Posted: 5 September 2007
Assalaamu 'alaikum,
Kagak sangke, minggu lalu ternyata di antara kerumunan banyak orang, ada seorang pelarian NS-man dari camp Mandai, berjalan-jalan di Orchard sambil menenteng SAR-21 riffle lengkap berikut amunisinya. Masih untung, doi yang bau kencur itu cuma anak iseng yang bawa kabur senjata buat iseng-isengan. Coba kalo doi itu seorang psikopat seperti Mr. Choi di Virginia, bisa habis deh banyak orang di Orchard minggu lalu. Singapore yang konon katanya pengamanannya ketat karena didukung oleh wilayahnya yang seupil, ternyata bisa kecolongan juga oleh anak bau kencur. Apakah ini keteledoran yang tak disengaja dan kebetulan ataukah memang ada kerapuhan di sistem mereka? Gak kebayang kalo yang melakukannya konon orang ang dicap teroris, kalau memang teroris benar-benar ada.
Tapi yang bagus, seperti biasa, berita berbahaya seperti ini tidak diluluskan sensor untuk dikonsumsi oleh masyarakat umum, sampai persoalan itu tuntas diselesaikan. Alasannya apa lagi kalau bukan untuk mencegah kepanikan yang tak perlu di masyarakat. Kebayangkah anda, kalau masyarakat tau, lantas panik di sana-sini, ujung-ujungnya bisa berimbas ke hal ekonomi karena masyarakat jadi enggan keluar rumah untuk berbelanja maupun makan di luar. Bahkan kelalaian ini pun bisa menjadi amunisi politik untuk menembak sistem pengamanan maupun kinerja Pemerintah.
Bayangin lagi deh kalau kejadiannya ini terjadi di Jakarta. Udah pasti dalam hitungan menit, di Detik.com dan media online lainnya, serta di Radio macam Elshinta, akan langsung dirilis beritanya. Kemarin saja ada mbak-mbak yang rambut sedengkulnya dipotong oleh orang iseng di bus, bisa menjadi berita heboh, dan boleh jadi menjadi headline di koran kuning sekelas Lampu Merah, Pos Kota, Rakyat Merdeka dll. Emang negeri kita kreatif banget dalam mencari berita, sampai-sampai berita kecil tentang rambut dipotong saja rame-rame diwartakan, bahkan berita-berita sampah macam aktivitas selebritis selalu digaungkan via tayangan infotaintment.
Berita-berita kadang memang perlu dipilah, dan serta ditimbang manfaat dan mudharatnya sebelum dirilis ke masyarakat. Gak semua orang perlu tau semua berita. Konsep begini sepertinya gak demokratis dan "melanggar" HAM orang untuk mendapat kebebasan mengkonsumsi berita. Namun sebenarnya manakah yang lebih penting, untuk kasus tertentu, apakah demokrasi bebas dan HAM atau kemashlahatan umum? Dulu sebenarnya, sebelum era reformasi, kita sudah punya konsep yang lumayan dalam bentuk Deppen. Namun sayangnya Deppen disalah-gunakan hanya sebagai corong untuk Pemerintahan yang berkuasa, dan mengkorupsi terlalu banyak realita yang perlu diketahui oleh rakyat.
Apa pun alasannya, IMHO, kebebasan yang kita nikmati di era reformasi ini adalah anugerah Allah yang tak ternilai harganya dan tak bisa dinilai dengan uang. Tapi kenapa sepertinya terkadang kita kebablasan menerjemahkan apa yang namanya demokrasi dan kebebasan itu menjadi bebas tak terbatas. Pemerintah yang kuat tetap diperlukan untuk mengontrol apa yang namanya kebebasan. Orang boleh sama hitam rambutnya, namun pikirannya beragam satu sama lain meskipun orang itu adalah kembar identik. Apakah kita harus dengar pendapat semua orang dalam menentukan suatu kebijakan? Bisa-bisa kita bingung mau kemana. Ke kiri dihantam orang, ke kanan digetok yang lain. Mundur ditendang , maju pun ditahan.
Emha Ainun Najib bilang, kita ini masih tenggelam dalam euforia kebebasan tanpa batas setelah berada dalam kungkungan suatu rezim selama puluhan tahun. Ibaratnya kita seperti orang yang bangun kesiangan, terkaget-kaget melihat mentari sudah di atas kepala. Sudah saatnya Pemerintah harus lebih kuat dan berani. Setiap kebijakan itu ada pro dan kontranya, dan gak mungkin memuaskan semua orang. Biarin aja orang protes, karena itu sudah hak mereka, namun selama kita punya alasan kuat atas kebijakan itu serta lebih banyak manfaat daripada mudharatnya, the show must go on. Gak seperti kasus tol JORR, yang kemarin dinaikkan pukul rata ke 6000 ribu rupiah, eee besoknya setelah dihujat sebagian orang, dikembalikan ke tarif lama. Suatu langkah konyol yang menyiratkan ketidakmatangan pengambilan keputusan yang sekaligus menjatuhkan wibawa pihak otoritas sendiri. Ini malah kebalikan dari cerminan Pemerintah yang kuat.
Pengontrolan berita memang menjadi salah satu upaya dan cermin dari Pemerintah yang kuat. Meski kalau kebablasan justru malah jadi senjata pengekang kebebasan yang sama sekali tidak kita inginkan. Terlalu ketat sangat tidak baik dan berpotensi pengkorupsian berita untuk kepentingan kalangan tertentu. Namun terlalu longgar juga sangat tidak baik, karena mau gak mau berita-berita rubbish pun yang mungkin gak berguna sebagai nutrisi otak kita, harus kita telan pula. Seperti kata di dalam salah satu hadits, makanlah setelah lapar dan berhentilah sebelum kenyang. Jadi setiap sesuatu itu yang bagus memang yang berimbang termasuk dalam berita ini. Dan menyensor berita itu juga perlu, karena hadits juga menyuratkan apabila datang berita dari "pihak luar" janganlah lantas ditolak namun jangan pula lantas dipercaya. Konsep penyensoran sudah ada, dan itu demi kemashlahatan yang lebih besar, so why not kita menjalankannya?
Wassalaam,
Papa Fariz
Web Blog: http://papafariz.blogspot.com
FS Account: boedoetsg@hotmail.com
No comments:
Post a Comment