Saturday, June 9, 2007

For Malin, how are you today?

Posted: 27 Juli 2006

Assalaamu 'alaikum,

Formalin, Boraks, pewarna tekstil dan konco-konconya yang berbahaya namun dipakai
sebagai bahan makanan, pernah diributkan di bumi nusantara akhir tahun lalu.
Diributkan setelah terjadi heboh keracunan berturut-turut di beberapa tempat.
Industri yang memakai formalin, seperti tahu, mie, ikan dll sempat anjlok drastis.
Formalin bagaikan dimusuhi, meskipun sejatinya telah dilahap selama berpuluh-puluh
tahun oleh kita sendiri.

Alternatif pengganti formalin pun dicuatkan. Dari Bogor, mantan dosen bundanya anak-anak,
mengajukan Chitosan, sebuah ekstrak dari remah-remah kepiting. Dari Yogya, diajukan
asap cair dari batok kelapa. Konon rencananya, setelah diujicobakan, alternatif formalin
tersebut akan diproduksi massal dan tentunya dipakai secara massal.

Alasan klasik pemakaian formalin dan konco-konconya adalah harga jual yang rendah,
dengan profit yang sangat tipis padahal para produsen dan penjualnya butuh fulus
untuk tetap bisa survive. Ketidaktauan bahayanya juga sempat dijadikan excuse.
Yang culas, dan ngeyel, gak mau tau dan mau seenak udelnya juga ada. Entah mana
yang mayoritas, padahal makanan itu yang layak dimakan bukan halal saja, melainkan
juga harus thoyyib alias baik. Lalu dimana tanggung jawab sosial mereka? Tanggung jawab
sosial? Huh, siapa peduli, yang penting untung banyak dan perut kenyang, mungkin ada
si culas yang bergumam begitu.

Formalin tetap dipakai, karena kalau dipakai es misalnya, cost-nya meninggi, dan akhirnya
bukannya untung malah buntung, demikian alasan yang antara lain muncul. Entah kalau
di luar negeri, saya gak tau pakai apa supaya makanan bisa awet, dan kenapa kita gak
temporary ambil dan pakai itu dulu sembari menunggu chitosan dan asap cair diproduksi
secara massal. Harga boleh jadi menjadi satu alibi, hingga dari alternatif formalin, yang
dituntut adalah selain daya guna yang lebih tinggi, juga lebih murah harganya.

Namun, kini bagaimana dengan nasib Chitosan, Asap Cair dll yang jadi alternatif pengganti
formalin? Mungkin saya yang terlewat berita, tapi sampai saat ini saya belum mendengar
lagi perkembangan lebih lanjut berikut aplikasinya di lapangan. Apakah itu artinya kita
kembali lagi ke pemakaian formalin dan konco-konconya? Boleh jadi iya.

Yah seperti biasa, sebagian dari kita memang menganut pakem THP. Apa tuh? Maksudnya
Terjadi-Heboh-Pikir, alias setelah kejadian, lantas dihebohkan, barulah dipikirkan solusinya.
Dipikirkan bukan berarti diselesaikan. Terkadang dibiarkan menggantung, sampai akhirnya
terlupakan seiring berjalannya waktu.

Andaikan memang kita kembali lagi melahap formalin dkk, so what gitu lho?
Bukannya gak ada yang menghebohkan lagi? Wah, saya jadi ingat dengan kelakar seorang
teman saat kami akan melahap tahu di saat-saat formalin dihebohkan. Celotehnya, ahh
pikirin amat, toh kita gak makan tahu tiap hari kok? Wuih, saya timpali lagi, orang kita
memang kuat anti bodi. Makan barang-barang aneh tetap aja kuat dan sehat, gak kayak
orang Jepun yang mungkin bolak-balik WC sehabis makan di pinggiran jalan. Tapi kompensasinya
kelangsungan hidup kita gak panjang, masih berkisar 65-70 tahunan saja. Umur 60 tahun
pun terasa renta abis. Namun, gak usah sedih, umur panjang memang gak terlalu perlu,
apalagi kalau cuma menyusahkan orang untuk merawatnya. Dan apalagi kalau cuma
dihabiskan untuk berbuat maksiat. Kami pun senyum bareng-bareng.

So, apa kabarmu formalin? Sudahkah kamu digantikan yang lain, ataukah tetap berjaya
kembali setelah heboh itu surut dengan sendirinya?
Entahlah, formalin dkk gak mau jawab, karena mereka memang tidak memiliki lidah untuk
dapat menjawab, Entahlah, yang penting perut kita kenyang, 4 sehat, 5 sempurna, 6 kenyang,
peduli amat apakah makanan itu thoyyib atau gak.
Daripada mikir makanan itu thoyyib atau gak, lebih enak kita berdendang lagu "Bang Thoyib".
Ok, deh intermezzo, barangkali ada yang punya progress news tentang hal ini, please di share
ke semuanya.

Wassalaam,

Papa Fariz

No comments: