Posted: 11 Agustus 2006
Assalaamu 'alaikum,
Kemarin kebetulan saya baru saja membaca sebuah buku karangan Eros Jarot dkk, yang berkisah
tentang "Siapa Sebenarnya Soeharto", terutama peranannya dalam G30S-PKI. Sudah barang tentu,
Mas Erot merupakan pihak yang berseberangan dengan Pak Harto. Walau belum clear betul,
via buku ini kita bisa meraba bahwa saat itu ada konflik hebat antara 3 pihak, yakni PKI dengan
biro khususnya, AD, serta yang terakhir adalah Pak Harto, entah dengan siapa. Hasilnya sudah jelas,
siapa memanfaatkan siapa, dan siapa yang menang. Anyway, apa pun jadinya kita bersyukur karena
negara kita tidak sampai menjadi negara komunis hingga kini.
Ada satu bagian yang menarik yang saya coba tarik benang merah dengan peristiwa lainnya di nusantara.
Sudah jadi rahasia umum, bahwa sebelum tahun 1965, begitu banyak terjadi pemberontakan, yang klimaksnya
adalah G30S-PKI ini.Namun tahukah ada ada satu kesamaan dari hal itu? Ternyata semua, konon katanya,
berujung pada yang namanya "PERUT LAPAR", walau mungkin ada faktor lain yang juga penting.
1. tahun 1947, Wapres Hatta memangkas jumlah personil angkatan perang, dengan alasan keterbatasan
anggaran. 350 ribu tentara reguler dipangkas menjadi hanya 57 ribu, dan 470 ribu laskar rakyat dipangkas
menjadi 160 ribu saja. Amir Syarifudin mempolitisasinya hingga lahir Pemberontakan PKI di Madiun, 1948.
2. tahun 1952, Nasution dicopot dari Pangab karena bersama pasukannya mengepung istana negara. Hal ini
dilatarbelakangi ketimpangan pada gaji mantan KNIL dengan tentara lokal, yang memicu kemarahannya.
3. tentara sejak dulu sudah berbisnis dan tumpang tindih satu sama lain. Pak Harto pun pernah dicopot dari
Pangdam Diponegoro, oleh Jenderal Yani, karena kasus penyelundupan bersama dengan Liem Sie Liong
dan Bob Hasan. Konon, karena hal ini, beliau memegang dendam ke Yani dan penggantinya.
4. beberapa pemberontakan lain yang akhirnya berujung pada hal kesejahteraan prajurit, kepangkatan dll.
5. kerusuhan Mei 1998 yang menyisakan keganjilan. Bagaimana ganjilnya? Mudah saja, bagaimana mungkin
saat itu kerusuhan bisa terjadi dengan serempak, di hampir penjuru Jakarta, bisa berlangsung dengan cepat
dan tepat, dan menyebar dalam waktu yang singkat. Mengapa banyak yang melaporkan bahwa si penyulut
rusuh itu adalah rang yang terlatih dengan potongan rambut tertentu? Apakah anda saat itu tidak pernah bertanya,
di mana keberadaan polisi dan tentara, sebagai pihak yang mampu menangani dan meredam kerusuhan.
Mungkin kita bisa bilang, tentara waktu memang sedang tidak solid. Jadi gak ada komando. Namun, menurut
suatu sumber, secara detail, saat itu tentara memang punya gawe sendiri. Satu sama lain saling menghadapkan
moncong meriamnya di seputar Monas. Prabowo dengan prajurit Kostrad dan Kopassus-nya, di satu sisi, dan
Wiranto dengan prajurit dari Kodam-kodam, di sisi lain. Kalau tentara sendiri punya gawe untuk bersiap
"carok", mana mau mereka mengurus penderitaan rakyat sipil yang terjadi serentak di saat itu. Begitu kira-kira
gambarannya. Silahkan dinalar sendiri, atau barangkali dicari jawaban lainnya atas keganjilan itu.
G30S-PKI, tahun 65 sendiri ditenggarai dipicu oleh sakit kerasnya Bung Karno pada saat itu. PKI yang telah
berhasil menempel BK, sembari sukses mewujudkan Angkatan V, segera banting stir. Padahal awalnya
mereka sudah memprediksi bakal menguasai mayoritas parlemen melalui Pemilu tahun 1970. AD, sebagai
angkatan terkuat, tentunya juga sudah bersiap-siap melihat peluang yang ada. US melalui CIA-nya juga
tidak ketinggalan untuk menelusup di balik celah. Akhirnya kita semua tau siapa pemenangnya, dan US
beserta konco-konconya pun bergembira karena kebagian kue kekayaan alam kita, melalui Konferensi
Istimewa di Geneva, Swiss, yang disponsori oleh The Time Life Corporation pada November 1967.
