Posted: 28 Februari 2006
Assalaamu 'alaikum,
Dari berita utama utama harian Kompas, ada 2 hal yang diangkat:
1. Perselisihan buruh maspion dengan pihak manajemen mengenai kekurangan gaji 30 ribu,
plus kondisi real Maspion yang ternyata telah menutup 2 pabriknya lagi, tentunya dibarengi
dengan PHK.
2. Bakal matinya usaha tekstil lokal karena lebih mudah dan lebih murah pesan ke China,
daripada membeli dari lokal.
Mengikuti tren yang nomor 2, nampaknya kita akan beralih dari bangsa pembuat (tempat
manufakturing) menjadi bangsa penjual (cuma berdagang doang, gak nimbrung di RND-nya).
Bangsa yang taunya menjual doang, kejelekannya, secara simpel, dia susah mengembangkan
teknologi produk, karena taunya cuma jual beli saja, tetapi tidak mengerti ilmunya
karena tidak mempraktekkan langsung pembuatan barang tersebut.
Bangsa yang taunya menjual doang, rasa ketergantungan terhadap pihak luar besar sekali.
Posisi tawar akan jadi lemah, bahkan harus bersiap dipermainkan di masa mendatang.
Dipikir-pikir, sebenarnya apa sih barang yang sudah bisa dibuat oleh bangsa kita ini?
Peniti dan kancing saja buatan China. Trus salah dimana? Kenapa kita gak kompetitif
dari segi cost produksi dan harga barang? Apakah karena iklim investasi di sini
tidak kondusif, ataukah juga karena maraknya praktek KKN di sini? Ataukah karena kita
lemah dan sengaja close eye untuk praktek smuggling besar-besaran? Ataukah karena
produktivitas rendah tapi selalu menuntut besar? Ataukah karena sifat dasar kita yang mau
santai tapi cepet untung gede, tanpa mau melihat visi yang jauh ke depan?
Silahkan pergi ke Valu$, di situ hampir 100 %, barang berharga 5000 perak adalah
buatan China. Gak kebayang produksi domestik sanggup membuat keran, piring, gelas,
palu dll berharga segitu. Produk elektronik pun, untuk pangsa pasar murah juga dirajai
oleh produk China. Kita cuma, selagi, memakai, memakai dan memakai, tanpa pernah
terlintas untuk membuat planning membalikkan kondisi sekarang agar berpaling ke kita.
Sejujurnya RND di pabrik-pabrik elektronik kita, juga masih kecil, terbatas dan hanya
ada di pabrik tertentu saja. Sisanya cuma RND produksi dan bukan RND produk,
dimana taunya cuma bagaimana biar deffect produksi bisa 0%, dan belum sanggup
berpikir ke depan, bagaimana produk ini bisa kita buat sendiri, sekalipun pada awalnya
menjiplak habis-habisan, seperti yang dilakukan oleh bangsa kulit kuning.
Duh, nambah masalah satu lagi. Pengennya forward yang bagus-bagus, tapi lagi-lagi ketemu
bad news. Kata teman saya, di sana berlaku Bad News is good news, dalam artian semakin
heboh jeleknya semakin mudah mendapatkan perhatian. Au deh, gimana nih solusinya?
Wassalaam,
Papa Fariz
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0602/27/utama/2469046.htm
Tren Pasar: Pesan ke China API Akan Bertemu dengan KPP Hari Ini
Jakarta, Kompas - Adanya ancaman produk garmen asal China di negeri ini semakin diperparah oleh munculnya tren di kalangan pedagang, yang lebih senang memesan langsung produk China. Pertimbangannya, antara lain pemesanan mudah dilakukan, harganya murah, dan kualitas barang baik.
Munculnya tren itu dikemukakan Ketua Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) Ibih TG Hasan di Jakarta, Minggu (26/2).
Pedagang, katanya, mengalihkan perhatian ke China dari pengusaha tempat mereka memesan produk selama ini karena alasan tersebut. ”Bahkan, untuk mukena pun, pedagang memilih memesan ke China karena lebih murah dan cepat daripada ke Tasikmalaya. Kalau pesan ke China, tinggal kasih contoh model. Kualitasnya malah bisa lebih bagus,” kata Ibih.
APPSI memperhitungkan, sekitar 60 persen produk garmen di pasar regional Tanah Abang dan 80 persen produk garmen di sentra perdagangan Mangga Dua adalah produk impor.
”Sebenarnya banyak juga pedagang yang kasihan kepada perajin lokal, tetapi mereka juga kesulitan menjual karena bersaing dengan produk China. Sebentar lagi usaha garmen lokal sudah pasti mati jika pemerintah masih diam saja,” kata Ibih.
Harga produk China juga dinilai jauh lebih murah jika barang yang dipesan itu dikirim via udara, khususnya apabila pedagang di Indonesia meminta penerimaan barang lebih cepat. Karena itu, pasokan barang dari China lebih terjamin sehingga tidak perlu mengeluarkan biaya lebih besar untuk menumpuk stok.
Sebelumnya, ekonom Universitas Indonesia, M Chatib Basri, mengutarakan, biaya logistik industri di Indonesia mencapai 14 persen dari total biaya. Kondisi tersebut sangat buruk jika dibandingkan dengan negara lain yang lebih efisien. ”Biaya logistik di Tanah Air itu terdiri dari biaya jembatan timbang dan pungutan di pelabuhan,” ujar Chatib.
Menurut Ibih, memasok produk garmen impor sekarang menjadi lebih mudah, lebih cepat, dan lebih murah daripada memasok produk garmen dalam negeri. Pemesanan langsung ke China bisa dilakukan pedagang, katanya, meski dalam jumlah kecil atau kurang dari satu kontainer.
Pemesanan cukup dilakukan dengan berbekal buku model dari produsen di China yang beredar luas di kalangan pedagang atau desain yang dibuat sendiri oleh pedagang pemesan.
Mengerikan
Awalnya pemesanan mesti dilakukan dengan pembayaran tunai, tetapi pembelian berikutnya mulai dengan pembayaran berjangka. Kemudahan ini akan makin cepat menghabisi keberadaan produksi garmen lokal.
”Ini mengerikan. Dulu mata rantai distribusi garmen lokal dari Tanah Abang sampai pelosok daerah terbentuk karena kemampuan konsinyasi. Dalam waktu dekat ini akan berjalan dengan produk impor,” kata Ibih.
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Benny Soetrisno mengatakan, API akan bertemu dengan Komite Perlindungan Perdagangan (KPP) Indonesia Senin ini untuk membicarakan usulan perlindungan pasar tekstil (safeguard). Pertemuan itu bertujuan menyatukan persepsi tentang bukti yang diperlukan untuk mengeluarkan kebijakan.
”Jadi, bukti sudah ada, tinggal menanyakan poin yang akan diminta oleh pemerintah. Pihak API sudah mengantongi bukti, tinggal memilah bukti yang dibutuhkan KPP untuk membuat keputusan,” ujar Benny menjelaskan.
Ketika diminta membuka bukti tersebut, Benny menjelaskan, semua bukti yang dikumpulkan pengusaha bisa diukur. Namun, bukti yang akan dipakai adalah yang sesuai dengan format perjanjian dagang Indonesia-China.
Benny optimistis pemerintah akan mengeluarkan kebijakan safeguard seperti yang dilakukan terhadap produk keramik dan terigu. Apalagi jumlah pengusaha yang bergerak di bidang tekstil jauh lebih banyak sehingga wajar jika mereka dilindungi.
Berbagai negara
Pemantauan Kompas selama dua hari di sejumlah factory outlet (FO) di Bandung dan Jakarta menunjukkan, produk garmen yang dijual tidak hanya dari China, tetapi juga dari hampir seluruh negara Asia yang memiliki industri tekstil, seperti Sri Lanka, Banglades, Makao, Hongkong, Malaysia, Kamboja, Vietnam, dan Singapura.
Harga produk impor itu tergolong murah jika mempertimbangkan adanya sejumlah pajak yang harus dibayar ketika barang-barang tersebut masuk ke Indonesia.
Barang yang seharusnya dipasarkan ke Eropa dan Amerika Serikat tersebut—harga per potongnya—misalnya, celana jins dan korduroi dijual Rp 70.000, kemeja Rp 35.000, dan baju kaus Rp 20.000.
Sekitar 10 persen
Namun, pemerhati masalah garmen di Bandung, John Darmawan, mengutarakan, produk impor yang dijual di FO tak lebih dari 10 persen. Jadi, sebagian besar adalah barang dari pabrik pakaian jadi di dalam negeri.
Produk yang dijual di FO sebenarnya produk ekspor yang dianggap cacat sehingga ditolak untuk dikirim kepada pembeli. (DAY/BOY)
No comments:
Post a Comment