal Nabi Muhammad saw sendiri pernah bersabda "Tuntutlah ilmu walau sampai negeri Cina" (Al Hadits), nah pada saat itu orang Tionghoa nya sendirilah yg datang ke Indonesia, sehingga mereka tidak perlu repot2 harus pergi belajar ke Tiongkok untuk menuntut ilmu disana. Prof Slamet Mulyana pernah berusaha untuk mengungkapkan hal tsb diatas dlm bukunya "Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara" , tetapi pada th 1968 dilarang beredar, karena masalah ini sangat peka sekali dan mereka menilai menyakut masalah SARA. Kenapa demikian? Bayangkan saja yg mendirikan kerajaan Islam pertama di Jawa adalah orang Tionghoa, bahkan Sultan nya yg pertama pun adalah orang Tionghoa: Chen Jinwen alias Raden Patah alias Panembahan Tan Jin Bun/Arya (Cu-Cu). Walisongo atau Walisanga yg berarti sembilan (songo) Wali, tetapi ada juga yg berpendapat bahwa perkataan songo ini berasal dari kata "tsana" yg berarti mulia dlm bhs Arab sedangkan pendapat lainnya mengatakan bahwa kata tsb berasal dari kata "sana" dlm bhs Jawa yg berarti "tempat" Para wali tsb mendapatkan gelar Sunan, yg berarti guru agama atau ustadz, namun perkataan Sunan itu sebenarnya diambil dari perkataan "Suhu/Saihu" yg berarti guru dlm bhs dialek Hokkian, sebab para wali itu adalah guru2.Pesantren Hanafiyah, dari mazhab (sekte) Hanafi. "Su" singkatan dari kata "Suhu" dan "Nan" berarti selatan, sebab para penganut sekte Hanafi ini berasal dari Tiongkok Selatan. Perlu diketahui bahwa sebutan "Kyai" yg kita kenal sekarang ini sebagai sebutan untuk guru agama Islam setidak-tidaknya hingga jaman pendudukan Jepang masih digunakan untuk panggilan bagi seorang lelaki Tionghoa Totok, seperti pangggilan "Encek". Walisongo ini didirikan oleh Sunan Ampel pada th. 1474. Yg terdiri dari 9 wali yaitu: Sunan Ampel alias Bong Swie Ho Sunan Drajat alias Bong Tak Keng Sunan Bonang alias Bong Tak Ang Sunan Kalijaga alias Gan Si Cang Sunan Gunung Jati alias Du Anbo - Toh A Bo Sunan Kudus alias Zha Dexu - Ja Tik Su Sunan Giri adalah cucunya Bong Swie Ho Sunan Muria Maulana Malik Ibrahim alias Chen Yinghua/Tan Eng Hoat Sunan Ampel (Bong Swie Ho) alias Raden Rahmat lahir pada th 1401 di Champa (Kamboja), ia tiba di Jawa pada th 1443. Pada saat itu di Champa banyak sekali orang Tionghoa penganut agama Muslim yg bermukim disana. Pada th 1479 ia mendirikan Mesjid Demak. Ia juga perencana kerajaan Islam pertama di Jawa yang beribu kota di Bintoro Demak, dengan mengangkat Raden Patah alias Chen Jinwen - Tan Jin Bun sebagai Sultan yang pertama, ia itu puteranya dari Cek Kopo di Palembang. Orang Portugis menyebut Raden Patah "Pate Rodin Sr." sebagai "persona de grande syso" (orang yg sangat bijaksana) atau "cavaleiro" (bangsawan yg mulia), walaupun demikian orang Belanda sendiri tidak percaya moso sih sultan Islam pertama di Jawa adalah orang Tionghoa. Oleh sebab itulah Residen Poortman 1928 mendapat tugas dari pemerintah Belanda untuk menyelidikinya; apakah Raden Patah itu benar2 orang Tionghoa tulen? Poortman diperintahkan untuk menggeledah Kelenteng Sam Po Kong dan menyita naskah berbahasa Tionghoa,dimana sebagian sudah berusia 400 tahun sebanyak tiga cikar/pedati. Arsip Poortman ini dikutip oleh Parlindungan yang menulis buku yang juga kontroversial Tuanku Rao, dan Slamet Mulyana juga banyak menyitir dari buku ini. Pernyataan Raden Patah adalah seorang Tionghoa ini tercantum dlm Serat Kanda Raden Patah bergelar Panembahan Jimbun,dan dalam Babad Tanah Jawi disebut sebagai Senapati Jimbun. Kata Jin Bun (Jinwen) dalam dialek Hokkian berarti "orang kuat". Cucunya dari Raden patah Sunan Prawata atau Chen Muming/Tan Muk Ming adalah Sultan terakhir dari Kerajaan Demak, berambisi untuk meng-Islamkan seluruh Jawa, sehingga apabila ia berhasil maka ia bisa menjadi "segundo Turco" (seorang Sultan Turki ke II) setanding sultan Turki Suleiman I dengan kemegahannya. Sumber: - D. A. Rinkes "De heiligen van Java" - Jan Edel "Hikajat Hasanoeddin" - B. J. O. Schrieke, 1916, Het Boek van Bonang - Utrecht: Den Boer - G.W.J. Drewes, 1969 The admonitions of Seh Bari : a 16th century Javanese Muslim text attributed to the Saint of Bonang, The Hague: Martinus Nijhoff - De Graaf and Pigeaud "De eerste Moslimse Vorstendommen op Java" - "Islamic states in Java 1500 -1700". - Amen Budiman "Masyarakat Islam Tionghoa di Indonesia" - Prof. Slamet Mulyana "Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara

1 comment:

Dayani said...

aku ini murid kls 3 smp di sekolah swasta di medan, yang 80% muridnya memang keturunan cina, termasuk aku sendiri. di sd lamaku dulu,, aku punya banyak temen2 pribumi, misalnya si YM, JA, dll,, YM ini temen baikku. dia nggak pernah mengata2i aku "cina, cina" atau apa lah. malahan dia sendiri tertarik dengan budaya timur, seperti cina, jepang. aku & YM bertaman selayaknya kami berdua dari suku yang sama, gak pernah membahas2 soal suku, atau sejenisnya, tapi begitu pindah ke smp ku yang sekarang, aku merasa orang pribuminya beda, seperti salah 1 temanku yang namanya QW. dia ini keturunan campuran, jawa dan cina, pada awalnya sih dia baik sama aku, tapi begitu masuk kelas 2 smp, ada murid baru orang pribumi di kelasku, namanya SM. QW dan SM ini pun langsung berteman akrab,, nah, dari situlah si QW mulai mengata2i orang2 cina, kalau aku bicara soal lagu2 mandarin atau budaya2 cina, di langsung bilang "ah, aku nggak ngerti yang cina2 kayak gitu, nggak ada gunanya" padahal, kalau dia yang sedang cerita tentang agamanya, hari raya, dan band2 indo, aku selalu dengarkan dan tidak pernah protes. dia juga bilang kalau logat bicaraku aneh, terlalu cina, dan dia tidak suka.
Pernah juga dia secara tidak sengaja tersenggol oleh anak sma (keturunan cina), lalu dia bilang "hoi cina! kalu jalan tuh liat2 lah! begok kali sih?!"
padahal aku jalan disampingnya. dia dengan tenangnya lagi mengatakan "tolol semua orang cina itu, iya kan?" aku diam saja, karena kalau bicara pun pasti dia akan marah dan mungkin juga dia akan berbalik mengejek aku.
dari semua teman pribumi yang aku punya, hanya QW lah yang sifatnya paling kolot. teman2 pribumi ku yang lain tidak begitu! mereka sangat baik! dan juga tidak pernah mengatakan hal negatif tentang cina, dan akupun tidak pernah berkata jelek tentang mereka. Apa orang perseteruan pribumi dan cina di indonesia sudah sedemikian parahnya??