Lantas mengapa setelah tahun 1965, hampir bisa dibilang tak ada lagi pemberontakan di Indonesia?
Boleh dibilang, Pak Harto, yang berasal dari ABRI sendiri sukses membuat solid pasukan hijau ini.
Kok bisa. Banyak faktor-lah, namun yang jelas, saat itu ABRI demikian berkuasanya. Setiap penentang
segera dibungkamnya. Pak Harto orang yang pandai "memelihara" orang-orangnya. Diberinya lah kesejahteraan
yang cukup. Mereka yang sudah pensiun dikaryakan. Jabatan mulai dari menteri, gubernur, kepala dinas,
sampai duta besar dll, diberikan kepada orang-orangnya di militer yang dinilai bagus loyalitasnya.
TENTARA KENYANG, NEGARA PUN AMAN (maaf kalau salah yah). Makanya, jangan tanya kepada
orang militer, untuk coba-coba mengusik Pak Harto. Bisa-bisa kita sendiri yang "dijewer", karena Pak Harto
sendiri yang membangun ABRI dan memberikan cukup makan buat mereka, sehingga dianggap dewa di sana.
Lantas, bagaimana dengan kondisi yang terkini? Tangan-tangan bisnis hijau loreng-loreng sudah mulai
dipreteli. Kekuasaanya sudah dibatasi hanya sampai sebatas barak saja. Bisnis mereka pun diawasi ketat
dan konon bakal di audit. Maaf, bisnis "deking" pun kini sudah mulai diusik oleh masyarakat umum. Dulu
padahal, yang petingginya bisa men"deking" orang gedean". Dulu padahal, yang cecoro pun bisa jadi centeng
di tempat-tempat hiburan. Walau mungkin kini bisnis "deking" ini masih terus berjalan hingga kini. Gak sedikit,
yang mungkin "mangkel" dengan polisi, karena sejak berpisah, sang polisi "makin bertingkah". Apalagi gerak
tentara kini sudah sangat terbatas di barak. Kalau mengandalkan gaji semata, dari mana perut bisa kenyang?
Sedangkan pak polisi masih bisa bergerilya, dari di jalan-jalan, dari "menodong kasus" dll, yang mempertebal
kantong mereka. Tentu saja, ketimpangan di bidang kesejahteraan ini, bagaikan api dalam sekam. Karena itu
janganlah heran kalau kini sering terjadi konflik antara tentara dengan polisi, dan yang terakhir terjadi di
Muara Tawas, pekan ini.
Rakyat lapar, paling toko roti jebol diambili rotinya. Namun hati-hati kalau tentara lapar, bisa-bisa senapan
yang ditentengnya menyalak sana-sini. Dengan iming-iming 2 juta rupiah pun, beberapa orang Marinir sanggup
dan tega memenui permintaan Gunawan (buronan) untuk membunuh mertuanya, Budiarto Angsana, serta
anggota Kopassus yang mengawalnya. Padahal 2 juta itu bukan jumlah yang signifikan bagi rakyat sipil yang kaya.
Dan banyak lagi kasus lainnya.
Wahh, saya gak tau deh, apakah hal ini ada yang mencermati. Semoga opini di atas salah, sehingga tak akan
terjadi sesuatu yang luar biasa di kita pada akhirnya. Satu hal yang membuat lebih prihatin, adalah terbentuknya
milisi-milisi resmi dan tak resmi di masyarakat. Padahal, secara psikis, masyarakat kita terkadang labil. Begitu
mudahnya untuk paranoid ataupun dihasut kabar-kabar yang tak tau juntrungannya. Begitu mudah kita terpancing
emosi dan mendahulukan penyelesaian dengan jalan kekerasan. Terbayangkah anda bagaimana jadinya, andaikan
para milisi itu saling bentrok satu sama lain? Terbayangkah bagaimana runyamnya negeri kita andaikan massa
akar rumput dipolitisasi untuk saling bergesekan satu sama lain.
Sebagai ending, saya jadi teringat pada laporan hasil kajian strategis Tim 15 yang dipimpin oleh William Cohen,
mantan Menteri Pertahanan USA, pada tahun 2000. Dokumen itu menyatakan bahwa pada tahun 2025 nanti
2 negara muslim terbesar di dunia akan lenyap dari peta dunia. Dokumen yang resminya berjudul " Asia Tahun 2025
dan Pengaruhnya Terhadap Keamanan Nasional Amerika di Abad ke-21", dengan tegas menyatakan bahwa
Pakistan akan lenyap karena fasilitas nuklirnya diperebutkan oleh India dan Iran. Sedangkan Indonesia akan
terhapus karena tercabik-cabik akibat pertikaian dan peperangan antar daerah serta terjadinya krisis yang bukannya
kian mengecil, namun malah kian bertambah besar dari tahun ke tahun. Kajian dokumen ini melibatkan 15 personil,
yang terdiri atas peneliti, spesialis dan politisi senior AS yang dibantu oleh pakar hukum dan politik dan pemerintah
maupun dari swasta.
Orang luar, "telah mampu" membaca kondisi negeri kita 25 tahun ke depan, yang semoga hasil kajian itu meleset
serta tak akan pernah terjadi sesungguhnya. Semoga hasil kajian itu cuma "sekedar untuk menakut-nakuti" dan
bukan hasil kajian ilmiah, meskipun dikaji oleh para ahli-ahlinya. Walau begitu, sadarkah kita akan kondisi kita
sendiri? Sadarkah kita bahwa kondisi dan pikiran kita telah mampu dibaca oleh orang luar? Mampukah kita
membaca kondisi kita sendiri, gak perlu jauh-jauh 25 tahun ke depan, cukup 5 tahun ke depan saja? Mungkin
kalau diperkecil kita berpaling ke diri kita masing-masing tentang masa depan kita ke 5 tahun mendatang.
Bumi Pertiwi yang terus-menerus dilanda bencana alam, ternyata tak membuat rakyatnya bisa bersatu. Para politisi
saling makan-memakan satu sama lain. Pemerintah dan DPR pun saling "gontok-gontokan" memperebutkan
kenikmatan untuk dirinya masing-masing. para menteri ditenggarai sibuk mencari setoran untuk partainya.
Yang jadi preman tak mau kalah meng-kapling daerah kekuasaannya. Yang bawah menyikat yang bawah.
Yang atas berebut dengan yang atas. Kalau masih ada yang disikat, okelah, namun masalahnya kalau gak ada
lagi yang bisa disikat. Bisa-bisa semuanya jadi kanibal.
Tikus di bawah saling berebut remahan dengan tikus. Gajah di atas saling baku pukul untuk berebut hidangan
dengan sesama gajah. Tikus gak akan makan punyanya gajah, karena perut mereka kecil dan bakal mati
terinjak gajah, kalau tetap nekat. Gajah gak mau makan punya tikus, karena gak akan cukup mengenyangkan
perut mereka. Namun yang ditakutkan andaikan makanan untuk sang gajah sudah gak lagi tersisa. Kalau sang
gajah ngamuk, bisa berabe semuanya. Pelanduk, yang sejatinya rakyat biasa, yang biasanya selalu "terbirit-birit"
dikejar para tikus, dan cuma bisa nonton perkelahian gajah, bisa-bisa mati tertimpa atau terinjak sang gajah.
Nenek moyang kita berpesan "Kalau dua gajah bertarung, pelanduk mati di tengah-tengah".
Sudahlah, mau diapakan lagi. Yang bisa kita lakukan:
1. Berdo'a kepada Allah SWT, karena Dia yang Maha Kuasa, dan memohon agar kesengsaraan dan konflik
tidak membesar ataupun berlanjut di nusantara.
2. Memikirkan pencegahan agar konflik tidak membesar, membuktikan bahwa kajian pakar dari AS itu adalah
omong kosong belaka, dan menyadarkan para pihak yang bertikai untuk tetap bersatu di jalan kebaikan.
Ada lagi yang punya solusi untuk jalan keluarnya? Kalau memang tidak bisa dicegah dan Allah tidak mengabulkan
do'a kita, ya sudah, bersiap-siaplah diri kita untuk membuat "sekoci" masing-masing, tahukan maksudnya?
Wallahu 'alam bissawab. Mohon maaf andaikan hal di atas salah ataupun tidak berkenan. Mohon koreksinya
atas opini seorang hamba yang dhaif ini.
Wassalaam,
Papa Fariz
No comments:
Post a Comment