Posted: 2 Mei 2006
Assalaamu 'alaikum,
Semalam, saat saya menyusuri koridor bandara ibukota tercinta, seorang bocah berjalan mendekati saya, sambil menawarkan jasanya untuk menyemir sepatu.
Saya cuma bisa tersenyum, dan berkata maaf, karena memang kebetulan pagi itu saya baru saja membersihkan sepatu usang saya.
Namun selanjutnya, kerongkongan saya seperti tercekat sesuatu, manakala saya mendengar lanjutan celotehannya."Semir aja ya Oom, buat bayar sekolah".
Saya jadi tertegun dan cuma bisa berkata lain kali saja, karena memang saat itu tengah diburu waktu untuk boarding pesawat.
Semir? Bayar Sekolah? Bocah ingusan yang masih berhak bermain riang?
3 fenomena itulah yang menganggu nyenyak tidur saya semalam.
Dan pagi harinya saya tertegun kembali manakala menyaksikan berita pagi tentang banyaknya anak buta huruf dan tidak bersekolah, padahal lokasi tempat tinggal mereka sangat dekat dengan lokasi tambang kelas dunia.
Dalam lamunan itu, saya sempat membolak-balik lembaran majalah mingguan yang saya bawa dari ibukota tercinta.
Dalam salah satu artikelnya tertulis data numerik sbb: Siswa SD di Indonesia ada 25,98 juta orang.
Dari jumlah tersebut, yang melanjutkan ke SMP hanyalah 7,52 juta orang saja alias 29% nya saja.
Dan yang melanjutkan ke jenjang SMU tinggal 5,40 juta.
Yang mencicipi perguruan tinggi pun menipis menjadi 2,34 juta orang saja.
Pada akhirnya yang mentas menjadi sarjana hanya berjumlah 683 ribu orang.
Sayang, tidak dilanjutkan dengan data berapa orang dari yang bergelar sarjana tersebut dapat diterima bekerja, dan kalau mau dispesifikan lagi, berapa orang dari mereka yang bekerja sesuai bidangnyaatau dalam kata lain berapa banyak yang bukan berstatus sebagai pengangguran tersamar?
Saya tertegun lagi dengan fakta dan data di atas.
Saya lirik kalender di meja saya sembari buka media massa kita di internet.
Alamak,ini kan tanggal 2 Mei. 2 Mei itu adalah Hari Pendidikan Nasional.
Namun, sayangnya tidak banyak ulasan tentang nasib pendidikan kita,yang ada di head line hari ini hanyalah berkisar tentang demo buruh dan rusuh di Tuban.
Saya cuma tertegun lagi.
3 fenomena yang dilanjutkan 3 kali tertegun di Hari Pendidikan Nasional.
Cukup sudah ketertegunan ini harus diakhiri.
Ingatan saya melayang ke anak-anak kecil, yang sering saya temui di pelosok jalan-jalan ibukota.
Mereka mencoba tersenyum pahit sembari menawarkan jasa mereka untuk membantu orang tua ataupun mencari sesuap nasi untuk mengganjal perutnya.
Mereka masih belia, merekamasih berhak untuk bercanda ria, menikmati masa kanak-kanak yang indah dan tak tergantikan.
Saya gak bisa membayangkan, bagaimanamereka bisa belajar, dan apakah ada waktu buat mereka untuk belajar?
Buat makan saja susah, apalagi untuk membeli buku pelajaran dan alat-alat tulis.
Dengan kondisi pas-pasan begini, bagaimana mungkin mereka bisa meningkatkan prestasi akademiknya?
Jangankan berpikirke sana, buat makan saja susah.
Saya jadi teringat lagi dengan nasib adek kelas saya di SD dulu, yang otaknya brilyan, namun dengansangat terpaksa harus kembali ke kampung, karena orang tuanya yang cuma tukang gorengan tak mampu membiayai pendidikannya.
Konon katanya SPP untuk SD dan SMP gratis, karena ada program wajib belajar 9 tahun.
Tapi mengapa biaya-biaya lain semakin membengkak?
Ada uang pagar, uang gedung, uang AC, dan boleh jadi uang kapur.
Kata Bu Guru, kami sudah hidup pas-pasan, kenapa kalau kami mungu tuang dari murid, dipermasalahkan melulu, tapi yang korupsi gede-gedean bisa leha-leha seenak udelnya?
Dimanakah keadilan?
Gak tau deh Bu Guru, saya juga pusing.
Namun gak kebayang, gimana yang gajinya pas-pasan harus membayar uang sana-sini meski SPP sudah digratiskan.
SPP gratis, tapi pendidikan makin mahal di sana.
Kalau kata teman saya, mau bagus ya harus modal, begitu juga dengan pendidikan.
Wah, statemen yang bikin saya tambah puyeng.
Puyeng yang makin bertambah sejak denger informasi bahwa untuk masuk SMA saya yang dulu,kini harus bayar uang pangkal 5 juta.
