Posted: 12 April 2007
Assalaamu 'alaikum,
Idealisme di sini sebenarnya gak tertuju hanya pada mereka yang bekerja jadi PNS saja. Itukan nilai-nilai global yang bisa dilakukan oleh siapa saja. Kalau boleh ngasih nilai, orang yang idealis itu nilainya bukan lagi 100, namun sudah 150. Idealisme itu bagus dan mulia, namun agaknya harus diselaraskan dengan dunia realita. Di dunia realita itu ada yang namanya skala prioritas, dan daripada idealis, IMHO, pragmatis dan taktis rasanya lebih mengena.
Saya kebetulan kenal baik dengan beberapa teman yang kini meninggalkan ikatan dinas, dan mereka bisa hidup lebih layak, entah itu sebagai manajer di Jakarta maupun bekerja di LN. Gak ada yang kurang dengan idealisme dia. Orangnya juga alim. Kenapa dia mabur?
Saya pribadi memahami dirinya. Dia bilang, di kantor lamanya, gak ada kerjaan, gak ada sarana dan fasilitas yang memadai, dan kebetulan ada tempat lain yang memberikan reward lebih baik sesuai dengan kemampuannya. Dapur harus tetap ngebul terus. Anak dan isteri itu makannya susu dan nasi, minumnya air mineral (misalnya). Perlu rumah nyaman untuk tinggi serta anak harus dibekali dengan pendidikan baik (tapi mahal yah sekarang).
Bukannya matre, tapi semua itu hanya bisa didapat dengan uang. Bisakah anda beli nasi goreng di pinggir jalan, dengan idealisme anda? Ini cuma contoh ekstrim aja lho. Dia berpikir pragmatis, sembari insist, maybe dia gak idealis, namun toh dia gak berbuat KKN, kriminal atau merugikan orang lain.
Trus, mengenai TKI dll di luar negeri, saya sependapat. In another email, saya pernah tulis bagaimana luar biasanya sumbangsih para TKI Filipina terhadap negerinya. Saya kutipkan tulisan yang pernah saya buat, di bawah email ini. TKI kita sumbangsihnya juga gak main-main kok. Tiap tahun remittance-nya sampai 30 trilyun rupiah!
Saya sengaja nulis begitu, dengan maksud "menyentil" tidak langsung teman-teman yang ada di LN, namun teriak-teriak ngasih sumbangsih kepada negara, sedangkan realisasinya tidak ada. Ngirim uang juga jarang, malah dipakai "foya-foya" di LN. Tapi biarlah itu urusan pribadi mereka. Namun kalau mereka gak ngapa-ngapain, di point ini TKI lebih baik, karena sudah mengirimkan uang, meski di LN kadang harus hidup ngepas.
Kembali ke idealis, idealisme itu harus tetap ada, dan orang yang idealis itu perlu. Namun, sekali lagi alangkah baiknya pragmatis dan taktis yang didahulukan di dunia realita. Kalau kebutuhan dasar sudah terpenuhi, terserah deh, mau idealis, mau gaya jungkir balik, gaya kodok nangkring di pohon dll, gak masalah. Trenyuh aja mendengar kisah orang yang dimakan idealisme. Apakah kita mau mengorbankan diri kita untuk yang namanya idealisme?
Weww, teman-teman di LN sini banyak yang pinter-pinter. Trus kenapa mereka kemari? Padahal kalo di Indonesia, mereka lebih bisa membangun bangsa, ataupun menyumbangkan pikiran dan tenaganya untuk pembangunan bangsa? Jawabannya apalagi kalo bukan uang salah satunya.
Ini kan contoh pragmatis juga dan idealis. Boleh jadi kita masih tahan dengan idealisme, tapi apa anak dan isteri kita tahan, sedangkan kita punya kewajiban menafkahi mereka lahir dan bathin. Negara lagi semrawut, jangan berharap bahwa negara atau orang lain, akan menolong kita untuk hidup.
Singkatnya idealisme itu perlu, namun harus ditempatkan pada bingkainya yang pas.
Wassalaam,
Papa Fariz
1 comment:
mas fariz sendiri kerja di singapura? ga balik aja mas?
Post a Comment