Saturday, June 9, 2007

Mimpi sore Tugu Pancoran

Posted: 3 Mei 2006

Assalaamu 'alaikum,

Ada yang ingat dengan bait-bait lagu "Sore Tugu Pancoran"?
Lagu karya Iwan Fals yang mengisahkan tentang anak penjaja koran di bilangan Pancoran ini
pernah kondang di dekade 80-an. Liriknya masih menyentuh, simak saja sbb:

Si Budi kecil kuyup menggigil, menahan dingin tanpa jas hujan
Di simpang jalan Tugu Pancoran, tunggu pembeli jajakan koran
Menjelang Maghrib hujan tak reda, si Budi murung menghitung laba
Surat kabar sore dijual malam, selepas Isya melangkah pulang/
sanggupkah si Budi yang di dua sisi

Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu,
Demi satu impian yang kerap ganggu tidurmu
Anak sekecil itu tak sempat nikmati waktu
Dipaksa pecahkan karang, lemah jarimu terkepang

Makin hari, fenomena anak jalanan makin mengibakan seiring dengan bertambahnya
jumlah mereka. Ada yang terpaksa mengemis karena dipaksa, atau yang mengemis
karena ingin membantu orang tuanya yang papa, atau pun untuk mengganjal perutnya
sendiri yang keroncongan selalu. Yang bagus sedikit, ada yang jual koran, mengamen,
menyemir sepatu dll.

Hidup di jalan memang keras. Hidup jalan mirip hidup di hutan rimba. Siapa yang lemah
akan ditindas, siapa yang cengeng akan terpental. Padahal kita tau watak dan kepribadian
seseorang itu dipengaruhi oleh kondisi dan lingkungan sekitarnya. Kalau semenjak kecil
sudah mengalami hidup yang keras dan kekerasan hidup, tentulah di masa besarnya
dia akan cenderung keras, kasar, bahkan bengis dan kejam. "Jangan salahkan" mereka
andaikan kehidupan keras ini membawa mereka ke dunia hitam kriminalitas.

Kata UUD kita, fakir miskin dan anak-anak telantar dipelihara oleh negara.
Kalau ternak dipelihara, tentulah ternak itu akan diberi makan yang cukup,
dijaga kesehatannya, bahkan kalau hewan peliharaan, ada yang sampai
dijaga kemolekannya.
Namun bagaimana anak-anak jalanan ini dipelihara negara? Apakah mereka mendapat
perlakuan diberi makan yang cukup, dijaga kesehatannya dll. Kalau belum seperti itu,
TANYA KENAPA, tapi tanya ke siapa?

Menurut hadits Nabi, kefakiran menyebabkan kekufuran. Jangan bicara tentang agama,
kalau orang yang kita bicara perutnya lapar. Karena sudah fitrahnya, untuk memenuhi
laparnya dulu daripada mendengarkan wejangan-wejangan yang anggun.
Fenomena anak jalanan, sebenarnya salah siapa, dan bagaimana solusinya.

Sejujurnya, setiap melintasi jalan-jalan di ibukota, saya sangat iba melihat keberadaan
mereka. Namun apakah tepat andaikan kita memberikan sumbangan secara langsung
di tempat, kepada mereka? Ada yang bilang, kasih aja, yang penting ikhlas, dan biarkan
Allah yang menilai amal kita. Namun ada yang bilang jangan dikasih, karena kita juga
punya tanggung jawab sosial. Itu sama aja memberikan ikan, dan bukan pancing.

Mereka harus dituntun bahwa uang didapat dengan bekerja dan bukan menengadahkan
tangan semata. Kata Rasul, tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah.
Kasian anak lain yang misalnya menjaja koran, kalau hasil jajaan koran itu lebih sedikit
daripada hasil yang mengemis. tentunya orang akan lebih senang mengemis. Mudah
dan banyak hasilnya. Lagipula kita belum tentu tau, untuk apa uang yang kita kasih
itu digunakan. Barangkali selain untuk makan, juga untuk mabok, rokok ataupun
hal yang tak berguna lainnya? Barangkali dia cuma diperas oleh sang begundal yang
memanfaatkan mereka untuk mengemis.

