Posted: 6 April 2006
Assalaamu 'alaikum,
Dear brur and sis, saya muat 3 tulisan berantai yang dimuat sejak Selasa lalu, di salah satu harian Ibukota. (baca mulai dari artikel terbawah).
Isinya berkisar mengenai Iptek dan kondisinya di Indonesia yang kini mencapai titik nadir. Padahal Iptek ini sangat diperlukan
sekali dan juga diandalkan untuk membawa bangsa keluar dari keterpurukan saat ini. Apabila kita mampu menguasai Iptek dengan baik,
tentunya diharapkan pengolahan sumber daya alam kita dapat kita tangani sendiri. Minimal kita gak akan "dibodoh-bodohi" oleh
bangsa yang lebih maju dari kita. Saya teringat kata-kata sensei saya semasa di Poltek dulu. Kata Sensei saya, Jepang tidak akan pernah
mau melakukan alih teknologi secara total dan "jujur" ke negara lainnya. Karena itulah modal utama kami. Kami gak punya apa-apa.
Apa sumber daya alam yang dihasilkan oleh Jepang? Kami cuma punya teknologi. Kalau negara berkembang yang punya sumber daya alam
sendiri menguasai teknologi seperti kami atau kami mentransfer total ke mereka, habislah kami. Buat apa diproduksi di Jepang, kalau
mereka mampu menanganinya sendiri. TEKNOLOGI is POWER, begitu tutupnya.
Secara potensi SDM, bangsa kita yang berjumlah 220 juta jiwa, insya ALLAH gak kalah dengan bangsa manapun. Sudah berulang kali
olimpiade sains, baik fisika, komputer dll berhasil dengan mudah dikangkangi oleh putra negeri kita. Secara bibit dan potensi, kita gak kalah.
Bahkan konon katanya, banyak pula "orang-orang pintar" kita yang kini berkeliaran di penjuru dunia dan terkenal kecerdasannya.
Habibie sekali pun kini lebih betah untuk menghabiskan hari tuanya (dan mungkin ilmunya) di negeri Jerman, karena alasan khusus tertentu.
Bibit dan potensi sedemikian besar, lantas mengapa pada akhirnya kondisi bangsa kita tetap terpuruk dan perkembangan Iptek di sini
kelihatan mandek alias jalan di tempat. Banyak faktor yang terlibat, salah satunya adalah hal REWARD dan APRESIASI terhadap "orang pintar".
Sudah banyak saya temui, rekan-rekan saya yang dulu pernah menuntut ilmu di negeri Sakura, yang seharusnya kembali ke instansinya
masing-masing, namun ternyata malah "mabur" dan nangkring di perusahaan manufakturing swasta Jepang. Salahkah mereka?
No comment, namun saya pribadi sangat bisa memahami alasan mereka. Mereka juga manusia (bukan cuma rocker yang manusia:p).
Lebih dari hal loyalitas, yang mereka butuhkan adalah reward berupa FULUS alias MONEY alias UANG. Kerja sebagai PNS di instansi
tertentu, hanya dapat gaji pokok 1-1,5 juta perak, meskipun telah capek-capek menuntut ilmu sampai S3. Mana tahan brur, sedangkan
fresh graduate engineer, yang cuma lulusan S-1 di sana saja bisa dapat 2-3 juta. Goyang Ngebor kalau malam tahun baru sanggup
meraup uang sampai 40 juta!!! Gak sedikit artis sinetron, yang sekali main untuk sinetron durasi 1 jam/minggu, mengantongi fulus
senilai 50-100 juta/episode!!! Jangan heran, kalau orang kita banyak yang jadi berpikir instanst, daripada mendidik anak jadi engineer,
mending lebih baik ngikutin dia aja ke AFI, Idol dll deh. Udah ngetop, fulusnya beratus-ratus juta. Banyak juga yang lebih cenderung
mengarahkan anaknya untuk pendidikan ke bidang finansial dan ekonomi. Apalagi kalau bukan karena alasan lapangan pekerjaan di situ
lebih baik, gaji lebih baik dan tempat lebih baik dll. Lagi-lagi FULUS kan???
Bisa dibayangkan gimana kalo kita jadi orang yang payah-payah ikut pendidikan tinggi namun bergaji sedemikian kecil? Sakit hati rasanya.
Gak salah, kalau banyak rekan saya itu yang akhirnya banting stir, mabur dari ikatan dinasnya di instansi pemerintah. Mereka bisa jadi
manajer di perusahaan swasta dengan gaji di atas 7 juta per bulan, belum termasuk insentif lainnya. Ada pula yang jadi interpreter, daripada
gak jadi apa-apa, tukas mereka. Jadi interpreter lumayan, bisa mengantongi 300-500 ribu per hari. Memang dipikir-pikir sayang sekali.
buat apa mereka sekolah jauh-jauh kalau ilmunya tidak terpakai dan tidak bisa diabdikan? Dana utang buat menyekolahkan mereka gak
sedikit, sekitar 200 juta/orang/tahun. Kalau pendidikan 5 tahun, mereka menghabiskan 1 milyar/orang. Trus kalau dididik tinggi-tinggi
cuma jadi interpreter, tentunya gak perlu mengirim mereka kan? Ada pula yang berkilah mau di overseas dulu untuk menerapkan ilmu
yang didapatnya. Mudah-mudahan niat mereka selalu lurus dan semata untuk Iptek yang nantinya bisa diabdikan ke nusantara.
Namun ada pula yang mengeluh, balik ke instansi, GAK ADA DANA PENELITIAN, GAK ADA FASILITAS PENELITIAN
DAN GAK ADA KEJELASAN PROGRAM PENELITIAN. Gimana mau neliti, dananya gak ada, fasilitas lab juga kurang, terus
arahan untuk kemana juga gak jelas. Ada yang cerita pula, projek atau planning dalam setahun, selesai dalam 3 hari. Itu bisa berarti
teman saya itu luar biasa pintar, bisa pula planning instansinya terlalu sedikit. Akhirnya karena bengong-bengong dengan gaji gak seberapa,
sedangkan anak isteri butuh nasi, dia cabut juga ke perusahaan swasta. Yang menanyakan kabar minta dikenalkan job sambilan
sebagai interpreter juga ada. Yahhh, mereka juga manusia kok, dan apa yang mereka lakukan manusiawi sekali, mengenai benar
atau tidaknya silahkan menilai sendiri.
Yang lebih penting dari itu, bukan ke individunya, namun bagaimana kejelasan arahan perkembangan Iptek plus implementasi
dan penerapannya ke masyarakat. Dan bagaimana apresiasi dan reward terhadap para ilmuwan. Di Singapore, gaji Assoiate Profeesor
bisa sekitar 60 juta-an per bulan. Gaji professor, konon bisa mencapai 250 juta per bulan. Itu belum termasuk insentif lainnya.
Kerja di lembaga penelitian sini, bisa dapat 50 juta-an per bulan. Dan itu semua di atas rata-rata gaji orang sini. Di Jepang,
dana penelitian sedemikian besarnya. Setiap professor, selain mengajar juga punya lab sendiri-sendiri. Selain dapat dana bantuan
dari pemerintah, gak jarang mereka bekerja sama untuk melakukan penelitian bersama dengan dunia industri. Itu berarti dana tambahan
akan mengalir ke kantong lab tersebut, sehingga dapat lebih melengkapi fasilitasnya. Semasa kuliah dulu, kalo saya mau praktikum,
dan butuh bahan ini itu, tinggal buka katalog dan pesan saja. Biayanya? Gak usah pusing, udah ditanggung semua kok. Namun bunda
anak saya, yang saat bikin skripsi juga melakukan praktikum dan penelitian, harus menguras kocek sendiri.
Uang memang bukan segalanya. Namun kalo ada TAKE AND GIVE yang FAIR dan REWARD yang memadai, why not?
Kalau memang program penelitian dan pengembangan Iptek kita sudah jelas, tentulah "orang-orang pintar" kita yang berkeliaran
di penjuru dunia, untuk menerapkan ilmu sekaligus meraup fulus yang lebih baik, masih punya rasa nasionalisme yang bagus dan akan
berbondong-bondong kembali ke tanah air untuk membangun bumi pertiwi.
Maaf tulisan ini bukan bermaksud mengedepankan tentang Fulus, namun ingin menekankan perlunya reward dan apresiasi yang
baik buat para "orang pintar" sekaligus perlunya kejelasan arahan dan planning Iptek di negeri kita. Buat yang "kena", no offence deh,
dan gak bermaksud menggeneralisir hal ini terhadap semua orang.
Any COMMENTS? Bagaimana menurut anda baiknya demi perkembangan Iptek serta penerapannya dan turunan-turunannya,
di masyarakat kita? Bagaimana baiknya, gitu maksudnya? Barangkali para petinggi di sana mau memasang kuping atas opini kita.
Wassalaam,
Papa Fariz
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0604/06/utama/2562193.htm
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0604/05/utama/2560689.htm
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0604/04/UTAMA/2559210.htm
No comments:
Post a Comment