Saturday, June 9, 2007

Geliat naga Cina benamkan dunia

Posted: 3 Maret 2006

Assalaamu 'alaikum,

Dua hari lepas, seorang rekan saya yang Melayu sini, dan juga bekerja sebagai supplier mesin-mesin produksi
buatan Jepang menelepon saya. Setelah berbasa-basi menanyakan kabar masing-masing, dia mulai bercerita
tentang keluh kesahnya. "Wah Pak, saya pusing juga sudah setahun ini perusahaan saya jarang dapat
order, dan saya sendiri tidak terima order lagi setahun lebih. Sementara pengeluaran seperti gaji karyawan,
expense company dll harus terus dibayar, sedangkan pemasukan sudah semakin menipis", begitu tuturnya.
Tanya saya padanya, "Apakah ini karena yang Bapak suplai adalah capital equipment dan bukan indirect material
yang juga consumable product? Karena hampir semua perusahaan sudah hampir finish mengganti ke teknologi
baru, hingga mereka tidak ada rencana investasi lagi, sehingga market produk Bapak jadi lesu?", lanjutku.

Balasnya lagi, " Memang benar yang Bapak katakan, namun sebenarnya yang menyebabkan anjloknya
market kami adalah libasan produk China yang kian gencar". Pasar produk kami telah digerogoti mereka,
dan saat ini kami telah kehilangan pasar sekitar 20-30%. Bahkan mungkin dalam 2 tahun mendatang, market
kami akan habis dilalap mereka. Dan Bapak taulah, saya juga harus tau diri dengan kondisi demikian", keluhnya.
Tambahnya lagi, "Bagaimana mungkin produk saya bisa bersaing dari segi harga. Sebagai contoh produk kami
yang paling standar berharga US$ 50,000, sedangkan produk China yang berteknologi baru dipasarkan
hanya US$ 28.000 saja!!! Saat ini orang tidak lagi berpikir mengenai kualitas, keawetan dan investasi jangka
panjang. mereka lebih melihat harga. Di masa resesi ini, cash flow sangatlah penting dan mereka membidik
untuk short term saja. Apalagi boleh jadi produk China kini telah maju dalam hal kualitasnya", tambahnya lagi.

Hmm suatu realita yang tak bisa dipungkiri lagi, yang kini menghantam dunia. Kebetulan saya pagi ini membaca
sebuah artikel di harian ibukota yang saya lampirkan di bawah, yang menunjukkan begitu dahsyatnya hantaman
produk China terhadap bangsa kita secara langsung maupun tak langsung. Yang tentunya akan berakibat pada
melemahnya ekonomi kita, kian banyaknya pengangguran dan mungkin akhirnya chaos tak berujung.
Saya teringat lagi dengan tayangan NHK Jepang beberapa waktu lalu mengenai matinya industri tekstil di Italia.

Dulu, saat-saat awal tekstil China masuk ke Italia, dunia mode sana tetap bertahan memakai produk tekstil
lokal yang kualitasnya sudah terjamin dan telah dipakai untuk jangka waktu yang lama. Namun seiring dengan
perkembangan waktu, kualitas produk China membaik, namun harga tetap pada level rendah. Dibarengi lagi
dengan resesi ekonomi dunia, yang mau gak mau menyebabkan sebagian orang berpaling dari pemikiran
kualitas yang utama, menjadi cost dan price yang utama. Kini di Italia banyak berdiri China Town, karena
membanjirnya orang-orang China yang datang ke sana untuk berdagang tekstil. Pabrik-pabrik tekstil lokal
merana dan kini hanya jadi tempat angker mesin-mesin rongsokan. Saya kira fenomena yang sama juga telah
mreambah negeri kita, bahkan mungkin boleh jadi lebih dahsyat lagi efeknya di Nusantara.

Lantas, mengapa produk China yang kini mutunya makin membaik, namun harganya bisa bertahan tetap murah?
Adakah kiat-kiat khusus? Saya coba rangkumkan di bawah ini, dan mohon maaf kalau tulisan ini nantinya jadi
terlalu panjang. Rangkuman ini berdasarkan keterangan beberapa client saya yang pernah saya temui, baik itu
berasal dari bangsa Jepang, bangsa kita, bangsa Singapore maupun keturunan India dll.

1. Tentang Buruh
Aliran buruh dari desa miskin ke daerah urban dan industrial area dikontrol oleh Pemerintah, dan dilakukan
rotasi setiap 2 tahun sekali. Buruh tersebut berasal dari desa yang taraf kehidupannya sangatlah miskin.
Sehingga ketika datang ke industri, dengan gaji yang mungkin buat kita kecil, buat mereka sudah cukup besar.
Di sini China bisa menekan cost dari gaji buruh. Karena mereka dari daerah miskin dan pergerakannya di rotasi,
amu gak mau saat di berada di daerah urban, mereka mati-matian berupaya keras mencari uang.

Mereka biasanya kerja dalam sistem borongan, dan setiap hari harus menyelesaikan sekian pcs, dalam jam
kerja mereka yang terbatas. Apabila target tersebut selesai dalam waktunya, mereka boleh menambahnya lagi,
dan tentu pemasukan mereka bertambah dari allowance over time. Namun sebaliknya, seandainya target tidak
selesai pada waktunya, mereka harus tetap menyelesaikannya namun tanpa dibayar lembur. Hal inilah yang memacu
mereka untuk terus bekerja keras menebalkan kantong mereka. Mengenai kerja borongan ini, seornag rekan saya
yang pernah ke China bercerita, bahwa TV lokal di sana pun dijual berdasarkan beratnya. Dengan kata lain,
harga atau cost di sana sudah sangat-sangat murah, hingga TV saja bisa dijual dengan ditimbang.

Seorang Jepang kenalan saya, sampai geleng-geleng kepala saat bercerita tentang etos kerja mereka. Mereka
bekerja sedemikian cepat laksana robot, bagai tidak kenal lelah. Bekerja sehari 12 jam sudah bukan hal yang aneh.
Si Jepang ini pun tidak bisa membayangkan bagaimana kuatnya fisik mereka itu, dan bagaimana mereka bisa
menjaganya. Dan dia sangat tidak yakin produktivitas di negeri tropis, apalagi Nusantara, bisa mengalahkan China.
Seorang kenalan saya, yang menjadi production manajer di salah satu company di Batam, pernah mengeluh juga.
Katanya hari Minggu saat itu dia harus masuk kerja juga. Why, tanya saya. Sebab beberapa malam ini, supervisor
gak masuk kerja. Karena gak ada supervisor, operator di lapangan yang shift malam, bukannya kerja, tapi malah
santai dan bobo-bobo-an. Akibatnya target produksi tak tercapai dan dia bertanggung jawab akan hal itu.

Ada lagi Chinese Malaysia, juga di Batam, mengeluhkan tentang produktivitas buruh kita yang rendah. (Maaf,
ajangan tersinggung yah ini realita). Katanya ini terkait dengan level pendidikan mereka. Banyak buruh-buruh di
Batam yang datang dari kampung-kampung dan dari satu suku. karena pendidikannya rendah, daya tangkap
mereka juga rendah, kecermatan, kecepatan kerja dan tanggung jawab juga menurun. Dia bingung bagaimana
mungkin buruh-buruh di pabriknya bisa berasal dari satu daerah saja, dan kualitas jelek namun tetap dipertahankan?
Saya cuma tersenyum saja, yang saya tau, itu biasanya tergantung G/A di perusahaan itu. G/A ini kerja sama
mendatangkan orang, dan tentunya, sesuai semangat nepotisme, lebih baik cari orang dari daerah asalnya.
Untuk tiap orang yang datang, tentunya ada komisi baginya per kepala. Kencing aja bayar, masak nolong orang
cari kerja kok gak dibayar. Hari gini mana ada yang gratis sih?

Di sekitar Jakarta, seorang GM yang Indian Malaysia dan China Malaysia, juga mengeluhkan tentang kenaikan
BBM, rencana naiknya TDL dan keharusan kenaikan UMR. Katanya, kalau memang terpaksa banget apa boleh
buat, namun mereka juga minta tolong dipikirkan kompensasinya buat mereka. Semisal pajak ditekan, infrastruktur
dibangun dan produktivitas ditingkatkan. Dengan produktivitas level ini, sulit buat mereka meng-cover loss karena
kenaikan sana-sini. Pajak sudah nambah, tapi mengapa infrasturcture seperti jalan tol tidak bertambah, bahkan
makin macet hingga perlu waktu lebih untuk mencapai pelabuhan. Itu kan ujung-ujungnya terkait dengan ekonomi
juga. Apalagi, jangan ditanya, pungli-pungli yang bertebaran dari mulai keluar pintu pabrik sampai dengan
ketika barang itu di stuffing ke kapal, atau sebaliknya. Well, ekonomi high cost nih.

Then, konon katanya, di antara para pekerja di China diterapkan iklim persaingan yang tidak sehat. Satu sama lain
saling mematai dan saling menjatuhkan. Alhasil terhadap dirinya sendiri mereka berjaga-jaga agar tidak berbuat
kesalahan yang fatal. Namun, teman Jepang saya dari perusahaan diesel menceritakan kepada saya, di China
kita tidak boleh memberikan semua ilmu kita, dan tidak boleh membuat pintar satu orang saja. Kenapa begitu?
Kalau orang China yang jadi pintar ini punya modal, besok dia akan keluar membangun pabrik baru dengan
produk yang sama persis dengan produk kita. Namun kalau si China pintar tidak punya modal, besoknya
dia akan pindah ke pabrik lain yang memberikan kompensasi lebih besar. Mungkin dari sini kita bisa pahami,
di lvel rendah, mereka berupaya pintar dan mencuri ilmu, dengan tujuan jangka pendek, agar perut mereka lebih gendut.

2. Tentang Logistik
Di Indonesia, semisal kita membangun pabrik TV, Audio dll, sudah selayaknya dipikirkan pembangunan industri
hulu sampai ke hilir. Dalam artian bukan cuma TV dan Audio saja yang diproduksi di sini, melainkan juga pabrik
komponen dan bahan-bahan pendukung lainnya. TV-nya dibuat di sana, kok komponen dll masih diimpor dari luar.
Supplier yang meng-impor, semisal komponen, tentunya me-mark up harga tidak sedikit. Ini termasuk pula di dalamnya
factor transportation cost, custom clearance dll, yang juga tidak murah. Apalagi ditambah kalau ada todongan dari
pihak customer, yang meminta bagian atau komisi dari barang yang disuplai ke perusahaan mereka. Ini kan tentunya
akan dibebankan ke harga jual. Praktek KKN begitu, sudah saya temui sendiri di beberapa perusahaan di sana.

Sedang di China, kita bisa beli, misalnya komponen, dari pabrik tetangga. Dengan demikian, expenses untuk
unnecessary cost seperti transportation cost, custom clearance dll. Beda harga dengan dan tanpa mark up akan
jauh sekali, dan ini bukan hanya untuk satu item, melainkan untuk banyak item. Secara total, cost untuk satu produk
di China dan di kita akan jauh sekali bedanya.

3. Tentang Pajak dan Peran Permeintah
Saya kurang tau persis, namun menurut beberapa rekan saya, katanya Pemerintah China memberikan insentif
sehingga pajak lebih murah, serta memberikan soft loan untuk pembelian mesin-mesin produksi baru. Dengan
mesin baru tentunya kecepatan produksi lebih tinggi, kualitas lebih terjaga, dan berujung pada lebih rendahnya cost.
kalau mengenai korupsi, di sana juga ada, namun mungkin gak separah kita. Teman saya Chinese Singapore
pernah cerita boleh jadi hari ini custom sana minta sticker diletakkan di ujung kanan, mungkin besoknya sudah
harus ditempel di tengah. Korupsi dimana-mana ada dan gak bisa dihindari. Cuma masalahnya sampai sebatas
mana levelnya itu. Keterlaluan apa gak, lihat-lihat kondisi apa gak, dll. Kini Pemerintah China pun bertindak tegas
terhadap para koruptor, bahkan gubernur sekali pun, dihukum mati di sana. Ini untuk membuat efek jera.

4. Tentang Nilai Tukar Yuan
Pemerintah China dengan sengaja mematok nilai Yuan sangat rendah, lebih rendah dari kekuatan sebenarnya.
mereka sanggup melakukan ini karena memiliki cadangan devisa yang luar biasa besarnya. Mereka sengaja
melakukan ini, dengan demikian harga produk China bisa tetap lebih rendah dari produk manapun di dunia.
Kalau semisal dengan US$ 1 kita bisa dapat 10 pcs suatu item dari Indonesia. Mungkin dengan rendahnya Yuan,
kita bisa dapat 15 pcs. Bagi mereka yang terpenting mereka dapat omzet dan market dulu. Setelah mereka kuasai
atau monopoli, barulah mereka bisa permainkan harga. Ras kuning memang pintar berdagang (maaf bukan SARA).

