Posted: 4 April 2006
Assalaamu 'alaikum,
Partai biru berlambang matahari putih, kini sedang kalang kabut dengan adanya tudingan bahwa petinggi partai
tersebut "bermain asmara" dengan seorang selebritis hingga rumah tangga sang wanita pun kini diambang hancur.
Benar atau tidaknya rumor tersebut belumlah clear, namun yang jelas proses talak tiga kini sudah meningkat ke pengadilan.
Perselingkuhan, teman tapi mesra, prostitusi dll, suatu fenomena yang apa pun namanya, memang merupakan
suatu metamorfosis kata dengan gaya bahasa eufimisme. Semuanya bermuara pada satu hal, dan sebenarnya intinya
sama, yakni ZINAH atau PERZINAHAN. Sayangnya fenomena ini sudah bukan dianggap tabu lagi di masyarakat
urban negeri kita. Kalau dulu, orang yang berzinah ini bisa-bisa diarak bugil keliling kampung, kini malah banyak
yang tanpa malu-malu untuk hidup seatap tanpa ikatan resmi pernikahan.
Istilah TTM (Teman Tapi Mesra), SLI (Selingkuh Indah), HTS (Hubungan Tanpa Status) dll agaknya kini makin akrab
di telinga masyarakat kota. Fenomena "zinah dkk" mulai dianggap biasa dan kini sudah gak dikecam lagi atau dipandang
sebagai suatu aib sosial, malah dibiarkan saja dengan alasan itu kan hak asasi manusia dan privasi orang, boleh dong
suka-suka dia, toh dia gak mengganggu orang lain. Apanya yang salah? KUHP pun tidak mengatur tentang hal itu,
dan zinah dkk ini baru bisa ditindak dengan hukum apabila ada paksaan (baca: pemerkosaan) atau ada pihak yang merasa
dirugikan.
Saya jadi teringat tentang curhat dari rekan yang orang negeri jiran, mengenai kehancuran rumah tangganya karena kasus serupa.
Dia, yang seorang Chinese muallaf, 17 tahun yang lampau, telah membina rumah tangga selama 17 tahun pula.
Namun langgengnya perkawinan yang sedemikian lama pun ternyata tetap tak mampu membendung godaan maut
rekan sekantor istrinya terhadap sang istri. Istrinya yang sudah berkepala empat, dari semula cuma makan bareng dan
tempat curhat pemuda rekannya yang belasan tahun di bawahnya, akhirnya terjerumus ke dalam lingkaran setan SLI,
hingga dengan tega mengorbankan rumah tangga dan menafikan keberadaan 3 anak mereka. Tragis memang tapi
itulah realita kehidupan (makanya yang punya istri kerja, istrinya dieman-eman yah, jangan biarin kucing-kucing
pada ngelirik istri kita).
Pernah suatu ketika dia pergi ke counselling seorang ustadz, menanyakan tentang hal perzinahan. Perkara zinah tak
mudah. Hukumannya berat, bahkan sampai dirajam segala. Namun untuk menuduhnya kita harus punya 4 orang saksi.
Yakni 4 orang saksi yang menyaksikan adegan langsung itu. Tuing, tuing, teman saya pening, kalau berempat, itu
bukan ngintip, melainkan nonton bareng-bareng. Memang perkara ini tak mudah, tergolong berat dan tak boleh
asal main tuduh. Dulu, di zaman rasul, justru sang istri yang berzinah yang melapor dan minta dirajam, agar hukumannya
di akhirat nanti diringankan. Namun jangan tanya untuk masa sekarang, gak akan ada yang mau mengakui, bahkan
kita udah bosan liat orang bersumpah-sumpah tidak berzinah, walau semua tau dia melakukannya. Bahkan kini
hukum rajam untuk para penzinah pun dianggap terlalu keji, brutal, tidak bermoral, tidak menghormati HAM dll.
Dia bingung tentang perkara rumit ini, namun bukti-bukti sudah cukup buatnya, dan akhirnya memang rumah tangganya
tak dapat diselamatkan lagi. Cerai, pilihan pahit yang diambilnya, karena memang sang istri sudah cinta buta,
bahkan berniat mengawini kekasih mudanya itu. Bingung, gak ngerti dalilnya dan bagaimana selanjutnya.
Lantas, bagaimana duduk perkara hal zinah ini di dalam agama?
Then, bagaimana lembaga keagamaan dan pemegang otoritas menyikapi kasus di masyarakat yang sebenarnya,
apapun namanya tetaplah zinah (entah itu selingkuh, prostitusi, TTM dll)?
Apakah kini memang sudah zamannya, agama gak perlu lagi mengatur-atur hak-hak individu, dan itu kan privasi
mereka serta biarkan mereka mempertanggungjawabkannya di hadapan Tuhannya sendiri?
Apakah "globalisasi" mengharuskan mengorbankan nilai-nilai agama dengan memaksa agama menuruti kemauan
"globalisasi" itu? "Globalisasi" itu sendiri apa sih? Ataukah globalisasi sesungguhnya yang harus diselaraskan dengan
nilai-nilai agama yang sudah ada?
Hmm...apa lagi nihh...Pertentangan lagi kah antara yang ingin bebas dan yang ingin ikut aturan?
Wallahu 'alam bissawab.
Wassalaam,
Papa Fariz
No comments:
Post a Comment