Lantas, bagaimana solusinya? Mbulet, namun saya berandai-andai, andaikan kondisi
kita seperti zaman khalifah Umar bin Abdul Azis dahulu. Zaman di mana zakat diberdayakan
dengan sungguh-sungguh dan sebaik-baiknya. Hingga di saat itu kemakmuran benar-benar
nyata, di mana orang tak ada yang merasa dirinya mustahiq atau penerima zakat.
Andai zakat, infaq dan shodaqoh diberdayakan, boleh jadi problema ini bisa dikurangi.
Namun siapa yang tau kita berzakat, dan siapa yang tau besarannya, hanyalah diri
kita semata.

Gemah Ripah Loh Jinawi, slogan dari nenek moyang kita dulu yang terus dikumandangkan.
Ya, dikumandangkan, tanpa tau kapan bakal terwujud. Saya pribadi tidak pernah
berharap atau mengimpikan nusantara menjadi maju, seperti Jepang, Eropa, AS dll.
Namun cukuplah kita seperti jiran kita, saudara muda kita yang bernama Malaysia.
Di situ agama terjaga, namun rakyatnya bisa dibilang berkecukupan. Carilah anak jalanan
dan gelandangan di KL, niscaya anda akan sulit menemukannya. Carilah bus-bus
sebagai alat transportasi umum di pelosok desa mereka. tentulah anda akan kesulitan
karena sekalipun desa, hampir semua penduduknya bisa punya mobil.

Malaysia yang satu rumpun dan satu agama, sanggup melakukannya. Kenapa kita tidak
bisa mewujudkannya? TANYA KENAPA? Apakah karena beban penduduk yang
berjumlah 220 juta ini terlalu besar? Apakah karena kita terdiri atas beragam suku,
golongan dll, hingga sulit satu pendapat dan akhirnya sulit membangun? Entahlah, sayang
sekali kalau kenyataan itu dijadikan argumen untuk justifikasi dari keadaan kita yang
morat-marit dan tak mampu apa-apa.

Kalau mereka bisa, kenapa kita tidak? Kalau anak jalanan di tempat mereka sedikit,
kenapa di tempat kita kian bertambah? Bagaimana jadinya kalau masa depan negeri ini
kalau anak jalanan yang ditempa kekerasan itu harus jadi pemimpin bangsa? memang
ada kisah sukses anak jalanan yang akhirnya jadi konglomerat dll, namun berapa persen
sih yang bernasib bak kisah di dongeng 1001 malam itu? Suka atau tidak suka, mau atau
tidak mau fenomena anak jalanan yang ditempa kehidupan keras harus dihilangkan.
Siapa yang harus melakukannya dan siapa yang bertanggung jawab? Jawabannya
berpulang kepada diri kita juga, bahwa inikah termasuk fardu kifayah?

Di jalan saya cuma iba dengan anak jalanan itu. Andaikan memang Yang Kuasa memberikan
kekuatan, tentulah saya dan banyak orang lagi ingin memakmurkan bangsa, termasuk
menghilangkan fenomena yang satu ini, entah dengan cara apa pun.
Di rumah saya cuma bisa memeluk Paiz kecil, anak saya yang masih semata wayang,
sambil berjanji untuk selalu menyejahterakan titipan Ilahi ini. Kata orang Jawa,
orang tua akan bahagia andaikan pencapaiannya anaknya lebih baik daripada orang tua.
Semoga Paiz kecil dan teman-temannya bisa mencapai dan mewujudkan sesuatu yang lebih baik
daripada yang pernah dicapai oleh Papa-nya dan teman-teman seangkatannya.

Anak jalanan, salah siapa? Tak ada seorang pun di antara mereka yang ingin terlahir
sebagai anak jalanan yang miskin harta, dan mungkin juga miskin jiwanya.
Indah, terasa indah, andaikan ibu kota tidak dihiasi lagi oleh kumuhnya anak jalanan,
namun dihiasi oleh canda dan tawa anak-anak yang hidup cukup dan makmur

Wassalaam,

Papa Fariz

No comments: