Naik mobil sambil ber-ponsel ria? Suatu kebiasaan baru yang menjengkelkan apabila sang mobil tersebut
ada di depan kendaraan kita. Fenomena ini sering kita jumpai di berbagai kota besar di dunia, termasuk
di Jakarta. Acap kali di Jakarta, saya kadang dibuat jengkel karena mobil di depan kami tiba-tiba melambat.
Otomatis, tentunya mobil lain di belakangnya jadi ikutan melambat pula. Sedikit banyak, apabila waktu
perlambatan itu diakumulasi, ini juga menjadi salah satu penyebab kemacetan. Berbicara di ponsel saat
berkendaraan memang berbeda dengan bicara dengan orang yang duduk di sebelah kita. Kalau bicara
dengan orang di sebelah, pandangan dan pikiran kita masih bisa terfokus ke jalan selagi memegang kemudi.
Namun bicara via ponsel lain, seringkali pikiran kita malah jadi gak konsen mengemudi. Sama-sama bicara,
namun fokus dan konsentrasi bisa beda, ada yang tau sebabnya? Apakah stir satu tangan dengan tangan
lain mengangkat ponsel, juga bisa dianggap salah satu penyebabnya?
Adakah solusi untuk hal ini? Tentu saja ada. Contoh bagus diterapkan di Singapore. Apabila kita hendak
berponsel sambil berkendaraan, maka kita wajib memakai earphone, sehingga stir masih bisa kita pegang
secara stabil dengan kedua tangan kita. Mau coba ngangkat ponsel selagi nyetir? Silahkan saja, dan kalau
kebetulan kepergok Pak Polisi di negeri Singa ini, "habislah kita". Konon katanya, selain kena tilang yang
nantinya berefek pada pengurangan poin di SIM dan mungkin juga denda uang (CMIIW), handphone kita
pun gak ada nego, bakal disita (confiscated) oleh Pak Polisi. Gak peduli HP kita baru beli dan mahal banget,
pokoknya disita dan gak bakal dikembalikan. Ini cukup membuat efek jera. Mau nyogok Pak Polisi?
Jangan coba-coba, karena hukuman anda akan ditambah dengan tuduhan penyuapan kepada aparat negara.
Bisa kah kira-kira peraturan dengan efek jera diterapkan di Indonesia? Sebenarnya bisa, dan banyak yang
aturannya sudah ada. Namun sayangnya penegakannya masih lemah. Pak Polisi pun banyak yang ngincer
nego di jalan, karena ini bakal jadi tambahan nafkah buat mereka. Gak salah, institusi kepolisian ditempatkan
sebagai lembaga terkorup oleh salah satu LSM, selama 3 tahun berturut-turut di atas Parpol, DPR dan
Pengadilan. Orang kita pun banyak yang mau cari gampang. Yang penting cepat selesai dan beres, apalagi
ongkos nyogok lebih murah dari penalti yang sebenarnya. Perkara apakah ini menyuburkan KKN, banyak
yang gak peduli. Pemberantasan KKN padahal seyogyanya selain dengan penegakan hukum juga harus
ditunjang oleh kemauan kita untuk menolak "memasarkan dan membesarkan KKN". Susah juga jadinya.
86 aja deh, 86, lagi sibuk dan buru-buru nih Pak. Pak Polisi pun ngerti, karena 86 itu berarti damai.
Tapi ada satu hal yang kadang bikin saya cukup tercengang di Jakarta. Kalau untuk pengemudi mobil,
compulsory dari pemakaian earphone bisa menjadi solusinya, bagaimana dengan pengendara sepeda motor.
Yang bikin saya kagum dan shock, orang kita banyak yang berakrobat, sambil ngebut naik motor dengan
satu tangan, mereka berponsel ria dengan tangan yang lain. Ck, ck, hebat banget brur. Valentino Rossi
juga kalah kayaknya. Kenapa yah mereka gak berhenti sejenak, lalu berponsel ria, atau kalau waktu
berponsel bakal panjang, bisa bilang, nanti tolong telpon lagi, ini lagi naik motor di jalan. Kenapa gak
terpikir seperti itu? Apakah harus nunggu jatuh dan celaka dulu, lantas baru nyadar? Ini mungkin karena
pemikiran kita yang maunya semua serba gampang dan instant sehingga malas berpikir dan menelaah
apakah yang kita lakukan baik atau gak, apakah kita mau mencegah sesuatu yang buruk atau gak. Biasanya
setelah kejadian barulah menyesal, padahal nenek kita sudah berpesan "Sesal Kemudian Tiada Berguna".
Yang hebat lagi, naik motor, tangan yang satu megang ponsel, tangan yang satunya lagi megang rokok.
Hebat abiss, ngebut sambil ngerokok dan berponsel ria. Kira-kira sudah ada kasus atau belum yahh,
kecelakaan akibat berponsel saat naik motor ataupun mobil?
Demikianlah, kebiasaan kecil yang kadang mengganggu, walau sebenarnya kebiasaan kecil itu sejatinya
adalah cerminan dari diri dan kepribadian kita. Kira-kira apa yah solusinya? Untuk orang negeri tropis,
yang sifatnya santai dan malas, stiff punishment adalah jawabannya. Namun kalau penegak hukumnya
juga main mata dan gak konsisten, otomatis stiff punishment ya gak jalan. Dan sialnya orang kita pun
memang udah tuman, dan selalu mau enaknya karena sudah bawaan lahir. Pengendara motor disuruh
di lajur kiri, nyatanya cuma dituruti seminggu saja, setelah itu balik lagi. Kaki Lima dibersihkan, eee besok
datang lagi. Yang adu kebut dirazia, besoknya nongol lagi. Capek deh Pak Polisi, emang kerjaan mereka
cuma ngurusin itu doang. That's why penegakan hukum haruslah diikuti oleh kesadaran dan kedisiplinan
kita. Dan ini larinya, balik lagi, ke masalah pendidikan dan pembinaan mental kita.
2 comments:
Sebuah himbauan ringan tapi sangat bermanfaat. Selalu menjadi "lampu pengingat". Salam kenal, keep sharing and keep blogging :)
Donny Oktavian Syah
Papa Fariz, blogmu itu gregetan banget sama ulah polisi. sih? Tapi percayalah mereka nggak bakalan berubah. Ndablegh, gitu. Lagi pula, kayaknya belum ada yang ngusulin agar polri dilikuidasi atau dibubarin aja. Lembaga kamtibmas kok kayak kandang super preman !
Post a Comment