Posted: 3 Januari 2006
Assalaamu 'alaikum,
Sebenarnya ini mungkin "soal kecil", tapi tau kah anda bahwa sebenarnya tahun 2006 pun terjadi perbedaan dalam penentuan jatuhnya Hari Raya Idul Adha.
Hanya saja, karena gema Idul Adha, yang meskipun sesungguhnya hari raya terbesar dalam islam, tidak terlalu besar dibandingkan Idul Fitri, dan juga gaungnya terlihat lebih kalem di antara kehebohan perayaan tahun baru, akhirnya perbedaan ini terabaikan begitu saja.
Pemerintah dan mayoritas rakyat merayakan Idul Adha, pada tanggal 31 Des.
Namun, Hizbut Tharir dll, secara terang-terangan merayakannya pada tanggal 30 Des.
Saya sendiri pernah baca di beberapa sumber, berbeda dengan Idul Fitri, yang penentuannya berdasarkan terlihat tidaknya hilal pada akhir Ramadhan di wilayah setempat, untuk Idul Adha, penentuannya bukan berdasarkan hisab atau rukyat, melainkan mengacu kepada ibadah wukuf di tanah suci.
Kalau wukuf jatuh pada hari ini, maka Idul Adha akan jatuh keesokan harinya.
Pemerintah Saudi memutuskan wukuf jatuh pada hari Jumat 29 Des, sehingga tahun ini ibadah haji menjadi Haji Akbar.
Otomatis hari Sabtu, 30 Des adalah hari raya Idul Adha.
Namun, mayoritas orang di Indonesia tetap berpegang teguh pada perhitungan hisab (yang pasti bukan rukyat lah), bahwa Idul Adha jatuh pada hari Minggu, 31 Desember, atau 2 hari setelah wukuf di Arafah.
Kok bisa gitu? TANYA KENAPA.
Idul Adha lalu, saya sempat ketemu dengan abang ipar yang juga pengurus PKS.
Saya tanya, Mas, PKS bukannya ber-Idul Adha hari Sabtu, 30 Desember?
Kok tumben, gak dipublikasikan secara luas seperti saat Idul Fitri lalu.
Jawabnya, memang PKS ber-Idul Adha hari Jumat, namun dianjurkan shalat Ied-nya pada hari Minggu, 31 Desember 2006.
Kok bisa gitu, kejar saya.
Jawabnya lagi, yahh begitulah susahnya ketika kita sudah telanjur masuk ke dalam lingkaran kekuasaan.
Ada hal-hal kemashlahatan lain yang baru, yang perlu dipertimbangkan.
Ooooo, gitu toh? Iya deh, semoga beda Idul Adha gak bikin rame.
Cuma saya jadi bingung, gimana menentukan pastinya tanggalan Islam, kalau penetapannya selalu berubah-ubah.
Jadi ingat dengan pertanyaan seorang teman mengenai hal ini.
Nah repot kan kalau kita mengundang orang datang ke pernikahan kita yang jatuh pada tanggal, misalnya 15 Dzulhijjah?
Kan repot banget mengubahnya kalau ternyata tanggal 15 Dzulhijjah itu menjadi sehari lebih awal.
Maybe dengan alasan protokoler,formal dll, makanya Pemerintah susah mengubah penetapan hari raya berbedadari apa yang sudah tertulis di kalender.
Bisa kacau semua nantinya.
Namun, manakah yang harus disesuaikan, jaman atau apanya?
Ataukah memang kondisi saat ini yang terbaik, dalam artian kalender Hijriah akhirnya tidak bisa jadi patokan untuk standar kegiatan dunia.
Wah jadi curious banget dengan implementasi kalender Lunar ini di masyarakat pemakainya.
Maksudnya adakah kesulitan dalam pemakaiannya, dan apakah nantinya ada perubahan kegiatan karena kalender berubah lagi?
Atau ahhh, mungkin tinggal mengumumkan nikahnya dimajukan sehari ke tanggal 14 Dzulhijjah, dan harinya tetap.
Gitu kali yahh?
Yang jelas kalender Lunar bermanfaat sekali dalam hal ibadah puasa Ramadhan.
Kita jadi mengalami pergantian musim saat berpuasa.
Coba bayangin kalo kalender Solar yang dipakai?
Kasian sekali umat di negeriutara andaikan puasa Ramdhan jadi pada musim panas melulu.
Wassalaam,
Papa Fariz
FS account: boedoetsg@yahoo.com
No comments:
Post a Comment