Saturday, October 27, 2007

Via depan or belakang, intinya sami mawon

Posted: 16 Agustus 2007

Assalaamu 'alaikum,

http://www.detiknews.com/indexfr.php?url=http://www.detiknews.com/indexphp/detik.read/tahun/2007/bulan/08/tgl/15/time/185357/idnews/817774/idkanal/10

MURI, alias Museum Rekor Indonesia, melalui Dirutnya, memberikan penghargaan kepada Polri, karena menjadi pelopor sistem perekrutan anggota yang transparan dan demokratis. Ini bisa menjadi teladan buat instansi lainnya baik negeri maupun swasta.Polri hebat yah? Outstanding ovation buat Polri. Ini akan menjadi motor pendorong penumpasan KKN, hopefully gak cuma dalam perekrutan karyawan baru, melainkan juga untuk berbagai bidang. 6 jempol buat Polri, 2 jempol lainnya, minjem jempol tangan teman saya. Tapi benarkah demikian aktualnya?

Hmm, saya kok gak yakin yaahh. I don't think so lah. So de mo nai brur, kata wong Jepung. Why? Awal minggu ini, saat dinas ke Batam, saya kembali diantar oleh Bapak paruh baya yang memang biasa mengantar saya kemana-mana selagi di Batam. Saya agak terkaget-kaget, kok mobilnya ganti, dari Nissan Sunny ke Toyota Kijang. Moga-moga kabar baik, siapa sih yang gak seneng liat orang lain seneng?

Kemajuan nih, tegur saya. Namun apa jawab sang bapak itu? Wah Pak, kalo yang sedan Nissan dulu adalah miliknya sendiri yang udah lunas, yang Kijang ini cuma rental. Mobilnya lamanya dipakai bayar utang untuk membiayai anaknya yang waktu sebelum itu ikut tes kepolisian. Ya, saya ingat, si Bapak memang pernah cerita dengan bangganya tentang keberhasilan sang anak lulus tahap demi tahap tes kepolisian. Diceritakan dari A-Z. Walau apa hendak dikata, "takdir" berkehandak lain. Anaknya gagal di tes tahap akhir, sehingga impian sang Bapak bersama anaknya pun lenyap tertiup angin.

Namun, ada yang membuat dia "bangga". Polisi sekarang "hebat" katanya, gak mau main pakai duit. Lanjutnya, dia pun pernah tanya ke polisi yang "mau bawa" anaknya, kira-kira berapa dana yang diperlukan supaya sang anak bisa gol jadi abdi negara. Memang sudah bukan rahasia umum lagi, perekrutan karyawan kita memang selalu direcoki oleh mafia-mafia brengsek yang orang dalam sendiri. Sang polisi, dengan lantang menjawab bahwa itu adalah kisah usang. Sekarang udah gak ada kayak gituan lagi.

Udah ada regulasi baru dan gak ada yang berani seperti itu lagi. Hmm, dalam hati, saya sempat buruk sangka, sambil berujar, bukankah sistem yang baru ini karena ada pengaduan dari orang-orang yang merugikan. Gak sedikit cerita, para orang tua pelamar ditembak oleh sang oknum sebesar 50-60 juta supaya anaknya lulus. Namun begitu gak lulus, sang ortu menuntut uang kembalian. Sang oknum menolak, dan akhirnya kasusnya berujung pengaduan penipuan. Whatever lah, pikir saya, yang penting kemajuan buat Polri, mau bertransparan dalam perekrutan, dan ini harus di apresiasi. Hmm.Lantas, kenapa mobil Bapak harus dijual buat bayar utang? Memang utang apa Pak? Tanya saya selanjutnya.

Oalaa, di sinilah saya baru ngerti. Ternyata Pak Polisi titip pesan supaya ngasih duit 3-5 juta, setiap kali sang anak lulus tes. Tesnya pun ada beberapa tahap. Jadi kita bisa kalikan, berapa kali 3-5 juta. Enaknya lagi, kalau dulu bawa satu orang. Sekarang kan bisa bawa beberapa orang. Saya sendiri gak tau apakah sang oknum itu memang punya power untuk menentukan kelulusan? Kalau gak ada power, berarti dosanya dua kali, dari nerima kadeudeh plus ngebohongin orang kalo dia ada power.

Halah, trus apa bedanya dengan sistem lama? Kan cuma beda cara aja toh? Yang satu lewat pintu depan, yang satu lewat pintu belakang. Tapi dua-duanya kan tetap korupsi juga pada intinya. Yang dulu 50-60 juta bayar di muka. Yang sekarang 3-5 juta bayar belakangan per tahap. Kalau ada 5 tahap itu berarti uang yang keluar adalah 15-25 juta. Itu dari satu orang saja. Coba kalo ada 10 orang, udah dapat berapa tuh? Kalo yang lama, kan doi cuma dapat dari 1 orang aja. Dan keuntungan lain dari cara baru ini, si begundal dengan mudah akan berkilah bahwa ini bukan suap.

Doi menerima setelah hasil kelulusan diumumkan. Dan apa yang dia terima adalah uang terima kasih dari pada klien-nya. Emang salah gitu kalo kita menerima uang terima kasih? He he, dasar kutu kupret yah. Enak banget dia bisa berdalih. Kasian tuh orang kecil yang lagi-lagi kena tipu. Bapak yang satu ini kerjanya cuma sopir, yang setengah mati narik, dan dapat bersihnya juga gak seberapa, mungkin 100 ribuan lebih dikit. Uang 15 juta itu dah gede banget buat dia. Saya tau selama 5 tahun, dia setengah mati nyicil mobil itu. Tiap saya datang, selalu cerita bahwa cicilannya tinggal sekian bulan lagi. April ini dia bahagia, sambil berkata Pak, bulan depan cicilan mobil saya lunas. Uang tarikan harian, bakal jadi milik dia semuanya, karena dia gak perlu nyetor-nyetor lagi.

Tapi bagaimana dengan si begundal oknum itu? Enak banget kan, tinggal narik uang aja tanpa perlu kerja keras? Saya pun menyaksikan sendiri, ketika suatu ketika sang bapak itu minta ijin ke saya beberapa menit ke suatu tempat untuk menyerahkan uang 1,5 juta rupiah ke si bajigur polisi itu. Katanya kemarin ditelpon, dan bapak itu baru bisa dapat utangan 1,5 juta. Yang sisanya nanti dia mau cari-cari lagi. Cuma dia udah seneng aja, soale anaknya lulus melulu di seleksi polisi. Gak tega saya lihatnya. Mau ngelarang juga gimana. Jahanam banget nih begundal, umpat saya dalam hati. Dan feeling saya benar, sang Bapak memang akhirnya "ketipu" juga.

Secara logika, dulu di sistem lama, sang polisi banyak dapat cemilan. Terus ganti sistem, apakah sampeyan bisa membayangkan, keberadaan sistem baru ini dapat menghilangkan cemilan pak polisi? Trus dari mana pak polisi harus menutupi life style nya yang sudah telanjur tinggi kini, karena dulu banyak dapat cemilan? Emang mudah gitu ngerubah life style dari banyak duit ke gak banyak duit? He he pepesan kosong brur. Itu sama kisahnya dengan seorang pelacur yang berhenti melacur karena setengah hatinya mau tobat. Tapi begitu kerja bener penghasilannya ngepas dan gak mampu memenuhi gaya hidupnya, akhirnya sang pelacur balik lagi ke profesi lama.

Kisah "brengsek"nya Pak polisi pernah saya alami sendiri. Suatu waktu, istri saya habis masa berlaku SIM-nya. Mau gak mau, harus ke Samsat Daan Mogot tuk bikin baru karena telat perpanjang. Lama gak ke Samsat, saya kagum banget. Bersih booo, gak ada lagi calo-calo liar yang berkeliaran di sana-sini. Istri saya pun ikut jalur normal. Namun apa lacur, gak lulus tes tertulis. Bukan apa-apa, gimana kita mau belajar, wong buku peraturan lalu lintas plus kisi-kisinya sangat amat sulit ditemui di toko buku Jakarta. Berat sekali mengandalkan feeling, kalo syarat kelulusannya 90% harus betul jawaban tes itu.

Akhirnya saya coba cari tau, dengan minggir-minggir ke pojokan di kantin Samsat, Di situ ada koperasi polisi. Saya pun ngobrol-ngobrol dengan yang jaga situ. Apa komentar dari yang jaga? Bapak mau ikut 1000 x tes juga percuma. Yang lulus cuma sepersekian sekian persen saja Pak. Akhirnya toh, para peserta lari ke sini-sini juga, alias ke koperasi polisi itu. Bajigur, kutuk saya dalam hati. Dengan "hati menangis" mau gak mau saya bayarin deh biaya biar istri lulus. Bundanya anakku udah pake kendaraan beberapa tahun, gak lucu dong, masak gak lulus perpanjangan tes. Yang bikin jengkelnya ternyata di set up begitu, biar para peserta nyari ke koperasi ini.