Itu belum seberapa, masuk TK-SD Terpadu aja, uang masuknya sudah 35-40 juta, untuk yang bagus.
Jedug Jeder deh rasanya jantung ini. TK-SD saja udah segitu, gimana kuliahnya nanti.
Lucunya kok yang mampu bayar gak sedikit.
Uang dari mana yahh?
Au deh, saya cuma bisa ber husnudzhon saja.
Dalam hati cuma ada kekhawatiran instant nan simpel, bahwa di duniapersaingan yang ketat nantinya, anakku yang masih semata wayang harus dimasukkan ke sekolah yang terbaik, biar bisa bersaing.
Namun andai kantong papanya ngepas, gimana yah nasib anakku nanti?
Lucunya lagi, kata temanku seorang ustadz yang main sinetron di Malam Minggu, di Jakarta, makin mahal makin laku karena dianggap bonafid.
Ada SD A yang menawarkan uang masuk 30 juta.
Sudah laris manis, namun tahun berikutnya terjerembab, karena SD B tetangganya menawarkan uang masuk 35 juta dengan fasilitas yang lebih menggiurkan.
Nah SD A ini berhasil menggaet pasarnya lagi, setelah menaikkan uang masuknya ke level 40 juta, dengan tambahan fasilitas lagi.
SD aja segitu biayanya.
Gimana dengan pendidikan di atasnya?
Then, gimana untuk beberapa tahun mendatang kala anak saya sudah cukup umur?
Dan satu lagi, apakah memang perlu diamsukkan ke SD dengan level segitu, sedangkan saya dulu cuma lulusan SD kampung di sebelah rumah saja.
Dari situ, saya merenung, betapa timpangnya pendidikan di sana.
Di satu sisi ada yang terlalu kaya sehingga sangat terlalu sanggup untuk membayar mahalnya biaya pendidikan.
Namun di sisi yang lain, terlalu banyak yang terlalu miskin, sehingga mereka terpaksa harus putus sekolah karena tak ada biaya untuk meneruskan semangat belajarnya.
Bahkan kini kita acap kali menjadi miris manakala diberitakan ada anak SD yang bunuh diri karena malu menunggak uang bayaran sekolah.
Katanya sekolah mau gratis?
SPP memang gratis, tapi sekolah kan bukan cuma SPP saja.
Di pelosok negeri, banyak yang terlalu miskin sehingga gak mampu beli buku pelajaran.
Petinggi kita berupayamemasok buku pelajaran, namun sayang, katanya mungkin hanya 10 jilid per sekolah.
Katanya pendidikan mau diperhatikan?
Namun kok banyak bangunan sekolah yang mau roboh dan terus dibiarkan tanpa ada rencana direnovasi.
Barangkali kita sudah terlalu bosan dengarbangunan sekolah reyot dan mau rubuh.
Mungkin kalau sekolah itu rubuh dan ada siswanya yang game over, barulah kasusnya diperhatikan,walau hanya sesaat.
Then, gimana mau maju, kalau dana pendidikan kita cuma nol sekian persen dari APBD?
Gimana Bapak dan Ibu Guru mau konsentrasi mendidik masa depan bangsa kalau gaji mereka pas-pasan?
Guru-guru harus ngobyek sana-sini,ada yang ngajar di berbagai sekolah, ada yang ngasih les dll, agar dapur rumahnya tetap bisa ngebul.
Yang kasian, yang saya ingat, guru SD bidang kesenian di sekolah saya dulu.
Kalau guru matematika masih bisa ngasih les.
Tapi ada gitu yang mau ikutan Les kesenian?
Malang benar nasib dikau, Bapak guruku.
Murid miskin, guru miskin.
Kalo miskin, makan saja susah.
Kalau makan kurang, gizi kurang, akibatnya jadi gak konsen mikir, jadi gak fokus mikir, bawaannya senewen melulu.
Trus gimana SDM kita bisa meningkat kualitasnya, yang menjadikan negeri ini mau maju?
Mbulet dehh, pusingg.
Lain kali saya akan tulis kondisi pendidikan serta kesejahteraan para pendidik di negeri jiran dan negeri lainnya, sebagai perbandingan saja.
Namun kini, fenomena guru miskin-murid miskin, serta ketimpangan pendidikan dan kesejahteraan, bagaimanakah solusinya?
Kata teman saya, di negeri berjuta nestapa ini, kalau cuma mengeluh sapa aja bisa Mas, karena terlalu banyak yang bisa dikeluhkan.
Yang terpenting, bagaimana solusinya. bener brur, kata saya, tapi masalahnya terlalu kompleks dan njlimet, jadi gak tau dari mana benang kusut ini harus diurai.
Juga, bagaimana lingkaran setan yang mbulet itu harus diputus.
Barangkali ada yang bisa bantu negeriku ini untuk memecahkan kebuntuan kondisi pendidikan dan peningkatan kualitas SDM, atau mau sharing opini dan pengalamannya tentang kondisi pendidikan di negeri kita.
Wassalaam,
Papa Fariz
No comments:
Post a Comment