Posted: 3 Mei 2006
Assalaamu 'alaikum,
Kebetulan nemu di salah satu harian ibukota edisi hari ini...
Sang peneliti hampir frustasi, setelah 15 tahun pulang dari negeri Paman Sam, karena tidak ada ruangan, tidak ada meja kursi
dan tidak tau apa yang harus dilakukannya.
Di USA dulu, dia bisa mendapat imbalan sampai 36 juta sebulan, setelah dipotong pajak. Namun kini, dengan status yang sama,
di samping ketiadaan sarana dan fasilitas, gajinya cuma 1,2 juta per bulan. Masih untung dapat honor dari proyeknya.
FYI, ada bintang sinetron wanita yang dapat honor 50 juta per episode, dan sinetron tersebut naik tayang tiap minggu.
Ada lagi mantan gadis kampung, yang jago goyang muter, di malam tahun baru sanggup menyabet honor 40 juta.
Dan, maaf, konon katanya kalo dah level "artis", sekali bobo bisa meraup 5 juta perak.
Any comments? Speechless, tapi salut buat sang peneliti yang tetap tekun dengan segala keterbatasannya.
Sedih dan miris juga, ternyata pejuang tanpa jasa, "harga"nya begitu murah dan begitu murah dihargai di nusantara.
Kata Iwan Fals, "Oya, ya nasib, nasibmu jelas bukan nasibku. Oya, ya takdir, takdirmu jelas bukan takdirku".
Ssstt, jangan-jangan nanti ada yang berceloteh, "Kasian Deh Lo".
Wassalaam,
Papa Fariz
Menanti Kebangkitan IptekPergulatan Peneliti di Tengah Keterpurukan
P Bambang Wisudo dan Indira Permanasari
Di tengah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia yang hampir-hampir berada pada titik nadir, sejumlah ilmuwan tetap setia dan tekun bergulat dengan keilmuannya.
Mereka tidak menyerah dengan fasilitas yang serbaterbatas, gedung yang suram tak terpelihara, atau gaji dan penghargaan yang tidak layak. Adi Santoso, ahli biologi molekuler, merupakan salah satu di antaranya.
Pagi-pagi ia sudah ada di Pusat Penelitian Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Cibinong, Jawa Barat. Begitu pagi ia datang sampai kadang-kadang harus membangunkan dulu petugas satpam untuk membukakan pintu gerbang.
Ia menghabiskan lebih dari 12 jam sehari di ruang kerja yang sekaligus dipergunakan sebagai laboratorium pribadinya. Ia sedang bergulat meneliti produksi human EPO yang berperan penting dalam pembentukan sel darah merah.
Penelitian ini akan bermanfaat bagi pengembangan obat untuk para penderita gagal ginjal, kanker, dan HIV/AIDS. Para peneliti yang terkait dengan produksi obat berbasis bioteknologi sedang berlomba-lomba melakukan riset seperti ini.
Adi baru meninggalkan laboratoriumnya sekitar pukul 19.00, saat suasana kantor dan science park LIPI Cibinong gelap gulita dan hampir-hampir tidak ada kehidupan lagi. Kawasan itu terkesan menyeramkan. Beberapa waktu lalu ditemukan mayat korban perampokan sepeda motor dengan luka parah di leher.
"Saya selalu keasyikan di laboratorium dan pulang malam. Kadang seram juga, apalagi pernah ada kasus pembunuhan di sini," ujar Adi santai.
Berkutat dengan sampel-sampel gen, bahan-bahan kimia, alat ukur, dan tabung-tabung kaca sudah menjadi kegairahan hidup Adi. Laboratorium pribadi itu dibangunnya sendiri, tahap demi tahap.
Sejak dikirim ke Amerika Serikat (AS) melalui program beasiswa OFP pada 1988 hingga memperoleh gelar doktor dan bekerja sebagai visiting fellow di AS total selama 15 tahun ia selalu berada dalam laboratorium yang nyaman, yang membuatnya betah bekerja dari pukul 08.00 sampai pukul 04.00 pagi berikutnya.
Laboratorium pribadinya sekarang, tempatnya mengerjakan riset yang menjadi salah satu andalan Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, ia bangun sendiri. Pulang ke Indonesia pada 2003 hampir-hampir ia frustrasi. Tak ada ruangan, tak ada meja-kursi, tidak tahu persis apa yang bisa dilakukannya. Ia akhirnya mendapatkan sebuah ruangan tempat menyimpan biji-bijian yang menjadi sarang tikus.
