Sunday, June 10, 2007

Kaitan manajemen dengan kemajuan

Assalaamu 'alaikum,

Hari ini harian Today menyajikan berita utama, Thai mengeluarkan new FBA (Foreign Business Act), dimana investor asing tidak boleh memiliki saham mayoritas (lebih dari 50%).
Kebijakan ini melanjutkan kudeta tak berdarah yang berlangsung autumn tahun lalu, dimana pada awalnya dipicu oleh penjualan saham Shin Corp kepada Temasek.
ShinCorp, perusahaan telkom terbesar dan memiliki satelit pula, dianggap sangat strategis dan tidak boleh jatuh ke tangan asing.

Beberapa negara juga melakukan kebijakan protective terhadap bidang strategis di negara mereka.USA dengan tegas menolak offer pembelian dari Temasek ke salah satu perusahaan Telkom sana yang dianggap strategis.
Aussie pun menolak offer buying dari Temasek terhadap saham Qantas.
Namun sebaliknya, Indonesia rajin menjual industri strategisnya.
Kalau Singapore jahat, mereka bisa saja tidak membolehkan kapal kita berlabuh di Indonesia, karena memang Pelindo dikuasai Temasek.
Kalau mereka jahat, bisa saja kita bisa gak nonton TV, karena memang satelit Palapa kita yang dimiliki Indosat, dimana ternyata Indosat pun dikuasai oleh Temasek.

37% saham Telkom pun dikuasai Temasek.
Aset Telkom kini adalah 67 trilyun rupiah, dengan profit yang menggila dalam hitungan trilyun.
Indosat pun demikian.
Wajar saja jika Temasek tersenyum-senyum entah karena mereka yang smart atau kitanya yang pandir, mau menjual BUMN yang berprospek baik itu.
Mau beli saham balik Telkom dan Indosat? Rasanya hampir musykil dan harganya sudah pasti menjulang.

Namun, beranikah kita melakukan tindakan senekat Thailand untuk mengembalikan kepemilikan perusahaan ke pihak domestik?
Soekarno dulu sanggup melakukan nasionalisasi.
Hugo Cavez dan Eriek Morales pun nekat melakukan nasionalisasi perusahaan penting, dengan tujuan kepentingan bangsanya.
Buat kita berat rasanya untuk menasionalisasi Freeport, Pelindo, Indosat, Telkom dll. TANYA KENAPA.

Satu hal yang menggelitik diri saya, alasan beberapa perusahaan di divestasikan adalah karena kinerjanya yang kurang bagus. Setelah kepemilikan dilepas ke asing, perusahaan itu bisa sehat lagi, serta menghasilkan profit yang baik. Dengan fakta ini bukankah kemungkinan yang ada cuma 2?

1. Ketiadaan dana membuat perusahaan susah bergerak, apalagi untuk berkembang.
Makanya, kedatangan bangsa asing yang memberi suntikan dana membuat mereka bisa bekerja normal.
2. Ilmu manajemen dan aplikasinya dari bangsa kita masih payah.
Buktinya saat dimiliki diri sendiri, kerja dan hasilnya gak beres.
Namun begitu dimiliki asing, malah bagus hasilnya.
Meskipun orang atas di perusahaan itu ada orang kita, namun tetaplah policy utama dipegang owner yang orang asing itu (CMIIW).
Mana kira-kira yang menjadi faktor penyebabnya? Atau mungkin ada kemungkinan lainnya?

Hanya kadang sedih juga, kok rasanya faktor kedua yang dominan, entah kenapa.
Gimana ngga', faktanya di tingkat negara juga, kita kaya hasil bumi, hasil laut dan hutan, tapi rakyatnya cuma jadi pecundang alias puluhan juta orang ada di bawah garis kemiskinan. Bukankah itu berarti telah terjadi MIS-MANAGEMENT, yang mungkin karena ilmu kita kurang atau kita kurang handal mengaplikasikan ilmu manajemen yang dimiliki.

Sedihnya lagi, manajemen pemerintahan, terutama di daerah, bnyak juga yang dipengaruhi faktor politis.
Karenanya belum tentu calon terbaik yang menang dalam Pilkada.
Kalo cuma alasan primordialisme atau popularitas, namun ilmu kurang, bagaimana mau bisa menjadi MANAJER yang baik, alias memimpin daerah itu untuk menembangkan potensinya?
Memang masih bisa ditutupi dengan menunjuk staf ahli yang berpengalaman di bidang manajerial.
Namun kalau penunjukan juga berdasarkan bukan pada profesionalisme, mana bisa maju juga kondisi kita ini?
So, kepakaran serta kemampuan mengaplikasikan ilmu manajemen pada bangsa kita,
agaknya memang harus dikoreksi kembali.

Wassalaam,

Papa Fariz
FS account: boedoetsg@yahoo.com

No comments: