Posted: 18 September 2007
Assalaamu 'alaikum,
Ada artikel bagus tentang kesuksesan etnis Tiong Hoa ber-networking. Silahkan liat link-nya
di bawah:
http://indoprogress.blogspot.com/2006/03/mengapa-china.html
Ikatan yang dilakukan oleh etnis China seperti ini bisa dibilang nepotisme, namun gak semua nepotisme itu jelek. Hanya saja di Indonesia penerapannya salah kaprah dan kebablasan. Nanti kapan saya cerita lagi tentang hal itu. Barangkali juga pak ustadz di IMAS dapat menjelaskan apakah yang dilakukan oleh etnis mereka adalah salah satu bentuk silaturrahmi, seperti yang ada dalam Islam? Buat saya pribadi, diambil positifnya aja, dan buang negatifnya. Suatu pemikiran dan tindakan selalu ada manfaat dan mudharatnya, tul gak?
Saya ingat lagi dengan cerita seorang teman Chinese di sini, tentang "perkoncoan" di antara mereka. Benar yang ditulis di artikel di bawah ini. Saya lupa nama filsafat yang dikisahkan oleh teman Chinese Singapore yang muallaf itu. Kalo gak salah itu "Filsafat Rumpun Bambu". Rumpun bambu tegak ke atas berdiri sendiri-sendiri dan hidup sendiri, namun akarnya tetap sama dan diikat tali persaudaraan yang sama.
Teman saya menceritakan, sudah terbiasa dalam perkawanan di antara sesama mereka untuk membentuk kongsi. Misalnya ada si A yang belum sukses, yang lain rame-rame entah ngumpulin duit atau bantu fasilitas dll, untuk membantu si A sampai si A sukses. Setelah sukses, maka gantian, si A juga punya kewajiban berkontribusi pada perkoncoan itu, dst. Namun, sejawat yang Muallaf ini bete habis dengan salah seorang konco-nya. Dia sempat meminjamkan uang lebih dari SGD 10k, dan dia rela bayar installment demi membantu teman. Eee, ternyata teman itu kabur bak lenyap ditelan bumi bersama uang-uang bantuan dari rekan-rekannya, termasuk uang teman saya ini. Bete deh dia, bayar installment selama beberapa tahun for nothing.
Taktik perkoncoan sejenis, saya dengar pula sebagai taktik etnis mereka di Indonesia. Kenapa warung China bisa maju dan sukses? Karena katanya modal mereka kuat, sebab ada yang back up di belakang. Di awal-awalnya, mereka berani ngasih harga miring. Jualan masih koloran doang, gak apa, untung tipis dulu gak apa, yang penting bisa dapat market dan omzet yang gede dulu. Rugi dikit awalnya gak papa, tapi mereka berani maju terus, karena support gede di belakang. Maju terus deh sampe menang. Ini bukti manfaatnya perkawanan dan buat apa berkawan kalo gak ada manfaatnya.
Then, dah gitu pelayanannya dua jempol. Warung-warung biasa dekat tempat kediaman saya bertarung sendiri-sendiri. Modal mereka jelas terbatas, dan mereka jualan ala kadarnya, gak terpikir untuk ngasih pelayanan yang lebih. Sesuai dengan hukum pasar, kalau quality lebih unggul, cost lebih murah dan service lebih memuaskan, terlepas dari masalah koneksi, maka barang itu berpotensial unggul. Siapa sih orang yang gak mau beli lebih murah tapi dapat service lebih. Etnis mereka mau ngasih harga 100-200 perak lebih murah, dan mau nganter beras sampai ke rumah kalo beli karungan. Mereka tetap senyum meski dibeli 1-2 liter beras saja, beda dengan orang kita yang kadang cemberut kalo pelanggannya beli sedikit.
Alhasil dalam hitungan bulan, ada empat toko orang kita (yang jelas bukan toko orang Minang)di daerah situ semuanya tutup dan gak laku, dilalap oleh toko Tiong Hoa tersebut. Simply-nya masyarakat melihat awalnya dari cost dulu. Kenapa mereka berani bertarung di cost? Ya karena mereka ada back up yang kuat di belakangnya. Apakah ini jelek atau bagus? Tergantung dari mana kita memandangnya. Tapi, kata kenalan saya yang orang Minang, wong Chinese itu "takut" dengan wong Minang. Taktik dagang wong Minang lebih ampuh dari mereka, dan kenalan saya dengan bangga cerita pernah "mengalahkan" beberapa toko China (CMIIW yah wong Minang:D).
Banyak lagi kisah lainnya. Gak cuma di antara mereka, di antara orang-orang kita pun yang namanya nepotisme, entah itu perkoncoan dll, sudah sering terjai. Masak kalo ada bisnis, dan kita disuruh milih antara teman dan orang lain, sedangkan kualitas plus servisnya beda-beda dikit, maka kita ngorbanin teman? Masak sih kalo ada lowongan di kantor kita, dan kita punya kuasa menentukan, terus suruh milih antara kenalan kita dan orang lain, dengan kualitas gak beda jauh, kita pilih orang lain? Dan bla bla bla.
Saya dah pernah berkunjung ke puluhan pabrik, dan saya lihat fenomena nepotisme sendiri. Apakah semuanya salah? Ada yang salah dan ada yang gak. Yang salah tuh di antaranya, kalo potong kompas, gak capable dll. Bisnis kan pada dasarnya adalah suatu networking. Tanpa network yang bagus susah untuk sukses berbisnis. Coba deh tanya ke pak ustad. Tapi yang namanya networking, silaturrahmi dan nepotisme adalah intinya podo wae. Hanya saja nepotisme adalah efek buruk dari penerapan sifat jaring laba-laba ini.
Kini bisakah umat Muslim memiliki persaudaraan dan networking yang lebih kuat dari etnis China? Kita sudah punya konsep bagus yang namanya Moslem Brotherhood (Ikhawanul Muslimin) serta konsep silaturrahmi. Semua umat Islam bersaudara dan wajib saling bantu. Umat Islam itu ibaratnya saru kesatuan tubuh. Kalo salah satu bagian tubuh sakit, maka semua akan merasakan sakitnya. Sayangnya, akhir-akhir ini, memang penerapan dari konsep yang mulia masih lemah. Terbukti justru kita malah sibuk sendiri dalam pergulatan akan perbedaan yang ada, bukannya mengedepankan visi yang sama dalam membangun umat. Untuk urusan silaturrahmi agaknya Pak ustadz yang lebih berkompeten untuk menjelaskannya.
Itu aja sharing-nya. Yang jelas intinya balik ke perlunya memaksimalkan networking, silaturrahmi di antara sesama Muslim. Etnis China dengan sebarannya di penjuru dunia, telah membuktikan kesuksesan filosofi networking mereka. Gimana nih kira-kira ke depannya tentang penerapan konsep mulia milik kita sendiri yang kini masih lebih banyak jadi wacana belaka?
Wassalaam,
Papa Fariz
Web Blog: http://papafariz.blogspot.com
FS Account: boedoetsg@yahoo.com
No comments:
Post a Comment