Bukan apa-apa brur, kita ini orang kerja, yang punya waktu sedikit. Kebayangkah anda, kalo kita lewat jalur normal trus kudu bolak-balik ke Samsat sana yang macetnya amit-amit. Trus kerjaan kita siapa yang ngurus? Trus apa kita boleh seenaknya ngambil cuti melulu hanya untuk urusan yang sengaja diperpanjang oleh orang lain? Tau gak, ketika besoknya ikut tes tertulis, bunda dan beberapa orang dibekali amplop dan suruh nemui Pak polisi yang berdiri di lokasi tertentu di Samsat. Di situ, kata Bunda, mereka digiring ke kelas khusus, yang ternyata udah full oleh peserta lain. Ketika tes tertulis akan dimulai, Pak polisi yang jaga bilang, tes tertulisnya mau pake soal apa gak? He he, kutu kupret. Kagak pernah baca soal ujian, kok bisa lulus ujian. Bersih dari calo-calo liar memang bagus. Tapi ternyata ada "maksud lain".

Calo liar dibersihkan agar jalur pengurusan lebih tertib dan lewat satu pintu, yakni koperasi polisi. Dulu calonya orang kecil yang setengah mati cari duit buat makan. Namun sekarang calo berseragam lewat orang-orang sipilnya. Tapi apa bedanya? Dua-duanya kan sama-sama calo, cuma beda yang satu pakai seragam dan yang satu gak. Dulu sewaktu masih ada calo liar, saya lihat sendiri, sang calo CS-an banget sama polisi di Samsat. Dan tau kah anda, udah jadi rahasia umum, Samsat juga harus nyetor ke Mabes sekian angka per harinya. Jadi kepala Samsat juga gak mudah, katanya sih tergantung besarnya setoran.

Itu katanya, dan saya gak pernah punya bukti kuat atas rumor ini, namun semua orang sudah tau. Gak usah cerita tentang kelakuan si begundal berseragam coklat di jalan. Kisahnya terlalu panjang dan terlalu banyak. Emang hipokrit banget negeri ini. Capek dehhh. Mau peraturan dibuat kayak gimana, sebagus apa pun, para kunyuk mafia tetap saja berkeliaran. Mereka gak akan menyerah, dan selalu punya cara untuk mengakalinya. Maling memang lebih pintar dari polisi. Memang capek kalo denger berita apalagi ngurusin tentang kebrengsekan, bahkan hamba hukum, sekalipun. Biarin aja deh EGP.

Mau gimana lagi? Kalau kita punya kekuatan, ubahlah dengan tangan. Kalau gak mampu, dengan ucapan. Kalo gak mampu, ya berdo'a saja, karena itulah selemah-lemahnya iman. Kalau jengkel, ya nikmatin ajalah. Tapi jangan pernah menyerah untuk menegakkan kebenaran, Kalau ada kemauan di situ ada jalan. Hati saya "menangis" karena dulu terpaksa ngasih KKN itu, suatu hal yang saya benci. Tapi itu karena dipaksa oleh sistem.

Sistem ini lah yang harus dirombak total. Orang-orangnya diperbaiki, tapi IMHO, hanya bisa dari generasi berikutnya, Itu semua haruslah dimulai dari pendidikan di saat mereka masih kanak-kanak. Kalo pendidikannya saja, maksudnya kurikulum, lingkungan dll, dah gak bener, jangan harap ketika sudah tua, sang anak bakal jadi bener. Udah tua udah keras otak dan wataknya, udah susah dibentuk lagi.

So, didiklah anak sebaik-baiknya, agar bangsa kita jadi bener di masa depan. Gak apa, generasi kita yang merasakan pahitnya. Nikmati aja, toh hidup ini hanya sekali. Ada yang punya pengalaman serupa atau opini lain? Mohon tidak di generalisir bahwa semua penegak hukum itu adalah begundal. Banyak kok yang baik. Kalau ada YIN (buruk), tentulah ada YANG (baik). YANG ada karena ada yang disebut YIN. Hanya saya pusing, kalo disebut oknum, kenapa jumlahnya banyak? Setau saya penyebutan oknum hanya untuk hal yang partikular dan sedikit jumlahnya. Kalau sudah banyak jumlahnya, bukankah daripada disebut oknum, lebih pantas disebut "kebrengsekan terorganisir yang tidak diakui secara organisasi"?

Wassalaam,

Papa Fariz
Web Blog: http://papafariz.blogspot.com
FS Account: boedoetsg@hotmail.com

No comments: