Posted: 1 Juni 2006
Gempa bumi merupakan fenomena alam yang sangat sukar sekali diprediksi. Sejauh ini para ahli cuma
bisa memprediksi dalam rentang waktu sekian, dimana rentang itu jangka waktunya amatlah lama.
Sebagai contoh, setelah gempa bumi besar di Tokyo tahun 1923, diperkirakan 50 tahun kemudian
bakal terjadi gempa besar di lokasi yang berdekatan, berdasarkan perhitungan asumsi kecepatan
gerakan patahan. Tapi nyatanya? Para ahli cuma bengong, ternyata gempa itu terlalu bergeser ke Selatan,
yakni menghantam Kobe pada tahun 1995. Yang menyebabkan gempa tektonik sukar diprediksi adalah
karena berkaitan dengan gerak lempeng bumi, cakupannya wilayahnya yang sangat luas. Kalaupun
ingin diamati haruslah begitu banyak stasion pengamatan. Sampai saat ini still gak ada konklusi
tentang gempa tektonik. Kalau ada yang sanggup memperhitungkan kapan terjadinya gempa tektonik
secara tepat, dalam rentang minggu saja, hampir pasti dia akan dapat hadiah Nobel.
Makanya, waktu nonton infotaintment dan lihat komentar mantan putri Indonesia, Artika Sari Devi,
yang menyatakan kecewa terhadap Badan Geologi Nasional karena ketidaksanggupannya memprediksi
gempa Yogya, dalam hati saya "mengumpat", bahwa artis ini "oon banget sih". Kalau gak tau ilmunya,
ya mbok jangan sembarangan ngomonglah, kasian kan orang lain sampai dicela kayak gitu. Jepang sekalipun
yang jauh lebih maju dari kita aja gak sanggup memprediksi. Hmm...no further comments.
Trus gimana dengan gejala-gejala seperti yang terjadi pada foto ini. Susah juga di judge bener atau gaknya.
Biasanya gejala-gejala itu diramaikan setelah kejadian. Orang akan menghubung-hubungkan, peristiwa
sebelum kejadian dengan kejadian itu. Semisal di Kobe, konon ikan-ikan Koi sebelum kejadian, pada
bergerak lebih aktif gak biasanya. Burung-burung pada pindah ke selatan sebelum musimnya dll.
Namun biasanya kita saat itu gak 'engeh', ya kan? Sama seperti kejadian tentang orang meninggal.
Setelah meninggal, barulah ada keluarga yang cerita, saya punya firasat sebenarnya bahwa dia mau mati dll.
Jadi semua firasat, dan gejala itu baru diketahui dan diramaikan setelah kejadian. Dan ini gak bisa digeneralisir
sebagai suatu tanda-tanda sebelum ada penjelasan secara ilmiah yang diakui oleh banyak kalangan.
Contohnya, efek rumah kaca menyebabkan kenaikan suhu bumi dan mencairnya es di kutub. Ini kan gejala
yang berhubungan dengan sebab akibat yang memang diakui oleh banyak kalangan ilmuwan.
Then, apakah waktu gempa di Yogya dan di Aceh dulu, ada yang melihat kejadian yang sama, yakni
awan bergulung-gulung? Kalo gak ada yang liat, itu kan bisa dibilang, kejadian di Kobe ini hanya kebetulan
semata, dan mungkin penyebabnya bukan medan magnet dari bumi? So, saya suka bingung kalau liat
orang-orang sana, kok banyak dan gampang sekali yang paranoid. Mudah termakan isu yang belum tentu
jelas kebenarannya. Kemarin saya baca di berita, sampai-sampai badan geologi harus mengingatkan bahwa
gempa susulan adalah lebih kecil dari gempa besar, dan akan hilang in few days. Pernyataan ini untuk
meng-counter atas terus beredarnya rumor bahwa gempa besar akan datang kembali di Yogya. Gak tau
siapa yang mengedarkan rumor tanpa dasar dan apa maksudnya. Susahnya kalau pada menebak-nebak
tanpa ilmu, atau tanpa dasar. Jadinya orang lain kan kebawa parno, paranoid, brur.
So, di situlah pentingnya ilmu, atau pernyataan dari orang yang berilmu, seperti ahli Geologi kita dll.
Eh, eh kok jadi serius sihh. Udah ah. Mungkin lebih baik kita memikirkan tindakan preventif-nya saja.
Kemarin saya dapat email bahwa di India, bencana bisa ditangani cepat, karena memang dibentuk badan
yang terkoordinasi dan terintegrasi, khusus untuk menangani hal bencana. Di kita belum ada kan? Makanya
di detik, Pak Effendy Ghozali mengeluh, katanya pejabat datang ke Yogay malah bukan kisruh dan bukan
menyelesaikan bencana. Memang sih, kalau gak ada badan khusus, segalanya jadi gak terkoordinir.
Badan khusus itu tentunya di training secara reguler, dan dididik bagus, sehingga mereka begitu sigap, cekatan
serta tau apa yang harus dilakukan manakala disaster terjadi.
Wassalaam,
Papa Fariz
No comments:
Post a Comment