Pertengahan tahun lalu, setelah didesak sana-sini, akhirnya Pemerintah China menguatkan sedikit nilai Yuan.
Yuan ini nilainya fix bukan pakai float rate seperti rupiah. Beda dengan rupiah, kita malah pengen ke depannya
rupiah lebih kuat, namun lucunya di akhir tahun lalu, rupaih sempat anjlok drastis dalam perhitungan hari.
Bayangin, dalam seminggu, SGD yang tadinya masih di bawah 5900 rupiah, bisa naik nilainya jadi 6300 rupiah.
Kalau nilai tukar gak pasti, bagaimana bisa dengan tenang kita memperhitungkan anggaran kita ke depannya?
Sebenarnya, seperti malaysia Ringgit, konon kita berencana menetapkan nilai rupiah secara fix, bukan floating rate,
seperti sekarang ini. Namun, menurut seorang ekonom, ibaratnya seseorang diikat dengan tali, tentunya secara alamiah
orang itu akan berontak. Kalau talinya gak kuat, ya akan putus. Sama dengan rupiah, kalau cadangan devisa kita
gak cukup kuat untuk mengikat nilai tukar rupiah, tentu akan habislah ekonomi makro kita.

5. Tentang Patent dll
Menyambung alinea akhir dari bagian 1, yakni:
Kalau orang China yang jadi pintar ini punya modal, besok dia akan keluar membangun pabrik baru dengan
produk yang sama persis dengan produk kita. Namun kalau si China pintar tidak punya modal, besoknya
dia akan pindah ke pabrik lain yang memberikan kompensasi lebih besar. Menurut teman saya yang Chinese
Singapore, sempat ada suatu masa di mana company Singapore sebagian menjadi bangkrut lantaran barangnya
dijiplak habis-habisan. Engineer yang pernah bekerja di tempat mereka, keluar dan mendirikan pabrik baru
dengan produk yang sama persis dengan produk mereka.

Then kalau kita membuat produk yang sama persis, bukankah itu imitasi mentah-mentah? Betul, but who care?
Patent itu kan hanya berlaku seandainya barang tersebut di ekspor keluar, terutama ke negara-negara yang strict
dengan masalah patent. Namun apakah perlu diekspor keluar negeri? Gak perlu brur, China itu penduduknya kini
1,2 milyar alias 20% dari penduduk dunia. Itu market yang sangat-sangat besar sekali. Cukup dijuali di domestik,
sudah menguntungkan sekali. Inilah yang menyebabkan dilematis perusahaan Jepang pindah ke China. Di satu sisi
mereka enggan ke sana, karena menyadari bahwa China akan menjadi ancaman di masa datang, namun di sisi lain,
selain mengincar cost murah agar harga produk mereka bisa tetap kompetitif, mereka juga mengincar pasar
potensial china yang memang sangat besar itu.

Di China, konon banyak yang disebut dengan istilah "2 dollar company". Apa maksudnya? Maksudnya company
kecil yang bermodal dengkul. Dua dollar hanya perumpamaan bahwa mereka tidak ada capital yang cukup.
Gak jarang ketika kita mengetahui produk kita dipalsukan di sana dan berupaya mengejar sang pemalsu itu,
yang kita dapati company itu telah tutup dan tinggal namanya aja. Namun company tersebut akan bermetamorfosis
lagi jadi company baru dan menciptakan produk yang sama. Penuntutan patent untuk barang yang dikonsumsi
hanya di lokal juga tidaklah mudah.

Seorang rekan saya, yang kebetulan menjadi manajer di salah satu perusahaan lokal besar di Batam, bercerita
bahwa salah satu customernya, yang juga perusahaan ternama di Jepang untuk produk vacuum cleaner pernah
mengalami kejadian penjiplakan. Ceritanya mereka akan launching produk baru vacuum cleaner, dan sudah
dibuatkan prototype-nya. karena desain dan penyempurnaan belum selesai, maka launching-nya tertahan beberapa bulan.
Namun apa lacur, ternyata di pasaran saat itu beredar vacuum cleaner produk China yang desain-nya sama
persis dengan produk yang sedang mereka kembangkan. Buyarrrlah semua rencana launching tersebut.

Andaikan diteruskan, tentunya harga produk tak kan mungkin bersaing dengan produk China. Lagipula justru
mereka yang akan dicap sebagai penjiplak. Yah, ditenggarai para sub-con yang mengerjakan prototype itulah
yang membocorkan desain dan company China lainnya lah yang melakukan produksinya. Padahal cost untuk
desain dan RND tidak murah. Lantas, apakah mereka akan menuntut? Susah brur, terlalu kompleks, dan
who care dengan tuntutan patent itu, apalagi produk etrsebut belum di launching. Memang cara termudah untuk
mengembangkan teknologi adalah menjiplak habis-habisan, dari situ dipreteli satu per satu untuk dipelajari dan
dikembangkan. Cara seperti ini juga yang konon dilakukan oleh bangsa kulit kuning lainnya.

Namun ada seornag India Malaysia yang kebetulan factory manager di salah satu perusahaan di Priangan yang
bertutur seperti ini ke saya. China itu maju karena 3 faktor. Pertama adalah faktor Taiwan. Kedua adalah faktor
Hongkong, dan ketiga adalah faktor China daratan sendiri. I guess pemikirannya dan saya kaitkan dengan realita.

Taiwan memang terkenal dengan kemanjuan teknologinya, bahkan sudah dianggap setara Jepang dan sedikit
di atas Korsel. Mereka memiliki Lembah Silicon sendiri. Banyak high end product electronic dan komputer
yang buatan Taiwan. Timah yang banyak dipakai dalam soldering di asembli produk elektronik, beberapa tahun lalu
dikonsumsi oleh Taiwan sebanyak 30% lebih dari kebutuhan dunia. Ini menandakan jumlah dan skala produksi
di sana yang demikian besarnya. Namun karena cost tinggi, akhirnya banyak perusahaan Taiwan yang mengalihkan
pabriknya ke China yang lebih murah cost-nya. Meskipun secara politik mereka berbeda, Taiwan lah yang sangat
berperan aktif untuk meningkatkan barang-barang produk China. Akhirnya didapatkan barang yang kualitas bagus,
namun harganya tetap murah.

Hongkong terkenal dengan kepakarannya di bidang bisnis dan marketing. Pengalaman Hongkong inilah yang
menjadi energi pendorong bagi China untuk memasarkan produknya, apalagi Hongkong itu sendiri kini adalah
bagian dari China. Untuk Manpower, yang merupakan faktor dari China sedniri, kita sudah tau dari uraian di atas
mengenai jumlah dan produktivitas mereka.

Apakah ke depannya semua perusahaan akan beralih ke China dan China akan mendominasi ekonomi dunia?
Tidak semudah itu. Tentunya AS, Jepang dan Eropa akan bergandengan tangan untuk mencegah dominasi
dan monopoli China. Kini beberapa perusahaan tengah mengalihkan sebagian manufakturingnya ke luar China.
Sayang sekali, tempat tersebut bukanlah negeri kita, melainkan India dan Vietnam. India selain karena terkenal
pakar di bidang IT dan kualitas SDM-nya, juga memiliki pasar yang sangat besar, karena jumlah penduduknya
yang 900 juta jiwa. Sedangkan Vietnam, dipilih karena cost-nya murah, produktivitasnya tinggi dan secara kultur
gak jauh beda dengan China, kemudahan dan dukungan fasilitas dari pemerintahnya, juga secara letak sangat
menguntungkan. Barangnya yang diproduksi di sekitar Hanoi, bisa langsung dikirim ke China via jalan darat.
Vietnam menjadi alternatif terbaik, untuk mengurangi kepongahan China yang berniat menguasai dunia.
Pertumbuhan ekonomi China memang luar biasa, dan beberapa tahun ini berada di level sekitar 10%.
Sesuatu yang amat sangat luar biasa, di kala negara lain justru ada yang pertumbuhan ekonominya minus.