Dari dana riset yang dilakukannya, ia pelan-pelan membangun ruang kerjanya menjadi laboratorium pribadi. Ia menggabungkan beberapa meja sekretaris menjadi kotak segi enam, di tengah-tengahnya rak kaca untuk menyimpan bahan-bahan kimia. Di sekelilingnya kursi- kursi plastik murahan. Sekilas seperti warung tegal. Akan tetapi, di ruangan itulah ada prospek muncul penemuan yang bernilai ekonomi tinggi.
Tahun 1999 perputaran uang dalam bidang tersebut mencapai 18 miliar dollar AS di dunia. Penelitian mengenai hormon mendominasi sekitar 51 persen, dan di dalamnya human EPO sumbangannya mencapai 21 persen. Angka itu mengalahkan insulin yang sebelumnya menjadi primadona penelitian di bidang ini.
Selama di AS Adi berkecimpung dalam riset ilmu dasar. Namun, ia mencoba bersikap realistis ketika pulang ke Indonesia.
Penghasilan yang diperoleh dari kerja kerasnya di Indonesia memang tidak ada artinya jika dibandingkan dengan yang diperolehnya di AS. Di sana ia memperoleh gaji sekitar 4.000 dollar AS atau Rp 36 juta setelah dipotong pajak.
Ia juga memperoleh asuransi kesehatan yang menjamin penuh semua biaya pengobatan. Di sini sebagai pegawai negeri ia mendapatkan gaji sekitar Rp 1,2 juta.
Selain itu, ia mendapatkan honor bulanan dari tiga proyek yang tengah dikerjakannya. Akan tetapi, itu juga tidak seberapa. Apalagi tiap malam, ia biasa mengajak makan malam sejumlah asisten peneliti sebelum diantarkannya ke rumah masing-masing.
Adi tidak sendiri. Ada sejumlah ilmuwan sains di Indonesia yang memiliki komitmen tinggi untuk tetap menekuni riset, mengembangkan ilmu, dan mencapai reputasi di tingkat internasional.
Keterbatasan tidak menghalangi orang-orang seperti fisikawan UI Terry Mart, ahli fisika partikel LT Handoko, dan astronom Mezak Ratag. Di bidang ilmu-ilmu sosial masih ada tokoh-tokoh seperti Thee Kian Wie dan Lie Tek Tjeng dari LIPI atau sejarawan Sartono Kartodirdjo yang sudah uzur.
Akan tetapi, pengorbanan sejumlah ilmuwan yang bekerja tanpa lelah, tanpa terganggu oleh godaan jangka pendek dan konsumerisme tidak akan cukup untuk mengangkat ketertinggalan bangsa ini dalam bidang ilmu dan teknologi. Untuk menarik orang-orang muda terbaik di negeri ini menjadi ilmuwan dan peneliti memang harus dimulai dengan pemberian penghargaan yang pantas bagi kerja para peneliti.
Tidak perlu seperti Menteri Federal Riset dan Sains Atta-ur- Rahman yang menuntut empat kali lipat gaji menteri untuk para peneliti. Andaikata saja gaji peneliti di Indonesia sama dengan gaji politisi di Senayan, kebangkitan ilmu dan teknologi di Indonesia tinggal menunggu waktu.
Persoalannya bukan pada ketiadaan uang di negeri ini, tetapi lebih kepada tidak adanya komitmen dan visi para pemimpin untuk membudayakan ilmu.
"Di Korea orang bangga dengan keberhasilan ilmuwan mereka menciptakan robot HUBO Einstein yang bisa mengekspresikan sedih dan tertawa. Ketika ditanya apa manfaatnya, dijawab nothing. Di Indonesia bukan main orang melecehkan ilmuwan. Kerja yang mereka lakukan dinilai tidak ada gunanya," kata Wakil Ketua LIPI Lukman Hakim.
Tidak satu pun orang berpendidikan meragukan bahwa kemajuan masa mendatang ditentukan oleh ilmu dan teknologi. Keputusan bangsa inilah yang akhirnya akan menentukan apakah Indonesia akan menjadi negara yang gagal atau sebaliknya, naik kelas menjadi bangsa yang disegani.
No comments:
Post a Comment