Assalaamu 'alaikum,
Suatu hari di awal abad millenium, nun jauh di negeri sakura sana, saya bersama seorang senior yang sama-sama
dari bumi pertiwi, menghadap seorang sensei untuk suatu keperluan. Di tengah-tengah pembicaraan, sang sensei
menanyakan kabar nusantara sekaligus menyindir secara jelas, "Mengapa orang-orang kita kalo demo doyannya
sambil ber-rusuh ria? Mengapa trafiic light, pot-pot taman kota, tiang listrik dll, harus dihancurkan? Bukankah
itu semua dibangun dengan uang kita sendiri, terutamanya dengan uang pajak. Lantas kalo rusak, juga harus
diperbaiki, lagi-lagi dengan uang kita, yang utamanya uang pajak? Andai gak dirusak, tentulah uang pajak itu
bisa dimanfaatkan untuk keperluan lain yang lebih penting dan baik". Begitu cerocosnya kepada kami.
Kami mencoba beralibi bahwa sebenarnya orang kita pada umumnya adalah santun, ramah dan murah senyum.
Hanya karena ada provokator, karena ada yang memprovokasi, sehingga mereka lepas kontrol. Dalam suasana
yang emosional, apa saja bisa jadi sasaran, dan itu hal yang manusiawi sekali. Demikian ujar kami, mencoba "mengeles".
Tambah kami, "Provokator seperti itu populer dengan pameo mengail di air keruh ataupun mencari kesempatan
dalam kesempitan. Dalam bahasa modern-nya, mereka menunggangi massa untuk kepentingan tertentu".
Sang sensei cuma geleng-geleng kepala, sambil bertutur, "Ada yang salah dengan pendidikan, berikut sistem dan
hasilnya di sana. Kalau memang pendidikannya baik, tentulah otaknya akan lebih diberdayagunakan, dan bukan
mengedepankan emosi semata. Tentulah dia akan berpikir, apakah ini memang perlu dihancurkan, dan kalau
dihancurkan bagaimana jadinya nanti. Tentulah dia akan berpikir lebih smart dengan menimbang baik buruk
akibat dari tindakannya itu. Semakin tinggi level pendidikan, tentu dia akan bisa lebih mengontrol emosi dan
lebih memberdayakan otaknya." Sensei tersebut pun segera mengalihkan ke topik pembicaraan yang lain.
Saya berharap sensei saya tidak melihat kejadian rusuh demo buruh kemarin, yang meluluhlantakkan pagar
pengaman jalan tol sepanjang 200 meter, gerbang dan pagar gedung kura-kura yang baru saja selesai dibangun
dengan dana puluhan milyar, halte bus tempat orang-orang kecil berteduh menghindari hujan dan teriknya
sang mentari dll. Kebetulan dengan sensei tersebut, kami sudah terpisah ribuan kilo, terhalang oleh luasnya
Samudera Pasifik. Barangkali kalau dia melihat lagi dan bertemu saya kembali, boleh jadi kali ini dia tidak akan
menyindir, melainkan akan berkata dengan gaya bahasa sinise bangete, "Pantas aja negaramu gak maju-maju.
Kapasitas intelektual orang-orangnya aja cuma segitu. Negara lain pake otak, tapi di sana malah pake kepalan".
Kalau dah gini, saya gak tau, apakah harus berlapang dada menerima realita dan sinise yang menyakitkan itu,
ataukah harus "menggetok" kepala botaknya dengan pulpen yang saya bawa.
So, apa yang terjadi dengan demo dan kerusuhan yang ada selama ini:
1. apakah memang ada pihak ketiga yang senang tunggang-tunggangan untuk kepentingannya sendiri?
2. ataukah Pemerintah yang tambeng gak mau mendengar suara para buruh, dan kurang smart memberi penjelasan?
3. ataukah para buruh yang terlalu pendek pikirannya, sehingga tidak mampu menganalisa secara kritis
tujuan strategis dari langkah pemerintah yang katanya ingin menarik investor lebih banyak?
4. ataukah para buruh yang terlalu naive hingga mudah dimanfaatkan, dibakar hingga emosional dan merusak?
5. ataukah karena ada pihak-pihak tertentu yang zalim, memeras di satu pihak, demi gendutnya perut sendiri?
6. ataukah memang level intelektualitas kita memang sampai segitu saja?
7. ataukah dan ataukah?
Entahlah, bagi saya pribadi level pendidikan dan kemampuan intelektualitas berperan penting. Karenanya,
saya pernah dengan keras menegur teman saya yang hendak membuang sampah sembarangan.
"Maaf brother, kalau anda yang lulusan perguruan tinggi saja bersikap suka-suka, semisal membuang sampah
sembarangan, bagaimana jadinya negeri ini? Wajar saja kalau negeri ini jadi kotor dan jorok. Lulusan universitas
saja buang sampah sembarangan, apalagi yang cuma lulusan SMA, SMP, SD dan yang tidak sekolah?
Pantas saja, dan pantas saja", demikian tukas saya yang memang jengkel melihat adegan itu. Alhamdulillah,
teman saya berhati lapang, sehingga memaafkan dan memahami "kata-kata keras" saya tersebut.
Wassalaam,
Papa Fariz
No comments:
Post a Comment