Jepang pun menghadapi dilematis terhadap China. Di satu pihak mereka harus mendirikan pabrik di China,
untuk menekan cost dan price produk mereka. Kalau tetap nekat diproduksi di Jepang juga, harganya tak akan
bisa bersaing dengan produk China. Di tengah krisis ekonomi, orang cenderung lebih mementingkan harga daripada
kualitas. Asal murah meriah dan bisa terpakai, mengapa tidak. Ini juga yang menjadi kultur masyarakat Asia.
Karena itu janganlah heran di Jakarta ada yang namanya toko 5000 perak, di Singapore ada yang namanya
1 dollar shop dan di Jepanga da yang namanya toko 100 yen. Yang isinya semua adalah barang produk China.
Jepang juga sangat tergiur dengan pasar potensial China, yang berpenduduk 1,2 milyar.

Namun mereka juga sadar, kalau China menjadi besar, justru akan menjadi ancaman buat mereka di masa datang.
Hal historis yakni masa lalu yang pahit di Perang Dunia kedua, seperti pembantaian Nanjing dll, masih sangat
mengganjal hubungan mereka. China sendiri sebagian pernah dijajah pula oleh Jepang, dn saat itu penduduknya
dihinadinakan dan diperlakukan sewenang-wenang. Dendam tampaknya gak pernah terhapus dari benak warga China.
Tahun lalu, China sudah menunjukkan polahnya dengan menentang keinginan Jepang menjadi anggota tetap
DK PBB. Menlu Jepang yangs eorang hwkish secara terang-terangan menyatakan China akan menjadi ancaman
bagi Jepang di kemudian hari. So Jepang pun kini memikirkan alternatif untuk meredam China.

Untuk hal manufakturing, mereka berupaya menjaga keunggulan teknologinya dan memfokuskan diri pada produksi
barang-barang high end product, yang juga high added value, seperti handycam, digicam dll. Untuk hal seperti ini,
kalo gak duit kepepet, orang banyak yang lebih memilih barang buatan Jepang. karena harganya mahal, jadi dicari
yang kualitasnya bagus serta awet. Jepang tidak tertarik untuk membuat low end product yang bis diproduksi massal
di China. karena sudah pasti gak akan menang dari segi harga. Kalau pun mereka buat barang sejenis, mereka akan
buat yang spesial. Semisal Jepang membuat handuk yang lembut, nyaman dan daya serapnya 3x dari buatan China.
Konsumen tinggal mau yang murah meriah ataukah mahal tapi nyaman.

Bagaimana dengan Indonesia??? Silahkan dipikir dan direnungkan sendiri. Namun hari ini saya lihat ada good news,
dimana Eropa memberlakukan pelarangan barang-barang produk sepatu dari China dan Vietnam, karena kasus
anti dumping. So, sebagian produksi yang tadinya dilakukan di China, dialihkan ke Indonesia. Lumayan deh.
Moga-moga ke depannya akan lebih baik dan banyak. Setiap saya ke jakarta dan melintasi jalan tol Jakarta-Cikampek,
miris juga rasanya melihat kondisi pabrik. Di sepanjang jalan itu, mulai dari Cibitung (MM2100, Gobel industry),
Cikarang (EJIP, Jabebeka1 dan 2, Hyundai, Delta Silicon 1 dan 2), Karawang Barat (KIIC). Karawang Timur
(Surya Cipta), sampai Cikampek (Kota Bukit indah), begitu banyak tersebar area industri, baik berupa pabrik jadi
maupun lahan kosong. Namun lahan yang kosong tetalah kosong, dan pabrik yang tadinya berisi malah jadi kosong.

Miris sekali memang, namun bukankah kita gak bisa begitu saja pasrah dengan kondisi kita, apalagi sampai meminta
belas kasihan dari negeri lain. Ini dunia realita, dunia yang kejam dan keras. Kita harus bersaing untuk bisa hidup.
gimana agar kita bisa menang dalam persaingan itu? Ya tentunya dengan kerja keras. Semoga semua dari kita
aware akan hal ini, atau kita akan habis digilas jaman. Globalisasi menghilangkan batas-batas negara. Kini saingan
kita bukan cuma teman sebangsa namun juga orang dari negeri lain. Dunia realita ada dunia rimba. Siapa lemah
akan tergilas. Jangan sampai kita jadi orang yang tergilas. Jangan sampai kita jadi bangsa yang terlindas.

Wassalaam,

Papa Fariz

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0603/03/utama/2480555.htm

No comments: