Posted: 26 Agustus 2007
Assalaamu 'alaikum,
http://id.wikipedia.org/wiki/Minyak_tanah
http://en.wikipedia.org/wiki/Kerosene
Orang Indonesia keren euiyyy. Meski baru bisa bikin jet sekelas yang ber-propeller, tapi taukah anda sesungguhnya kita punya "jet-jet" sungguhan di rumah kita. Bagaimana tidak, hampir semua dapur rumah orang kite terisi dengan kompor yang berbahan bakar minyak tanah. Minyak tanah, demikian dalam bahasa kita, terkesan agak norak, tapi cobalah anda convert ke English, maka ia akan punya nama keren "Kerosene". Dan taukah anda apakah kerosene itu?
Kerosene adalah kelas ningrat dari penyulingan minyak bumi. Massa jenisnya ringan, dan warnanya transparan. Kalau disuling lebih lanjut maka dia dapat digunakan sebagai bahan bakar jet temput dengan beragam nama sesuai dengan grade-nya, apakah itu Avtur, JP-1 dst bahkan RP-1 yang dibakar dengan oksigen cair sebagai bahan bakar, bukan lagi jet, melainkan roket. Dan memang saat ini umumnya kerosene, yang punya nama katro minyak tanah, dipakai sebagai bahan bakar pesawat terbang. Namun di kita, ternyata di kalangan kita hanya mentok di dapur saja, dan harganya gak lebih dari 2000 rupiah per liter. Hebat bukan, betapa high class-nya sesungguhnya kita semua ini, sampai-sampai hampir tiap rumah punya jet tempurnya masing-masing.
Sudah barang tentu penyulingan kelas ningrat ini tidak berbiaya murah. Wajarlah kalo akhirnya subsidi bahan bakar jenis ini mencapai puluhan trilyun rupiah. Kini hal ini menjadi buah simalakama dan menjadi isu nasional yang diributkan di sana-sini. Sayangnya isu itu tidak menyentuh apa dan bagaimana sebenarnya minyak tanah itu. Melainkan yang diributkan semata hanyalah kelangkaan minyak tanah dengan segala derita rakyat akan kelangkaan hal ini.
Masalah minyak tanah memang membuat kita maju mundur. Pemerintah sudah gak tahan lagi dengan subsidi yang puluhan trilyun itu. Namun masalahnya semua kita cuma punya kompor minyak tanah. Kalau diminta kesadaran untuk berganti ke LPG, tentulah penentangan dengan sendirinya muncul di sana-sini. Tapi kalau dibiarkan, Pemerintah yang miskin mana sanggup harus menanggung terus-menerus gaya hidup borju para rakyatnya yang justru masih berada di bawah kemiskinan.
Pahit memang jadinya, dan mau gak mau langkah "pemaksaan" pun harus diambil. Minyak tanah ditarik dimana-mana, sehingga terjadi kelangkaan di sana-sini. Rakyat pun emradang, mereka gak peduli apakah mereka kini sedang memakai bahan bakar jet di rumah atau tidak. Yang mereka pusing kan, mereka gak bisa masak lagi dan harus antri berjam-jam. Sialnya program konversi ke gas belum dikelola secara profesional, dimana tabung gas banyak yang bocor bahkan sampai menimbulkan kebakaran dapur. Harga gas sendiri belum terjangkau oleh banyak kantong kita, karena gas memang gak disubsidi, sedangkan minyak tanah yang sesungguhnya lebih ningrat, harganya lebih murah karena disubsidi.
Jeleknya lagi, pemaksaan peralihan gas terasa kasar dan menyakitkan di mata rakyat. Siapa yang bilang ngantri itu enak? Rakyat sudah susah, janganlah dipersusah lagi. Yang amat disayangkan, Pemerintah juga gak punya taktik dan PR (Public Relation) yang bagus dan smart. Sama sekali gak ada penjelasan apa itu minyak tanah, mengapa minyak tanah harus dihentikan subsidnya, apa keuntungan pemakaian gas dan adalah kompensasi jelas dari penghentian subsidi minyak tanah ini bagi rakyat dll. Yang ditampilkan cuma pokoknya harus ganti ke gas. Emangnya kita ini negeri komunis yang mau-maunya dipaksa begitu saja untuk menuruti segala apa maunya Pemerintah tanpa mengerti apa artinya kebijakan pemerintah itu buat rakyat.
Lucunya para media massa juga gak ada yang mengulas tentang minyak tanah. Terus-menerus berita kelangkaan minyak dihebohkan. Bahkan keributan kecil di pangkalan minyak tanah juga diberitakan secara nasional. Apa jadinya kalo kita ini tiap hari direcoki oleh berita-berita minus melulu. Memang kadang media massa kita "gak punya otak", dan yang mereka pikirkan hanyalah gimana supaya acara yang mereka tayangkan selalu heboh, sehingga ditonton orang, dan itu berarti makin banyak iklan yang masuk yang berujung pada menggemuknya kantong mereka. Persetan dengan yang namanya pendidikan masyarakat, peduli apa dengan yang namanya kesejahteraan bersama. Yang penting diri sendiri untung.
Susahnya, kalo Pemerintah gak punya PR yang bagus, dan kewibawaannya sudah hilang. Repotnya kalo rakyatnya gak tau apa-apa dan "bodoh", tapi kasian terus dipaksa ini itu padahal hidup udah susah. Sialnya punya media massa yang gak cuma egois tapi banyak yang "iblis" dengan tak peduli apa itu kesejahteraan bersama tapi cuma berpikir untung sendiri (contoh lebih parah adalah kasus sinetron "iblis", baik itu yang berbau kekerasan, seksual, tahayul di layar kaca kita). Trus gimana dong baiknya.
IMHO, ada baiknya Pemerintah mengkaji lagi cara ber-PR yang baik dan smart, agar rakyat lebih sadar dan mengerti. Rakyat sudah gak bodoh lagi, dan mereka gak mau asal main dipaksa lagi. Ke rakyat mungkin perlu dihimbau kesadarannya bahwa kita ini perlu melihat skala lebih luas dan tujuan jangka panjang, bukan cuma hasil on the spot semata. Buat media massa, ya coba deh jangan egois mikir untung melulu, tapi coba deh pikirkan bahwa mereka juga punya tanggung jawab moral untuk membantu ke arah perbaikan, sebagai bagian dari fungsi sosial mereka. Kalo perlu sebagian tayangan dan berita mereka perlu dikontrol lagi.
Sinergi antara 3 pihak memang sangat diperlukan agar masalah ini bisa tertangani dengan baik. Subsidi minyak tanah yang terpenting bisa dikembalikan ke rakyat alam bentuk pembangunan real, bukan nantinya menguap di ujung kantong para bajigur penghuni kantor pemerintahan kita. Ridiculuos saja rasanya melihat fenomena saat ini, yang saling gontok-gontokan tanpa arti. Layaknya kita ini macam orang bodoh yang gak pakai otak, tapi maunya tarik urat leher dan otot tangan. Masing-masing saling bergelut tanpa tau kenapa harus bergelut dan tanpa ngerti apa yang sedang digelutinya itu.
Ini bukan sekedar misunderstanding belaka. Tapi lebih sebagai ketidakmampuan kita untuk mengelola masalah dengan baik. Itu tidak berarti bisa diperbaiki. Pastilah bisa, asalkan kita tidak egois. Orang Indonesia banyak yang pintar, termasuk mereka yang duduk di pemerintahan. Tinggal bagaimana dimaksimalkan saja supaya win win solution tercapai buat semuanya.
Ada yang punya opini lain? Monggo deh.
Wassalaam,
Papa Fariz
Web Blog: http://papafariz.blogspot.com/
FS Account: boedoetsg@hotmail.com
No comments:
Post a Comment