Posted: 30 September 2006
Assalaamu 'alaikum,
Di dekat tempat kerja saya sedang ada pekerjaan konstruksi pembuatan stasiun subway (MRT).
Jalan diubah sana-sini, kadang harus di cut di sana-sini pula.
Satu hal yang menarik buat saya, kalau melihat cross section (penampang samping) dari jalan tersebut, maka kita akan tau bahwa jalan tersebut dibuat sedemikian kokoh dan tebal.
Ada lapisan beton-nya, lantas di atasnya adalapisan aspal hitam, mungkin dengan bebatuannya, dan dilapis ulang lagi dengan lapisan aspal lainnya yang berwarna lebih muda.
Dua lapisan teratas masing-masin tebalnya kira-kira 15-25 cm.
Jalan-jalan di sini memang dibuat sedemikian bagus, licin dan rapi.
Kadang dilakukan pelapisan ulang secara berkala.
Wajarlah kalau belakangan ini muncul wacana untuk membawa balap mobil Grand Prix F-1 ke sini, melaju melalui jalan-jalan dalam kota, mengikuti GP Monaco.
Di Malaysia juga tak kalah bagusnya.
Jalan tol dari ujung semenanjung sampai ke perbatasan Thailand, jauh di utara sana juga terhitung bagus.
Belum lagi cabang-cabangnya ke barat dan timur.
Hal ini beda sekali dengan yang saya lihat di seputar Jakarta.
Jalan tol Jagorawi, bagi saya adalahyang terbaik. Begitu licin, rapi dan mungkin aspalnya lumayan tebal.
Tapi manakala kita menuju ke timur dengan jalan tol Jakarta-Cikampek, dan diikuti Cipularang, maka kondisinya makin memburuk.
Saya hafal sekali ada bagian jalan tol di daerah Karawang sana, yang aspalnya sudah tipis, dan setiap tahun bagian itu saja ditambal ulang.
Saya gak ngerti kenapa kita senangnya bikin pekerjaan berulang-ulang, yang memakan cost dan membosankan itu?
Kenapa gak dibikin sekali saja, yang bagus sekalian, biar ke depannya maintenance cost bisa di reduce, dan itu berarti ada penghematan cost yang mungkin bisa dipakai untuk keperluan lain yang juga penting.
Dan mungkin banyak bagian lain yang selalu ditambal berulang-ulang.
Jalan tol Cipularang, yang awalnya dibanggakan sebagai karya pertama anak bangsa, sayangnya kini malah diragukan kualitasnya.
Pihak kontraktor berkilah, waktu yang diberikan sangat sempit, demi mengejar peringatan 50 tahun KAA.
Akhirnya masalah timbul satu per satu.
Dari mulai pengerasan tanahnya yang gak masuk standard lah, dari "lupa survey" bahwa di kolong jalan itu ada sungai purba lah dll.
Jalannya semua dibuat dari beton cor, tanpa dilapisi aspal lagi.
Mungkin maksudnya untuk menghematbiaya.
Tapi anehnya beton cor pun gak rata di sana-sini.
Retakan pun ada di mana-mana.
Makanya saya pribadi suka mengingatkan driver to slow down the speed, karena guncangan mobil yang sangat terasa sekali apabila mobil melaju di kecepatan mendekati 100 km/h.
Kuatir terguling saja.
Padahal di jalan tol Malaysia, dikebut 140 km pun masih terasa nyaman.
Jalan-jalan di dalam kota lebih parah lagi.
Di jalan Pos Pengumben Raya, yang menuju ke rumah saya,
batu-batu yang tertutup aspal tipis kelihatan "ngejendul di sana-sini".
Jadinya, terutama kalau naikmotor, terasa banget goyangannya.
Warna aspal sudah abu-abu, dan sudah tipis banget, padahal jalan ini jalan utama yang dilalui ribuan kendaraan.
Tapi kenapa gak dibetulin?
Gak ada dana kah? Entahlah.
Di jalan Ciledug Raya nasibnya juga sama, batu-batu di balik aspal pada nongol di sana-siniserasa ingin dipoles oleh ban mobil.
Belum lagi ada lubang di beberapa bagiannya, di tengah jalan.
Kok bisa yahh jalan utama, punya lubang.
Di belakang Hotel Sahid pun, di jalan ke arah fly over Casablanca, ada lubang gede, yang waktu itu saya lihat cuma ditutup dengan plastik pembatas jalan.
Kalo pengendara motor nekat ngebut di situ dan gak hati-hati, boleh jadi ia bakal sukses nyungsep di aspal.
Yahh, lecet-lecet dikit dah biasa lah kalo jadi biker di Jakarta.
Lucunya lagi, saya kemarin sempet ke daerah belakang Cengkareng.
Syukur perginya pas musim panas.
Gak kebayang kalo pergi di musim hujan.
Jalan di situ hancur habis.
Agaknya karena airnyangembeng di kala musim hujan, dan air merusak kondisi jalan tersebut.
Saya gak habis pikir, gimana yahh desainer tata kota dan jalan kita.
Masak buat jalan tapi gak dipikirkan saluran pembuangan air?
Apakah kualitas kontraktor dan desainernya yang rendah, sehingga otaknya gak nyampe buat mikir ke sana, ataukah jalannya dibuat asal jadi saja?
Yah, terang aja lah jalannya jadi hancur karenaair ngembeng. Yang kayak gini ada di banyak tempat di Jakarta.
So, kita ini bodoh atau malas sih?
Jalan Pantura gak kalah lucu.
Menjelang lebaran, dibikin halus mulus, biar perjalanan mudik orang-orang bisa lancar.
Namun dalam hitungan bulan, bisa dipastikan bakal rusak.
Rusaknya gak tanggung-tanggung,sampai bisa buat lubang yang cukup jadi kubangan kerbau.
Bikin jalan asal-asalan, ataukah memang sengaja dibuat rusak, biar ada proyek baru terus-menerus kah?
Entahlah, tapi saya mau husnudzhan jadi susah nih, soale ini dah tuman di mana-mana.
Kenapa sih gak dibuat yang bagus sekalian biarmaintenance cost in future bisa dikurangi.
Gak sedikit yang blame rusaknya jalan karena tonase yang berlebihan dari para truk dan kontainer yang lewat situ.
Lha, bukankah ada pihak yang mengijinkanmereka bisa masuk ke jalan itu?
Trus gimana mau ditimbang, kalo timbangannya aja rusak?
Kalau timbangannya berlebih, bukankah bisa di nego, dan akhirnya truk-truk segede gaban itu bisa dengan tenang melaju di jalan itu?
Susah brur, udah the gun nya gak dibenerin properly, the man behind the gun juga gak dibetulin mentality dan salary-nya.
Back to square one lah.
Gak sedikit yang mem-blame kontraktor, karena mereka dianggap bikin asal jadi.
Tapi mereka juga berkelit, bahwa mereka ikut tender, yang gak jarang dah ditentukan pemenangnya sebelum tenderberlangsung alias tender cuma formalitas belaka, dan harga tender adalah murah.
Udah murah mintabagus lagi.
Bukan cuma itu, mereka cuma bisa mengerjakan konstruksi itu dengan biaya maksimal60% dari biaya tender.
Lho kemana yang 40% nya?
Duit yang 40% ini nakal, gak mau jadi jalan yang selalu kena panas dan hujan.
Duit 40% ini lebih senang ngendon di dalam kantong-kantong para birokrat kita.
Buat kontraktor, daripada gak dapat proyek, apa salahnya kalo ngasih duit ke paraoknum penguasa.
Bukankah mereka juga ditodong juga?
Makanya Bank Dunia pun marah dan meminta "bantuan" yang dihibahkan untuk proyek jalan-jalan di Jawa dan Sulawesi serta untuk perbaikan komputerisasi, dikembalikan ke mereka.
Karena duitnya dikorup rame-rame bahkan birokrat kita ada yang jelas-jelas nodong duit utangan ini.
Utangan aja dirampok rame-rame, trus gimana bayarnya brur.
Teman saya, yang seorang ustadz muda di sini,sampai berkata pada saya, bahwa dia berani jadi Presiden RI.
Iya, karena manajemen keuangan negeri kita yang gak jelas.
Uang utang dari mana-mana gak jelas masuk ke mana dan bagaimanapemakaiannya.
Padahal kita tau itu utang harus dibayar lunas tuntas dengan bunga yang tinggi.
Padahal demi mendapatkan utang itu kadang kita harus mengorbankan harga diri kita dan memberikan kompensasi aneh-aneh sana-sini, seprti hasil bumi kita.
Kasiannya anak cucu kita, yang baik-baik. Soale kakek-nenek mereka jahat-jahat merampokin utang negara, tapi mereka yang harus bayar.
Jalan-jalan di mana, cuma salah satu contoh dan puncak dari gunung es, dari bagaimana kompleksalias rumitnya permasalahan di domestik.
Kalau dana untuk jalan saja sudah menguap, apalagi dana untuk benda-benda dan hal-hal lain.
Bukankah mereka mengalami nasib yang sama juga?
Kalau ngurus pembangunan jalan saja udah gak beres, bagaimana mengurus hal-hal lain yang lebih dahsyat?
Namun boleh jadi, hal jalan adalah nothing dan gak jadi perlambang apa-apa.
Entahlah, saya gak peduli dengan bagaimana prosesnya.
Entahlah saya juga sedih cuma bisa complain juga.
Namun kadang logika saya gak bisa menerima, gimana orang kita bisa bertabiat mengulang-ngulang pekerjaan yang sama, padahal mengulang sesuatu itu menimbulkan kebosanan.
Saya juga gak habis pikir bagaimana membuat sesuai itu tanpa desain yang jelas, hingga rusak melulu. Kalau begitu berarti kita tidak memiliki suatu perencanaan yang matang.
Kalau tidak pernah punya perencanaan yang matang, itu berarti kita lebih gak siap dibandingkan dengan pihak lain, dan bisa berarti pula bahwa kita lebih mudah dikadali.
Yahh jalan-jalan yang dibuat itu bisa jadi jalan kenangan.
Yang dikenang karena selalu diulang-ulangpembuatannya.
Yang dibuat, mungkin, sebagian dengan perencanaan kurang matang, sehingga patut dikenang juga.
Namun ternyata jalan kenangan itu banyak duri-duri di sana-sini.
Duri-duri yang menyakitkan hati mayoritas rakyat, karena dananya banyak yang hilang, dan mungkin tidak digunakan sesuai dengan kepentingannya.
Tapi itu kan sudah jadi rahasia umum dan sudah "bisa"diterima oleh kebanyakan kita sebagai suatu budaya baru.
So What Gitu Lho?
Wassalaam,
Papa Fariz
No comments:
Post a Comment