Posted: 16 Oktober 2006
Assalaamu 'alaikum,
Semalam, di sela-sela ceramahnya di suatu masjid di kawasan Bishan, ustadz kondang Aa' Gym sempat "meminta maaf" karena kita telah meng-ekspor haze alias jerebu, ke negara tetangga, termasuk negeri jiran nan mini ini.
Walau begitu beliau sempat berkelakar, bukan saya yang bakar lho.
Seminggu belakangan ini, negeri kecil ini memang diselimuti oleh kabut asap, yang sejak Sabtu lalu kembali jatuh ke leverl unhealthy, alias 100 di atas PSI.
Pagi ini, kala saya membuka jendela rumah,bangunan tinggi di kejauhan, yang biasanya jernih terlihat, kini telah terselimuti lapisan udara abu-abu.
Mentari tak lagi menampakkan sinarnya.
Sinarnya berubah menjadi jingga, dan kini pun masih agak kemuning dan dapat ditatap langsung dengan mata telanjang.
Kabut asap memang begitu pekat, laksana negeri ini tengah didera mendung gelap karena kedatangan typhoon.
Yang gak enak, udara terasa stuffy (sesak), baunya menyengat dan bagi sebagian orang menyebabkan sulit bernapas dan problem ISPA.
Kabut, kalau didefinisikan secara fisika, adalah penyebaran partikel zat cair di dalam udara.
Apabila kabut berkondensasi, maka ia akan menjadi titik-titik embun yang mudah ditemui di pagi hari di daerah pegunungan.
Haze juga mirip, namun bedanya, dalam definisi fisika, ia adalah penyebaran partikel zat padatdi dalam udara.
Lengkapnya Haze didefinisikan sebagai akumulasi smoke, debu dan partikel polutan lainnya dalam udara yang relatif kering serta dapat mengaburkan kejernihan langit.
Kandungan dalam haze adalah sbb:
a. debu dan ash, dimana keduanya diproduksi oleh pembakaran kayu kering dan tumbuhan hijau.
b. Karbon dioksida, yang dapat menghalangi sinar mentari hingga mengakibatkan efek rumah kaca.
c. Karbon monoksida, gas beracun, yang tidak berwarna dan tidak berbau, hasil dari pembakaran tak sempurna.
d. Nitrogen dioksida, Sulfur dioksida, yang berasal dari pembakaran fuel dan memberikan bau yang kuat pada haze.
Sehat atau tidaknya udara, di negeri Malaysia diukur dengan API (Air Pollutant Index) dan di Singapore diukur dengan PSI (Pollutant Standard Index).
Dimana level 0-50 adalah sehat, level 50-100 adalah tidak sehat,dan level > 100 adalah tidak sehat.
Hari ini PSI telah melampaui angka 100. Rekor terburuk PSI di sini adalah 226 pada September 1997, sedangkan di Malaysia adalah 831 pada Oktober 1997.
Apakah rekor-rekor ini bakal akan terlampaui?
Yah tergantung pada seberapa lama pembakaran bisa dipadamkan dan kemana perginya arah angin.
Haze itu sendiri memang berdampak buruk terhadap lingkungan, ekonomi dan kesehatan,yang semuanya terlalu panjang untuk dipaparkan di sini.
Hmm, PSI baru mencapai index 100-an saja, namun rasanya hidup sudah gak nyaman, karena udara serasa stuffy dan bikin susah nafas.
Saya gak kebayang bagaimana dengan rakyat yang hidup di sekitar lahan yang terbakar.
Kepala ini cuma bisa menggeleng-geleng tanpa putus, manakala menyaksikan tayangan di salah satustasiun TV, dimana para pengendara mobil dan motor di sekitar Banjarmasin, sering tersesat, karena jalan tidak kelihatan akibat begitu tebalnya kabut asap.
Gak terbayangkan bagaimana susah dan merananya hidup mereka.
Padahal udara merupakan elemen terpenting dalam kehidupan.
Kalo gak makan, kita masih bisa survive 2 minggu, kalo gak minum, kita masih bisa survive 5 hari, namun tanpa udara, dalam 2 menit kita bisa mati lemas.
Sekarang udara yang mereka hirup adalah ber-haze, sedangkan haze mengandung zat padat dan polutan lainnya, yang langsung masuk ke organ vital kita, paru-paru.
Gerah juga rasanya, saat saya ditanya oleh teman-teman bangsa lain, apa sihh penyebab hutan terbakar,dan kenapa bisa terbakar.
Berulang kali saya coba mengelak dengan mengatakan, alam juga berperan serta,dimana kemarau panjang membakar lahan gambut yang ada di hutan tropis kita.
Walau dengan suara lemah, saya tambahkan ada pula yang bermain di situ.
Saya gak habis pikir, bagaimana mungkin kejadian yang sangat memalukan ini bisa berulang setiap tahun dan sampai akhirnya presiden kita pun harus meminta maaf kepada bangsa-bangsa tetangganya.
Saya juga bingung, di tayangan TV, yang ditangkap cuma orang-orang kecil, yang ketangkap basah membakar hutan.
Namun selalu saja mereka menjawab cuma orang suruhan, dan gak tau siapa tuan pesuruhnya itu. Para hantu kah tuan pesuruh itu?
Mengapa dengan santainya para pengusaha pemilik lahan hutan tersebut bisa melempar tanggung jawab dengan mengatakan mereka tak tahu-menahu mengapa lahan mereka bisa terbakar.
Padahal sudah jadi rahasia umum, bahwa membakar lahan adalah cara termudah dan cara termurah dalam membuka lahan untuk perkebunan kelapa sawit.
Konon, kata seorang kenalan saya yang pernah tinggal di Sumatera, sebenarnya ada subsidi untuk pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit.
Hitungannya per hektar dapat sekian.
Namun entah karena gak cukup, atau entah kelicikan para pengusaha, mereka lebih senang menyuruh orang membakar hutan.
Kalau sudah jadi abu, mudah sekali untuk menyingkirkan sisa-sisanya.
Kalau pakai cara normal, mereka harus menebang pohon terlebih dahulu, kemudian mengangkut hasil tebangan tersebut untuk dibuang, dimana hasil tebangan ini tidak bernilai ekonomis, dan paling cuma bisa jadi ranting untuk kayu bakar.
Biayanya jauh lebih besar dan membengkak.
Masalah haze ini sebenarnya telah menzalimi kehidupan para penduduk yang berada di sekelilingnya.
Setiap hari mereka dipaksa menghirup haze dan bukan udara segar karuniai Yang Kuasa. Kenyamanan hidup serta keceriaan hidup mereka terganggu,
Apakah anda pernah membayangkan hidup di dalam asap?
Di mana semua serba terasa sesak dan terasa sulit untuk dinikmati oleh mata?
Sayang, mereka cuma orang kecil, yang mungkin cuma bisa mengeluh di dalam hati, karena mereka sudah terlalu letih untuk mengeluh kepada semua orang.
Mereka berhenti mengeluh, karena tau keluhannya tidak akan ditanggapi, dan itu bukan cuma bikin capek secara fisik, tapi juga secara bathin, bagaikan sebuah bentuk diskriminasi karena keberadaan mereka sebagai oang kecil.
Satu pertanyaan yang tersisa, mengapa Pemerintah kita tidak sanggup menangani krisis alam, yang sebenarnya bersumber kepada krisis moral ini?
Apakah mereka terlalu pusing dengan problema lain yang telah lebih dahulu menimpa bangsa ini?
Ataukah mereka terlalu lemah untuk dapat menciduk para gembong penjahat alam yang punya duit dan kuasa di daerah?
Ataukah justru kepanjangan tangan mereka di daerah justru berkomplotdengan para penjahat besar itu, dan bahkan punya saham di perusahaan jahat itu?
Ataukah memang kita gakpernah ada niat sungguh-sungguh untuk benar-benar menuntaskan masalah ini?
Dunia memang sudah menertawakan "kebodohan" kita.
Entah kebodohan itu karena benar-benar bodoh atau pun memang sengaja dibuat karena pikiran kita yang "ndableg".
Namun, yang lebih penting, apa punjadinya masalah ini telah merampas hak hidup, khususnya para penduduk di wilayah yang terbakar itu.
Boleh bisa dibilang ini adalah tindakan pen-zhalim-an terhadap mereka.
Sungguh malang nian andaikan kita hanya sanggup menjadi orang kceil di suatu negeri "antah berantah yang berhukum rimba".
Hmm, seorang sobat pernah menyentil saya mengapa sih, saya selalu complain tentang nusantara?
Saya cuma bisa tersenyum dan berkomentar, itu karena kecintaan saya terhadap nusantara. Walau saya pribadi sedih sekali karena tak punya kekuatan apa-apa untuk mengubahnya.
Saya cuma berharap saudara sebangsa lainnya bisa hidup layak, gak perlu harus kaya atau bermewah-mewahan.
Tapi saya memang bingung, apanya sih yang salah dengan bangsa kita?
Mengapa persoalan yang sebenarnya simpel pada akhirnya menjadi complicated dan tidak terselesaikan?
Masalah niat kah, ataukah masalah kondisi yang telanjur rumit?
Saya yakin, apa yang saya pernah ungkapkan di forum, sebenarnya kita semua sudah pada tau kok.
Tapi kenapa begini-begini saja?
Teman saya cuma bilang, potong aja satu generasi, mungkin baru beres deh, bro.
Ahhh, au deh.
Anyway, semoga urat malu kita belum putus, hingga mau berpikir agar tidak ditertawakan orang lain.
Semoga nadi kasih sayang kita belum hilang, sehingga kita gak akan tega melihat saudara kita di zhakimi.
Dan semoga-semoga lainnya.
Kalau ada yang bisa ngasih solusi, tolong di share.
Wassalaam,
Papa Fariz
No comments:
Post a Comment