Saturday, June 9, 2007

Terjangkit inferiority complex

Posted: 13 Agustus 2006

Assalaamu 'alaikum,

Dagelan yang tak lucu kembali dihidangkan di hadapan kita semua. Tibo cs, yang telah terbukti sebagai
otak kelompok "Kelelawar Hitam", yang begitu sadis membantai Muslim Poso, yang telah ditolak
grasinya selama 2 kali, yang PK (peninjauan kembali) kasusnya telah ditolak, ternyata harus ditangguhkan
eksekusinya. Apakah andaikan yang berada di posisi itu adalah Imam Samudra cs, maka penundaan
eksekusi yang telah tertunda sekian bulan, dapat ditunda, padahal tinggal 15 menit lagi dilaksanakan?
Konon menurut media massa di tanah Belanda sana, penundaan itu tak lain dan tak bukan, karena adanya
surat khusus dari Sri Paus, penguasa tertinggi Katholik, kepada SBY. Keberadaan surat itu memang
telah diamini oleh petinggi kita, meskipun mereka berkilah bukan itu alasannya.

Saya jadi teringat dengan kasus penggantungan seorang tahanan narkoba asal Australia, yang keturunan
Vietnam. Saat itu media massa Aussie mengecam habis-habisan, bahkan kepada rakyatnya diserukan
boikot terhadap Singapore. Sang PM, John Howard, sampai menelpon langsung kepada PM sini,
agar mempertimbangkan hukuman mati itu sembari memohon keringanan. Tapi apa tindakan negeri
jiran nan mini ini? Mereka gak peduli dengan semua tekanan yang datang dari negeri lain. Meskipun kecil,
mereka tetap tegar dan teguh dengan pendiriannya untuk tetap mendukung keputusan pengadilan di sini.

Ini urusan dalam negeri kami, mengapa anda mau ikut campur. Begitu kata mereka. Tambah sang PM,
lebih baik digantung satu orang bandar narkoba daripada ratusan ribu anak-anak kami menderita karena
narkoba. Lebih baik "menghilangkan" satu nyawa, daripada harus menanggung kerugian mengobati
ribuan penderita narkoba. Ah, boleh jadi ini suatu ungkapan "bokis nan pragmatis", namun tetap saja
menggambarkan keteguhan si cilik dalam "mempertahankan kedaulatannya" dari intervensi asing.

Entah mengapa, kita yang jadi saudara tua, yang punya penduduk jauh lebih besar, dan lebih berpotensi
menjadi negara besar, dengan dianugerahi kekayaan alam yang luar biasa, ternyata begitu mudahnya
tunduk pada keinginan pihak luar. Kasus ini mungkin hanya contoh kecil, dari ribuan kasus-kasus lain,
yang terutama tentang pengelolaan sumber daya alam dll, bahwa kita terlalu lunak, dan tunduk,
kepada keinginan orang lain, sehingga bagaikan kita tak punya pendirian.

Boleh jadi inilah buah tersukses dari penjajahan selama 350 tahun. Inferior Complexity, begitu mungkin
istilah kerennya. Kita selalu gak PD, minder dan rendah diri dengan kemampuan kita sendiri, dan cuma
bisa manggut-manggut atas tekanan pihak luar. Kemana perginya kewibawaan kita yang pernah kita
dapatkan dulu di masa founding father masih memimpin kita, meski saat itu kita carut marut ekonominya?
Kemana hilangnya rasa kebanggan kita sebagai negara besar, atau mungkin rasa kebanggaan itu sebenarnya
belum pernah ada dan tak pernah terbentuk di hati kita.

Kadang kita memandang orang bule itu lebih pandai, pintar dan kaya dari kita. Padahal si bule juga sama,
ada yang miskin dan ada yang kaya. Bahkan di antara kita banyak yang lebih pintar daripada para bule.
Gak jarang kita gak ada PD terhadap karya anak bangsa, walau memang mungkin karya anak bangsa
itu memang masih memerlukan perbaikan. Dulu, Japanese teman saya, dengan bangganya berkata kepada
saya, saat saya tanyakan mengenai mana yang hendak dia pilih, buatan Jepang atau buatan China.
Dengan bangganya dia berani bertaruh bahwa kualitas buatan Jepang adalah yang terbaik, tak bisa diimbangi
oleh buatan negeri lain. Dan dia sangat bangga memakai buatan negerinya. Kebanggaan atas bangsa, kebanggaan
atas negara, kebanggaan atas sikap dan tindak tanduk Pemerintahnya.

Lantas, apabila ada orang yang bertanya kepada anda, apa yang anda banggakan dari negeri kita, apakah yang
kira-kira anda bakal jawab? Hmm, inferiority complex itu memang harus ditindas habis. Orang yang inferior,
gak akan pernah punya PD, gak akan pernah bisa optimis serta gak akan pernah bisa memenangi suatu pertarungan.
Kita itu bisa sukses, kalau kita optimis, dan punya PD. Kalau gak ada PD lebih baik tidak melakukannya dari awal,
karena tak ada guna, sebab dia tak bakal memenangi pertarungan pada akhirnya.

Dan PD itu sangat terkait dengan salah satunya sikap kita yang meniadakan rasa inferiority. Kasus Tibo cs ini,
boleh jadi lebih dari cuma alibi masalah teknis atau kesantunan sikap akan permohonan dari pihak lain, boleh
dibilang salah satu contoh dan penggambaran dari sikap inferiority complex yang menjangkiti kita, yang buktinya
telah menjamur dimana-mana, hingga pada akhirnya negeri yang gemah ripah loh jinawi, rakyatnya tetap miskin.

Maafkan, bila opini seorang hamba yang dhaif ini tidak berkenan. Ada opini lain, khusunya tentang inferiority complex?

Wassalaam,

Papa Fariz

http://www.republika.co.id/online_detail.asp?id=260585&kat_id=23

No comments: